Newsletter

Global Masih Waspada, IHSG Masih Kuat Nanjak?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
28 March 2022 06:21
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam minggu lalu. Kinerja positif dibukukan bursa saham nasional yang mampu menguat, ditopang oleh aksi beli asing di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih baik.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memang melemah 0,67% pada hari perdagangan terakhir, Jumat (25/3/2022), menjadi 7.002,532. Namun dalam selama sepekan, IHSG tercatat menguat 0,68% dibandingkan dengan posisi penutupan akhir pekan lalu di level 6.954,965.

Reli mingguan itu melanjutkan penguatan yang dicetak sepekan sebelumnya sebesar 0,47%. Pergerakan IHSG pekan ini juga dapat dibilang istimewa karena berhasil mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa.

Selama lima hari perdagangan pekan ini, indeks acuan utama bursa nasional mampu menguat tiga hari, yakni pada Senin, Selasa, dan Kamis. Reli terbesar terjadi pada Kamis dengan kenaikan sebesar 0,77%. Sejak awal tahun ini IHSG tercat telah sudah menguat 6,4%.

Nasib kurang baik dirasakan rupiah yang pada pekan ini berakhir melemah, yakni sebesar 0,74% ke Rp 14.235/dolar AS. Koreksi ini terjadi setelah pekan lalu menguat 0,45%.

Pekan lalu investor optimistis membelanjakan investasinya ke saham-saham unggulan di tengah pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa fondasi ekonomi Indonesia semakin kuat, meski ada tantangan dan ketidakpastian global. Ditambah mudik Lebaran tahun ini kembali dibuka, dengan persyaratan vaksinasi dan booster.

Optimisme pemulihan ekonomi Indonesia yang solid pada tahun 2022 yang ditunjang indikator ekonomi lainnya juga menjadi salah satu alasan dana investor asing terus mengalir deras di bursa domestik. Dana Moneter Dunia (International Monetary Fund/IMF) memproyeksikan ekonomi Sang Garuda akan tumbuh 5,4% secara tahunan (year-over-year/yoy) pada tahun ini, lebih optimis dari pemerintah yang memperkirakan ekonomi tumbuh 5,2% (yoy).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pembukaan ekonomi setelah mulai terkendalinya penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia. Ditambah, tingginya harga komoditas dunia yang ikut menambah pundi-pundi devisa negara lewat ekspor.

Namun konflik yang berkepanjangan di Ukraina serta sanksi ekonomi yang dialami Rusia, pembatasan di China dan rantai pasok yang masih bermasalah dikhawatirkan. Ini dapat memangkas pertumbuhan kuat ekonomi global dua tahun semenjak ekonomi lumpuh akibat pandemi.

Pemerintah AS akan merilis laporan ketenagakerjaan bulan Maret pekan depan, tetapi perkembangan di Ukraina. Harga minyak dan laporan inflasi kemungkinan masih akan tetap menjadi penggerak utama di pasar modal.

Saham Wall Street mencatat kinerja positif minggu ini, di tengah kenaikan suku bunga robek dan lonjakan harga minyak mentah dunia. Energi menjadi sektor dengan kinerja terbaik, naik lebih dari 7%, karena kontrak berjangka minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) menguat nyaris 9%.

Imbal hasil Treasury 10-tahun yang merupakan salah satu indikator utama ekonomi dalam sepekan naik dari 2,14% menjadi 2,5% pada hari Jumat. Itu level tertinggi sejak Mei 2019.

S&P 500 memang naik sekitar 1,8% untuk minggu ini, akan tetapi para investor dan trader masih terus mencermati implikasi kenaikan suku bunga. Apakah akan menghentikan keuntungan di pasar modal.

"Sejak perang dimulai, dalam sepuluh hari yang berkinerja positif, S&P 500 naik setidaknya 1%," kata Art Hogan, kepala strategi pasar di National Securities, dikutip CNBC International.

"Saya berpikir minggu depan tidak akan berbeda. [Pasar Modal AS] akan didorong [berbagai sentimen dan berita utama], apakah itu data ekonomi, berita dari Ukraina atau kontrak berjangka minyak mentah."

Meski pasar mengalami gonjang-ganjing sejak perang terjadi di Ukraina, S&P 500 berhasil naik hampir 3,9% selama bulan Maret hingga akhir pekan lalu.

Katie Stockton, pendiri Fairlead Strategies, mengatakan grafik saham terlihat menjanjikan untuk jangka pendek tetapi kurang jelas untuk jangka panjang.

"Kita harus memanfaatkan momentum jangka pendek ini. Saya merasa cukup yakin dalam jangka pendek. [Di rentang] beberapa minggu," katanya. Katie juga menyebut bahwa pihaknya " telah melihat beberapa terobosan jangka pendek yang bagus."

Dia mengatakan 58% dari perusahaan konstituen di indeks S&P 500 sekarang berada di harga moving average 50 hari mereka, sebuah tanda positif dan bisa jadi momentum.

Adapun 50 hari yang dimaksud adalah harga penutupan rata-rata dalam 50 hari perdagangan terakhir, dengan pergerakan di atas batas tersebut dapat pula menandakan telah terjadi lebih banyak kenaikan, dan dapat mengalami koreksi.

Saham utama seperti Tesla, Microsoft, Apple dan Alphabet semuanya telah mendapatkan kembali rata-rata pergerakan (moving average) 50 hari mereka, katanya.

Jumlah pekerjaan dan inflasi

Pekan depan akan menjadi waktu yang cukup sibuk dan menegangkan dengan laporan pekerjaan bulan Maret dan data pengeluaran konsumsi pribadi menjadi sorotan utama.

Sementara itu, indeks kepercayaan konsumen dan data harga rumah akan dirilis Selasa.

Data rumah tangga, yang di dalamnya termasuk indeks pengeluaran dan konsumsi personal (PCE) merupakan data yang menggambarkan ukuran inflasi yang diawasi ketat dan lebih disukai oleh The Fed. Ekonom memperkirakan inflasi inti PCE yang akan dilaporkan Kamis depan naik 5,5% secara tahunan (yoy).

Selain itu terdapat pula juga survei manufaktur ISM yang akan dilaporkan Jumat. Laporan utana terkait penggajian non-pertanian (nonfarm payrolls) juga akan dipaparkan hari itu.

Ekonom memperkirakan 460.000 pekerjaan berhasil ditambahkan pada bulan Maret dan tingkat pengangguran turun menjadi 3,7%, menurut Dow Jones. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan penambahan 678.000 nonfarm payrolls pada Februari, sedangkan tingkat pengangguran sedikit membaik dari semula 3,8%.

Pekan ini ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh para investor, dengan mayoritas isu berasal dari luar negeri. Pertama tentu saja terkait perang Ukraina-Rusia serta implikasinya bagi sektor ekonomi dan bisnis global.

Hingga saat ini, perang di Ukraina bisa saja membebani pasar minggu depan. Karena terobosan terkait gencatan senjata sepertinya tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.

Selanjutnya investor juga perlu memperhatikan volatilitas harga komoditas, yang kian hari semakin sulit diprediksi. Setelah cenderung melemah selama dua pekan sebelumnya, pekan ini komoditas tambang, energi dan perkebunan kompak menguat.

Dari negeri Paman Sam, investor juga akan mencermati mengikuti laporan terkait penggajian (payroll) AS dan data pengeluaran konsumsi pribadi sebagai proksi dan petunjuk seberapa cepat The Fed akan mengetatkan kebijakan moneter.

Baru-baru ini bank sentral AS tersebut telah resmi menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bp) selaras dengan harapan pasar. Meski demikian dari dalam negeri, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuannya, setidaknya sampai Rapat Dewan Gubernur Selanjutnya.

Analis keuangan dan ekonom banyak yang memprediksi bahwa RI setidaknya akan melakukan dua kali kenaikan suku bunga dan paling cepat dilakukan pada kuartal kedua tahun ini. Agresivitas dari The Fed tentu juga mempengaruhi seberapa cepat suku bunga dalam negeri akan naik.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, sekali lagi menegaskan suku bunga 3,50% akan dipertahankan sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental.

Sebelumnya, pimpinan tertinggi The Fed telah menyebut bahwa kedepannya mereka dapat saja menaikkan suku bunga secara agresif hingga 50 bps bila benar-benar diperlukan.

Selanjutnya data pembacaan awal terkait inflasi di berbagai belahan dunia juga patut untuk dicermati dengan seksama. Beberapa negara yang sedang mengalami inflasi akut dan berada pada level petinggi multi tahun termasuk AS, Inggris, kawasan euro, Brazil, Turki hingga Rusia.

Dari dalam negeri data inflasi akan diumumkan pada hari Jumat pekan depan.

Sedangkan dari dalam negeri, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,5%.

Indikator global lainnya termasuk aktivitas manufaktur dan pertumbuhan ekonomi. Purchasing Manager's Index (PMI) negara-negara besar mitra dagang RI akan diumumkan minggu depan termasuk China, Jepang, India, Korea Selatan dan Australia.

Kondisi pasar obligasi juga menarik untuk diperhatikan, baik secara global maupun nasional. Pelemahan pasar obligasi global berlanjut pada hari Jumat yang merupakan antisipasi dan respons atas siklus pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral utama yang berupaya untuk menjinakkan inflasi.

Imbal hasil obligasi 10-tahun AS mencapai 2,5%, tertinggi sejak Mei 2019, imbal hasil 10-tahun Jerman, patokan untuk Eropa, naik 0,59% dan merupakan yang tertinggi sejak Mei 2018, sedangkan obligasi 10-tahun Prancis imbal hasilnya telah berada di atas 1%.

Dari dalam negeri investor masih perlu mencermati perkembangan pandemi, meskipun pemerintah sudah menyebut bahwa mudik untuk tahun ini diperbolehkan.

Selain itu menyambut bulan puasa yang akan dimulai pekan depan, harga barang-barang kebutuhan dapat naik lebih tinggi, yang akhirnya dapat menaikkan inflasi yang kian hari semakin mendekati batas atas yang diinginkan Bank Indonesia.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

Lelang surat utang 7 tahun Uni Eropa (16.45 WIB)

Pidato Gubernur Bank of England (18.00)

Data neraca transaksi berjalan Brasil Februari (19.30 WIB)

Data defisit neraca perdagangan AS Februari (19.30 WIB)

Hari ini hanya terdapat dua agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk (PANI) dan PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY).

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular