
Banjir Duit Asing, Indonesia "Surga" Investasi saat Perang?

Wall Street meski tidak kompak menguat tetapi setidaknya memberikan gambaran tekanan ke pasar finansial global perlahan mereda. Hal ini bisa sedikit memberikan sentimen positif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini, termasuk ke IHSG.
Perkembangan perang antara Rusia dan Ukraina masih akan terus menjadi perhatian, termasuk sanksi-sanksi yang diberikan ke Rusia.
Amerika Serikat an negara-negara Barat memang tidak memberikan memberikan sanksi ke industri energi Rusia. Tetapi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIF (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.Lewat SWIFT bank-bank di dunia yang tergabung di dalamnya dapat bertukar informasi tentang pergerakan uang.
SWIFT kini sudah mengkoneksikan lebih dari 11 ribu institusi keuangan di lebih dari 200 negara sehingga transaksi keuangan antar negara dapat dilaksanakan.
Jika benar Rusia diputus dari SWIFT maka hal itu bisa berdampak secara tidak langsung ke ekspor minyak, sehingga supply global bisa terganggu.
"Sanksi yang diterima perbankan Rusia membuat penjualan minyak mentah menjadi lebih sulit," kata John Kilduff, dari Again Capital sebagaimana diwartakan CNBC International.
Minyak mentah jenis Brent saat ini masih terus berada di atas US$ 100/barel. Level tersebut tidak pernah disentuh sejak tahun 2014, Kamis pekan lalu menjadi yang pertama minyak Brent mencapai US$ 100/barel.
Kenaikan harga minyak mentah tersebut dikhawatirkan akan membuat inflasi semakin terakselerasi. Seperti diketahui, negara Barat saat ini sedang menghadapi masalah tingginya inflasi. Sehingga jika terakselerasi berisiko membuat perekonomian global kembali mendapat masalah.
Meski demikian, saat terjadi perang dan berbagai risiko yang menghantui, aliran modal masih terus mengalir ke dalam negeri. Seperti disebutkan di halaman 1, aliran modal yang besar masuk ke pasar saham dan obligasi sepanjang bulan Februari.
Fundamental perekonomian Indonesia yang semakin membaik bisa jadi membuat investor asing terus mengalirkan modalnya ke Indonesia. Tidak seperti negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) begitu juga negara-negara di Eropa, inflasi di Indonesia masih rendah.
Di bulan Januari, inflasi di Indonesia dilaporkan tumbuh 2,18% year-on-year (yoy), bandingkan dengan Amerika Serikat yang sebesar 7,5% (yoy).
Selain itu, ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.
Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Dengan surplus tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah akan lebih terjaga yang bisa memberikan kenyamanan investor asing berinvestasi di dalam negeri. Kerugian akibat fluktuasi kurs bisa diminimalisir, begitu juga rendahnya inflasi.
Di tahun ini, transaksi berjalan memang diperkirakan akan kembali defisit, tetapi tidak akan sebesar sebelumnya.
Kemudian, pemerintah juga sudah menegaskan tidak akan lagi melakukan pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bahkan akan didorong agar pandemi menjadi endemi, sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih kencang.
Ekonom MNC Sekuritas Tirta Citradi juga memberikan komentarnya terkait aliran modal yang masuk ke dalam negeri.
"Ini menunjukkan bahwa confidence asing terhadap Indonesia masih baik," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia.
Tirta juga menambahkan bahwa salah satu pemicu mengapa asing mau memborong saham domestik karena persoalan valuasi yang menarik dan outlook ekonomi Indonesia yang masih solid di tahun ini.
"Kita harus lihat ya, kita gunakan saja AS sebagai proxy, di tahun 2021 harga saham-saham AS sudah naik kencang. Valuasinya jadi premium, beda dengan Indonesia. Walaupun memberikan return 10% di tahun 2021, tetapi valuasinya masih oke dan fair," lanjutnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
(pap/pap)