Newsletter

Neraca Dagang Jadi "Obat Kuat", IHSG Siap Lanjut Naik?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
Selasa, 15/03/2022 06:10 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses ditutup di zona hijau Senin (14/3/2022). Terus masuknya dana asing pada perdagangan menjadi penopangnya.

Berbeda nasib, rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin. Padahal sebelumnya, mata uang garuda ini sempat menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menguat pada pekan lalu.

Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG berakhir di level 6.952,20 atau lompat 0,43%. Ini merupakan level penutupan tertinggi sepanjang sejarah IHSG.

Sebanyak 239 saham menguat. Sementara 290 lain melemah dan 160 sisanya flat. 

Nilai perdagangan tercatat senilai Rp 15 triliunan dengan melibatkan 22 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Investor asing kali ini mencetak pembelian bersih (net buy), senilai Rp 1,3 triliun.

IHSG sukses menghijau di tengah bursa Asia yang galau. Bahkan beberapa indeks saham di kawasan Asia terpantau kebakaran seperti Hang Seng yang drop hampir 5% dan Shanghai Index yang terkoreksi 2,6%.

Pasar menyambut positif perkembangan yang ada terkait dengan perang Ukraina-Rusia. Di mana kedua belah pihak akan kembali bertemu untuk negosiasi syarat perdamaian atau gencatan senjata, di tengah makin meningkatnya tekanan Blok Barat terhadap ekonomi Rusia.

Sementara, melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan Senin dengan stagnan di Rp 14.300/US$. Tidak lama rupiah langsung masuk ke zona merah dan tertahan hingga penutupan perdagangan.

Rupiah sempat melemah hingga 0,25%, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.330/US$ atau melemah 0,21%. Semua mata uang utama Asia melemah pada kemarin, di mana hingga pukul 15:03 WIB, baht Thailand menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,42%.

Perang Rusia dengan Ukraina masih menjadi salah satu penggerak utama pasar mata uang. Selain itu, perhatian di pekan ini tertuju pada pengumuman kebijakan moneter bank sental AS (The Fed) dan Bank Indonesia (BI).

The Fed akan mengumumkan kebijakan moneternya pada Kamis (17/3) dini hari waktu Indonesia. BI akan menyusul di hari yang sama pada pukul 14:00 WIB.

Ketua The Fed, Jerome Powell, saat ini mendukung kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin. Tapi, ia membuka peluang lebih agresif jika inflasi terus menanjak.

"Kami akan berhati-hati saat mempelajari implikasi perang di Ukraina terhadap perekonomian. Kamu memiliki ekspektasi inflasi akan mencapai puncaknya kemudian turun di tahun ini. Jika inflasi malah semakin tinggi atau lebih persisten, kami akan bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih agresif dengan menaikkan suku bunga lebih dari 25 basis poin pada satu atau beberapa pertemuan," kata Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS, pada Rabu (2/3).

Tren kenaikan inflasi di AS memang masih terus berlanjut. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, bahkan menyatakan inflasi masih akan terus menanjak dalam waktu yang cukup lama.

"Saya pikir banyak ketidakpastian yang terkait dengan perang Rusia dengan Ukraina. Dan saya pikir itu akan mempertajam inflasi. Saya tidak mau membuat prediksi apa yang akan terjadi di semester II tahun ini. Kita kemungkinan akan melihat inflasi yang sangat tinggi dan tidak membuat nyaman," kata Yellen sebagaimana diwartakan CNBC International.

Alhasil, risiko The Fed akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga semakin menguat.

Sepekan sebelum pengumuman kebijakan moneter The Fed, para spekulan sudah mulai memborong dolar AS. Hal ini terlihat dari laporan Commodity Futures Trading Commission (CFTC) Jumat pekan lalu yang menunjukkan posisi net long dolar AS meningkat menjadi US$ 5,44 miliar pada pekan yang berakhir 8 Maret.

Nilai tersebut mengalami kenaikan dari pekan sebelumnya US$ 5,12 miliar yang merupakan level terendah sejak Agustus 2021. 

Posisi net long tersebut merupakan kontrak dolar AS melawan yen, euro, poundsterling, franc, dolar Australia dan Kanada. Sementara posisi kontrak yang lebih luas termasuk melawan mata uang emerging market, net long dolar AS senilai US$ 3,88 miliar, naik tipis dari pekan sebelumnya US$ 3,84 miliar.

Hal ini menunjukkan mata uang emerging market masih cukup menarik perhatian para spekulan, khususnya negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia. Terbukti, nilai tukar rupiah masih cukup stabil meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, dan terjadi perang Rusia dengan Ukraina.


(adf/adf)
Pages