Newsletter

Banjir Duit Asing, Indonesia "Surga" Investasi saat Perang?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 March 2022 06:10
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia mengalami tekanan pada pekan lalu akibat memburuknya sentimen pelaku pasar global. Penyebabnya, apa lagi selain invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina. Meski demikian, pelemahan yang dialami Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah hingga Surat Berharga Negara (SBN) tidak terlalu besar.

Bahkan, investor asing justru mengalirkan modalnya ke Indonesia. Jika itu terjadi lagi, pada perdagangan Selasa (1/3) bukan tidak mungkin IHSG, rupiah dan SBN kembali menguat. Kenapa investor asing mengalirkan modalnya ke dalam negeri, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.

Sepanjang pekan lalu, IHSG hanya melemah 0,07% saja ke 6.88,171. Pada Kamis (24/2) IHSG bahkan sempat mencatat rekor tertinggi sepanjang masa di 6.929,911, sebelum berbalik jeblok akibat invasi Rusia.

Yang menarik, meski bursa saham global jeblok saat itu yang menjadi pertanda memburuknya sentimen pelaku pasar, investor asing justru terus melakukan aksi beli bersih (net buy).

Lazimnya, ketika sentimen pelaku pasar memburuk maka aset-aset berisiko akan dihindari. Tetapi sepanjang pekan lalu investor asing tercatat melakukan net buy Rp 4,11 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.

Sementara dalam satu bulan net buy tercatat sebesar Rp 17,59 triliun, yang menjadi salah satu pemicu IHSG melesat 3,88% di bulan Februari.

Jika dilihat sepanjang tahun ini (year-to-date/ytd) net buy tercatat lebih dari Rp 23 triliun, dan IHSG mencatat penguatan 4,66% (ytd). 

Di pasar obligasi capital inflow juga terjadi, bisa dilihat dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan. Sepanjang bulan lalu hingga 24 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, sekitar Rp 10,34 triliun.

Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini hingga 24 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 6 triliun di pasar obligasi.

Sepanjang pekan lalu, harga SBN bervariasi, tenor 1, 2 dan 25 tahun mengalami kenaikan, terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang mengalami penurunan. Sementara tenor lainnya mengalami penurunan harga.

Berikut pergerakan SBN sepanjang pekan lalu.

Pergerakan harga obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.

Aliran modal yang masuk ke pasar saham dan obligasi tersebut mampu menjaga kinerja rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang pekan lalu rupiah tercatat melemah 0,28% saja ke Rp 14.265/US$, sementara sepanjang bulan Februari malah menguat tipis 0,1%.

Di pertengahan bulan lalu rupiah bahkan sempat mencatat level penutupan terkuat di 2022 di Rp 14.255/US$.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pantau Perkembangan Rusia vs Ukraina, Wall Street Bervariasi

Bursa saham AS (Wall Street) jeblok di awal perdagangan Senin waktu setempat. Tetapi setelahnya Wall Street berhasil memangkas penurunan, indeks Nasdaq bahkan sukses berbalik menguat. Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, disusul sanksi ekonomi yang diberikan AS dan negara-negara lainnya ke Rusia menjadi penggerak utama pasar saham dunia.

Indeks Dow Jones berakhir melemah 0,5% ke 33.892,60, setelah merosot sekitar 1,4% di awal perdagangan. Kemudian indeks S&P 500 turun 0,24% ke 4.373,94, dan Nasdaq menguat 0,41% ke 13.751,4.

"Perang secara fundamental membuat investor menjauhi aset berisiko ke aset safe haven seperti obligasi dan yang lainnya sampai pada kesimpulan atau situasi yang di-price in. Segala sesuatu tentang ini belum pernah terjadi sebelumnya, jadi satu-satunya yang rasional adalah pasar saham akan mengalami volatilitas menunggu adanya resolusi," kata Raymond James, ahli stretegi pasar di Tavis McCourt dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Senin (28/2).

Hingga Senin kemarin, serangan Rusia ke Ukraina memasuki hari kelima. Kementerian Pertahan AS melaporkan 75% tentara Rusia yang berada di perbatasan kini sudah masuk ke Ukraina.

Pasukan Rusia dikabarkan berhasil menguasai dua kota di wilayah Tenggara Ukraina yaitu Berdyansk dan Enerhodar.

Pertempuran juga terjadi di kota terbesar kedua, Kharkiv. Sementara ibu kota Kyiv dikatakan masih dalam kendali Ukraina.

"Ibu kota Kyiv masih dikendalikan sepenuhnya oleh tentara dan pertahanan Ukraina," kata pejabat pemerintahan di Kyiv.

Meski pertempuran sedang berlangsung, kedua belah pihak juga mengadakan pertemuan di Belarusia. Belum ada hasil dari pertemuan tersebut, tetapi kedua belah pihak mengatakan akan kembali melakukan perundingan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Wall Street meski tidak kompak menguat tetapi setidaknya memberikan gambaran tekanan ke pasar finansial global perlahan mereda. Hal ini bisa sedikit memberikan sentimen positif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini, termasuk ke IHSG. 

Perkembangan perang antara Rusia dan Ukraina masih akan terus menjadi perhatian, termasuk sanksi-sanksi yang diberikan ke Rusia. 

Amerika Serikat an negara-negara Barat memang tidak memberikan memberikan sanksi ke industri energi Rusia. Tetapi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIF (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.Lewat SWIFT bank-bank di dunia yang tergabung di dalamnya dapat bertukar informasi tentang pergerakan uang.

SWIFT kini sudah mengkoneksikan lebih dari 11 ribu institusi keuangan di lebih dari 200 negara sehingga transaksi keuangan antar negara dapat dilaksanakan.

Jika benar Rusia diputus dari SWIFT maka hal itu bisa berdampak secara tidak langsung ke ekspor minyak, sehingga supply global bisa terganggu.

"Sanksi yang diterima perbankan Rusia membuat penjualan minyak mentah menjadi lebih sulit," kata John Kilduff, dari Again Capital sebagaimana diwartakan CNBC International.

Minyak mentah jenis Brent saat ini masih terus berada di atas US$ 100/barel. Level tersebut tidak pernah disentuh sejak tahun 2014, Kamis pekan lalu menjadi yang pertama minyak Brent mencapai US$ 100/barel. 

Kenaikan harga minyak mentah tersebut dikhawatirkan akan membuat inflasi semakin terakselerasi. Seperti diketahui, negara Barat saat ini sedang menghadapi masalah tingginya inflasi. Sehingga jika terakselerasi berisiko membuat perekonomian global kembali mendapat masalah.  

Meski demikian, saat terjadi perang dan berbagai risiko yang menghantui, aliran modal masih terus mengalir ke dalam negeri. Seperti disebutkan di halaman 1, aliran modal yang besar masuk ke pasar saham dan obligasi sepanjang bulan Februari. 

Fundamental perekonomian Indonesia yang semakin membaik bisa jadi membuat investor asing terus mengalirkan modalnya ke Indonesia. Tidak seperti negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) begitu juga negara-negara di Eropa, inflasi di Indonesia masih rendah.

Di bulan Januari, inflasi di Indonesia dilaporkan tumbuh 2,18% year-on-year (yoy), bandingkan dengan Amerika Serikat yang sebesar 7,5% (yoy).

Selain itu, ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.

Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Dengan surplus tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah akan lebih terjaga yang bisa memberikan kenyamanan investor asing berinvestasi di dalam negeri. Kerugian akibat fluktuasi kurs bisa diminimalisir, begitu juga rendahnya inflasi.

Di tahun ini, transaksi berjalan memang diperkirakan akan kembali defisit, tetapi tidak akan sebesar sebelumnya.

Kemudian, pemerintah juga sudah menegaskan tidak akan lagi melakukan pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bahkan akan didorong agar pandemi menjadi endemi, sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih kencang.

Ekonom MNC Sekuritas Tirta Citradi juga memberikan komentarnya terkait aliran modal yang masuk ke dalam negeri.

"Ini menunjukkan bahwa confidence asing terhadap Indonesia masih baik," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia.

Tirta juga menambahkan bahwa salah satu pemicu mengapa asing mau memborong saham domestik karena persoalan valuasi yang menarik dan outlook ekonomi Indonesia yang masih solid di tahun ini.

"Kita harus lihat ya, kita gunakan saja AS sebagai proxy, di tahun 2021 harga saham-saham AS sudah naik kencang. Valuasinya jadi premium, beda dengan Indonesia. Walaupun memberikan return 10% di tahun 2021, tetapi valuasinya masih oke dan fair," lanjutnya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Kondisi fundamental dalam negeri terbaru bisa tercermin dari rilis data ekonomi hari ini.

IHS Markit akan melaporkan tingkat aktivitas sektor manufaktur Indonesia di bulan Februari. PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, di bawahnya artinya kontraksi.

Semakin tinggi angkanya di atas 50 artinya ekspansi semakin besar, yang tentunya bagus bagi perekonomian.

Sektor industri pengolahan merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar berdasarkan lapangan usaha, kontribusinya nyaris 20%.

Di bulan Januari, manufaktur tercatat naik menjadi 53,7 dari bulan Desember 2021 53,5.

China hari ini juga akan melaporkan data PMI manufaktur, yang tentunya bisa berdampak ke pergerakan pasar saham Asia. Maklum saja, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, sehingga ekspansi atau kontraksi yang dialami sektor manufakturnya bisa berdampak ke negara lainnya. 

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi Februari 2022 pada 1 Maret 2022. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi 0,08% dibandingkan Januari 2022 (month-to-month/mtm). Jika terwujud, maka akan menjadi deflasi pertama sejak September 2021.

Sementara dibandingkan Februari 2021 (year-on-year/yoy), pasar memperkirakan laju inflasi sebesar 2,015%. Jika terjadi, maka melambat dibandingkan Januari 2022 di mana inflasi tahunan tercatat 2,18% yoy.

Kemudian inflasi inti secara tahunan pada Februari 2022 diperkirakan 1,91% yoy. Naik dibandingkan Januari 2022 yang sebesar 1,84% yoy.

Inflasi inti mencerminkan kenaikan harga barang-barang yang kurang volatil. Sehingga penurunan inflasi dan kenaikan inflasi inti bisa menjadi indikasi daya beli masyarakat yang membaik.

Kenaikan daya beli tentunya menjadi kabar baik bagi perekonomian Indonesia. Sebab, konsumsi rumah tangga menjadi kontributor PDB terbesar dari sektor pengeluaran. Konsumsi rumah tangga menyumbang 54% dari total PDB di tahun 2021.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Data Ekonomi dan Agenda Emiten

Berikut beberapa agenda data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Penawaran saham perdana PT Nanotech Indonesia Global Tbk. (NANO)
  • Public Expose MIRA, SUPR
  • Rapat Umum Pemegang Saham RUNS, BBRI, SUPR, MIRA
  • Rilis data PMI Manufaktur Indonesia (7:30 WIB)
  • Rilis data PMI Manufaktur China (8:00 WIB)
  • Rilis data PMI Manufaktur China versi Caixin (8:45 WIB)
  • Pengumuman kebijakan moneter RBA (10:30 WIB)
  • Rilis data inflasi Indonesia (11:00 WIB)
  • Rilis data ISM Manufaktur AS (22:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular