Newsletter

Wall Street 'Karam' Lagi-Covid Melesat, Semoga IHSG Kuat!

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
Jumat, 21/01/2022 06:20 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah sama-sama sukses menghentikan pelemahan dalam 3 hari beruntun pada penutupan perdagangan Kamis kemarin (20/1/2022). Sementara, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup cenderung bervariasi.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup menguat 0,53% di level 6.626,87 pada perdagangan Kamis (20/1). Nilai transaksi mencapai Rp 12,6 triliun dan asing net sell Rp 17 miliar di seluruh pasar.

Saham yang paling banyak dilepas asing antara lain saham PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dengan net sell Rp 93 miliar dan Rp 97 miliar.

Sementara, saham yang banyak diburu asing pada perdagangan hari ini antara lain adalah PT Bank Jago Tbk (ARTO) dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dengan net buy Rp 100 miliar dan Rp 105 miliar.

Penguatan IHSG terpangkas setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan kebijakan moneternya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Januari 2022.

Sesuai dengan konsensus pasar, BI mempertahankan kebijakan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo tetap di 3,5%. Namun BI mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter lewat menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM).

Normalisasi GWM rupiah untuk bank umum dan konvensional saat ini 3,5% dinaikkan 150 bps menjadi 5% dengan pemenuhan harian 1% dan rata-rata 4% berlaku 1 Maret 2022.

Kemudian, melansir data dari BI, kurs tengah atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini berada di Rp 14.354/US$, menguat 0,11% dibandingkan posisi kemarin. Sementara di pasar spot, rupiah menguat 0,17% ke Rp 14.335/US$.

Di awal perdagangan pasar spot rupiah sempat melesat 0,28%, tetapi sempat stagnan siang tadi. Rupiah kemudian sukses menguat lagi dan terakselerasi setelah BI dalam pengumuman kebijakan moneter hari ini memutuskan bakal mulai menaikkan GWM secara bertahap hingga akhir kuartal III-2022. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.

Perry Warjiyo, Gubernur BI, menilai likuiditas perbankan saat ini begitu longgar. Rasio Alat Likuid per Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) mencapai 35,15%. Jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yakni 23%.

Oleh karena itu, Perry meyakini kenaikan GWM tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Meski ada kenaikan GWM, AL/DPK diperkirakan tetap berada di kisaran 30% pada September 2022.

Kenaikan GWM tiga kali pada 2022, tambah Perry, diperkirakan 'menyedot' likuiditas sekitar Rp 200 triliun dari sistem perbankan. Jumlah itu diyakini masih bisa membuat perbankan punya ruang untuk 'bernapas'.

Sementara, sikap investor di pasar obligasi pemerintah cenderung beragam, di mana pada SBN bertenor satu tahun, tiga tahun, dan 20 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai oleh menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield).

Sebaliknya, SBN dengan jatuh tempo lima tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor. Hal ini ditandai oleh melemahnya harga dan kenaikan yield.

Melansir data dari Refinitiv, hanya yield SBN bertenor 25 tahun yang cenderung stagnan di level 7,252% pada Kamis. Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik naik 0,8 bp ke level 6,422%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.


(adf/adf)
Pages