Newsletter

Wall Street, China & Eropa Kirim Sinyal Buruk, IHSG Suram?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
31 March 2022 06:12
Russia Ukraine Two Speeches Analysis
Foto: Kolase foto Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy (Russian Presidential Press Service and Ukrainian Presidential Press Office via AP)

Hari ini ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh para investor. Baik itu isu dari luar dan dalam negeri.

Pertama tentu saja terkait perang Ukraina-Rusia serta implikasinya bagi sektor ekonomi dan bisnis global. Hingga saat ini, perang yang sempat membebani pasar keuangan dunia tersebut mulai memasuki babak baru, dengan Rusia dan Ukraina telah merundingkan upaya deeskalasi konflik.

Setelah bertemu di Istanbul dan disambut secara pribadi oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, negosiator kedua belah pihak berkomitmen akan berusaha menyelesaikan konflik yang terjadi.

Perwakilan Rusia menyebut akan mengurangi aktivitas militer di Kyiv dan Chernihiv, dengan pejabat Ukraina menggarisbawahi potensi konsesi Krimea. Sedangkan terkait kontrol atas wilayah Donbas - yang tidak lagi diakui Rusia sebagai bagian dari Ukraina - akan dibicarakan lebih lanjut ketika kedua pemimpin masing-masing negara bertemu, yang mana pihak Rusia juga mengatakan siap untuk mengaturnya setelah rancangan perjanjian damai rampung.

Sehari setelah pertemuan tersebut, sekretaris dewan keamanan nasional Ukraina Oleksiy Danilov mengatakan beberapa unit pasukan Rusia memang perlahan mulai meninggalkan Kyiv. Namun tentara tersebut tidak mundur ke negara asalnya melainkan beralih ke Ukraina timur - Kharkiv dan Donetsk.

Terlepas dari potensi damai yang menyeruak, pasukan Rusia dan Ukraina masih bertempur pada hari Rabu di Kyiv, di mana bunyi gedebuk dan ledakan disebut terdengar hingga ke pusat kota.

Dilansir The New York Times, beberapa pejabat AS juga menyebut bahwa ada ketegangan antara Vladimir Putin dan Kementerian Pertahanan, termasuk dengan menteri pertahanan Rusia Sergei Shoigu, yang pernah menjadi salah satu anggota paling terpercaya di lingkaran dalam Kremlin.

Berbicara di Aljazair, Menteri Luar Negeri Antony J. Blinken mengakui bahwa Putin telah diberikan informasi yang tidak tepat oleh para penasihatnya.

Dalam konferensi pers pada Rabu sore, juru bicara Pentagon, John F. Kirby, juga mengatakan bahwa Departemen Pertahanan AS percaya bahwa Putin tidak memiliki akses ke laporan akurat tentang kegagalan pasukannya di Ukraina.

Sentimen utama lain adalah kabar buruk yang datang dari China. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut kembali akan melakukan karantina wilayah (lockdown) di kota Shanghai.

Selanjutnya investor juga perlu memperhatikan volatilitas harga komoditas, yang kian hari semakin sulit diprediksi. Lockdown di China dan prospek damai antara Rusia dan Ukraina membuat harga minyak dunia jatuh dalam beberapa hari terakhir, akan tetapi kembali menguat pada perdagangan kemarin.

Ketatnya pasokan energi mebuat harga gas alam berjangka AS naik hampir US$ 5,6 per juta British thermal unit (btu), ditutup pada level tertinggi sejak 8 November dan lebih dari dua kali lipat harga setahun sebelumnya karena permintaan yang kuat.

Kenaikan harga dan ketatnya pasokan gas ikut mengancam ekonomi terbesar Eropa. Jerman telah mengeluarkan peringatan dini bahwa mereka akan segera menghadapi darurat gas alam karena ekonomi akibat risiko gangguan pasokan penuh dari Rusia.

Kremlin telah berulang kali menuntut agar negara-negara yang 'tidak ramah' harus membayar dalam rubel untuk membeli gas. Namun negara G-7 - termasuk Jerman -menolak permintaan itu, karena sebagian besar negara saat ini membayar gas Rusia dalam euro atau dolar.

Ketergantungan Jerman pada energi Rusia juga ditakutkan dapat mendorong ekonominya ke dalam resesi, ungkap laporan dari lembaga think tank ekonomi independen German Council of Economic Experts.

Hal buruk lainnya yang sedang terjadi di Jerman adalah tingkat inflasi harga konsumen yang pada pembacaan awal diperkirakan naik menjadi 7,3% pada Maret 2022, terbesar sejak 1981 dan jauh di atas ekspektasi pasar di angka 6,3%.

Dari negeri Paman Sam, investor hingga ekonom menyimak secara seksama pergerakan imbal hasil surat utang negara. Inversi yield obligasi Amerika Serikat yang terjadi memicu kecemasan akan potensi kembali munculnya resesi.

Inversi terjadi pada yield tenor 5 tahun (2,606%) dan tenor 30 tahun (2,591%). Kedua tenor ini terakhir kali mengalami inversi - yield tenor pendek lebih tinggi dari tenor panjang - pada 2006, yang mana dua tahun setelahnya dunia dilanda krisis finansial.

Riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu mengungkapkan bahwa sejak tahun 1955, ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti akan dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, hanya sekali saja inversi yoeld tidak memicu resesi (false signal).

Meski demikian, para peneliti di The Fed akhir pekan lalu (25/2) mengeluarkan publikasi yang berpendapat bahwa kekuatan prediksi resesi yang akan datang oleh spread Treasuries 2 dan 10 tahun "mungkin [hanya sinyal] palsu," dan menyarankan acuan yang lebih baik adalah spread Treasuries dengan jangka waktu kurang dari 2 tahun.

Inversi yoeld Treasury terjadi karena Imbal hasil utang pemerintah AS jangka pendek meningkat secara cepat tahun ini, mencerminkan ekspektasi serangkaian kenaikan suku bunga oleh The Fed, dengan imbal hasil obligasi pemerintah dengan jangka waktu lebih panjang bergerak lebih lambat di tengah kekhawatiran pengetatan kebijakan dapat membebani ekonomi. .

Baru-baru ini pimpinan tertinggi The Fed telah menyebut bahwa kedepannya mereka dapat saja menaikkan suku bunga secara agresif hingga 50 bps bila benar-benar diperlukan.

Sementara itu Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuannya, setidaknya sampai Rapat Dewan Gubernur Selanjutnya. Meski demikian, Analis keuangan dan ekonom banyak yang memprediksi bahwa RI setidaknya akan melakukan dua kali kenaikan suku bunga dan paling cepat dilakukan pada kuartal kedua tahun ini.

(fsd/fsd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular