Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah sama-sama sukses menghentikan pelemahan dalam 3 hari beruntun pada penutupan perdagangan Kamis kemarin (20/1/2022). Sementara, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup cenderung bervariasi.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup menguat 0,53% di level 6.626,87 pada perdagangan Kamis (20/1). Nilai transaksi mencapai Rp 12,6 triliun dan asing net sell Rp 17 miliar di seluruh pasar.
Saham yang paling banyak dilepas asing antara lain saham PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dengan net sell Rp 93 miliar dan Rp 97 miliar.
Sementara, saham yang banyak diburu asing pada perdagangan hari ini antara lain adalah PT Bank Jago Tbk (ARTO) dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dengan net buy Rp 100 miliar dan Rp 105 miliar.
Penguatan IHSG terpangkas setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan kebijakan moneternya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Januari 2022.
Sesuai dengan konsensus pasar, BI mempertahankan kebijakan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo tetap di 3,5%. Namun BI mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter lewat menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM).
Normalisasi GWM rupiah untuk bank umum dan konvensional saat ini 3,5% dinaikkan 150 bps menjadi 5% dengan pemenuhan harian 1% dan rata-rata 4% berlaku 1 Maret 2022.
Kemudian, melansir data dari BI, kurs tengah atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini berada di Rp 14.354/US$, menguat 0,11% dibandingkan posisi kemarin. Sementara di pasar spot, rupiah menguat 0,17% ke Rp 14.335/US$.
Di awal perdagangan pasar spot rupiah sempat melesat 0,28%, tetapi sempat stagnan siang tadi. Rupiah kemudian sukses menguat lagi dan terakselerasi setelah BI dalam pengumuman kebijakan moneter hari ini memutuskan bakal mulai menaikkan GWM secara bertahap hingga akhir kuartal III-2022. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, menilai likuiditas perbankan saat ini begitu longgar. Rasio Alat Likuid per Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) mencapai 35,15%. Jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yakni 23%.
Oleh karena itu, Perry meyakini kenaikan GWM tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Meski ada kenaikan GWM, AL/DPK diperkirakan tetap berada di kisaran 30% pada September 2022.
Kenaikan GWM tiga kali pada 2022, tambah Perry, diperkirakan 'menyedot' likuiditas sekitar Rp 200 triliun dari sistem perbankan. Jumlah itu diyakini masih bisa membuat perbankan punya ruang untuk 'bernapas'.
Sementara, sikap investor di pasar obligasi pemerintah cenderung beragam, di mana pada SBN bertenor satu tahun, tiga tahun, dan 20 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai oleh menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield).
Sebaliknya, SBN dengan jatuh tempo lima tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor. Hal ini ditandai oleh melemahnya harga dan kenaikan yield.
Melansir data dari Refinitiv, hanya yield SBN bertenor 25 tahun yang cenderung stagnan di level 7,252% pada Kamis. Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik naik 0,8 bp ke level 6,422%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Aksi jual yang terjadi menjelang penutupan perdagangan membuat indeks bursa saham utama AS alias Wall Street kembali terbenam di zona merah, pada Kamis (20/1) waktu setempat. Ini menunjukkan bahwa investor masih khawatir tentang prospek pengetatan kebijakan moneter a la bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Dengan ini, selama minggu ini Wall Street tidak pernah ditutup menghijau.
Indeks Nasdaq Composite mengakhiri sesi dengan ambles 1,3% pada 14.154,02, melanjutkan koreksi pada 2 hari sebelumnya.
Kemudian, Dow Jones Industrial Average turun 313,26 poin menjadi 34.715,39 pada Kamis. Ini membuat indeks Dow Jones sudah terbenam di zona merah selama 5 hari beruntun.
Sementara, S&P 500 turun 1,1% menjadi 4.482,73, usai turun pada 2 hari sebelumnya. S&P 500 ditutup di bawah 4.500 untuk pertama kalinya sejak Oktober 2021.
Kekhawatiran bahwa The Fed akan secara agresif bergerak untuk menaikkan suku bunga tahun ini berdampak pada pasar. Investor dengan cemas menunggu pertemuan kebijakan bank sentral AS minggu depan untuk mendapatkan petunjuk baru tentang bagaimana Jerome Powell dkk akan mengatasi inflasi.
Pada Kamis, Indeks saham utama Wall Street secara tajam memangkas kenaikan lebih dari 1% pada perdagangan intraday menjadi ditutup jauh di zona merah.
Melansir CNBC International, Bespoke Investment Group mencatat menonjolnya aksi jual investor yang signifikan pada jam-jam terakhir perdagangan tahun ini dalam sebuah catatan kepada klien pada Kamis.
"Rata-rata, saham AS telah rally ke waktu makan siang [pada Kamis], tetapi ada juga aksi jual besar-besaran di akhir sesi," kata perusahaan itu.
Bespoke menambahkan, "Penurunan akhir hari yang jauh lebih buruk daripada rata-rata pada bulan tertentu biasanya tidak mengarah pada kinerja yang lebih rendah di masa depan."
Saham Peloton merosot 23,9% di tengah berita bahwa untuk sementara menghentikan produksi produk connected fitness mereka seiring permintaan konsumen berkurang, menurut dokumen internal yang diperoleh CNBC International.
Sementara, saham teknologi, seperti Zoom Video dan Tesla, sempat memimpin pasar untuk sebagian sesi pada Kamis. Namun, banyak yang akhirnya loyo menjelang akhir sesi. Saham Netflix ditutup turun sekitar 1,5% sebelum pendapatan kuartalannya dirilis setelah bel penutupan.
"Investor perlu menyadari bahwa 2022 mungkin akan menjadi perjalanan yang jauh lebih sulit," kata Ryan Detrick dari LPL Financial kepada CNBC International.
Data pengangguran AS pada Kamis mengisyaratkan lonjakan omicron dapat mengganggu pemulihan ekonomi.
Klaim tunjangan pengangguran untuk pekan yang berakhir 15 Januari 2022 mencapai 286.000 untuk minggu ini, level tertinggi sejak Oktober. Angka tersebut jauh di atas perkiraan Dow Jones 225.000 dan menjadi kenaikan substansial dari 231.000 minggu sebelumnya.
Perkembangan kasus Covid-19, terutama di Tanah Air, masih menjadi hal terus diperhatikan pelaku pasar. Pasalnya, apabila kasus Covid-19 kembali meninggi, maka akan berpotensi mengganggu proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.
Pada Kamis kemarin, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 2.116 kasus. Dengan begitu, total kasus konfirmasi mencapai 4.277.644.
Dari sisi provinsi, DKI Jakarta kembali membukukan penambahan kasus terbanyak, yaitu 1.155 kasus. Disusul Jawa Barat (401) dan Banten (276).
Sejak awal tahun ini, memang telah terjadi tren kenaikan kasus harian Covid-19. Setidaknya sejak 11 Januari 2022, kasus harian Covid-19 tidak pernah lebih rendah dari 600 kasus.
Bahkan, dalam 3 hari terakhir, pertambahan kasus harian Covid-19 selalu naik dan tidak pernah di bawah 1.300 kasus.
Angka tersebut lebih tinggi tinimbang pertambahan kasus harian Covid-19 sepanjang Desember 2021, yang berada di rentang 92 - 311 kasus.
Terakhir kali angka kasus harian Covid-19 berada di atas 2.116 kasus (per Kamis kemarin) adalah pada sekitar 3 bulan lalu atau tepatnya pada 25 September 2021 (2.137 kasus).
Sentimen Eksternal
Di samping soal Covid-19 di Tanah Air, investor akan mengamati sejumlah rilis data ekonomi penting dari beberapa negara utama.
Pertama, dari Negeri Sakura Jepang akan ada publikasi data laju inflasi tahunan per Desember 2021 yang diprediksi akan menjadi 0,7%, naik dari sebelumnya 0,6%.
Melansir Reuters, pada Selasa (18/1), bank sentral Jepang Bank of Japan (BOJ) menaikkan perkiraan inflasi, tetapi mengatakan tidak terburu-buru untuk mengubah kebijakan moneter ultra-longgarnya. Asal tahu saja, kenaikan harga akhir-akhir ini memicu spekulasi bahwa hal itu akan segera menandakan perubahan dalam 'eksperimen' stimulus BoJ yang telah berjalan selama satu dekade.
Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda mengakui bahwa tekanan harga meningkat, tetapi sembari mengatakan bank sentral tidak berniat menaikkan suku bunga dengan inflasi yang diproyeksikan tetap di bawah target 2% selama bertahun-tahun.
"Kami tidak memperdebatkan kenaikan suku bunga," kata Kuroda dalam konferensi pers, dikutip Reuters.
"Perkiraan rata-rata anggota dewan [BOJ] adalah," lanjut Kuroda, "inflasi bergerak sekitar 1%. Dalam kondisi seperti itu, kami sama sekali tidak berpikir untuk menaikkan suku bunga atau memodifikasi kebijakan moneter longgar kami."
Sesuai ekspektasi pelaku pasar, BOJ tidak mengubah target -0,1% untuk suku bunga jangka pendek dan janji untuk menahan suku bunga jangka panjang sekitar 0%.
Kedua, pada pukul 07.00 WIB, pelaku pasar juga akan menyimak data keyakinan konsumen di Britania Raya per Januari 2022.
Ekonomi meramal, indeks keyakinan konsumen di Negeri Elizabeth II itu akan kembali turun ke -18, dari bulan sebelumnya minus -15.

Ketiga, masih dari Britania Raya, akan ada rilis penjualan ritel per Desember 2021 pada pukul 14.00 WIB.
Setelah sempat naik pada 2 bulan sebelumnya, penjualan ritel secara bulanan (mom) diprediksi akan kembali ke teritorial negatif. Ekonomi meramal, penjualan ritel bulanan Britania Raya akan minus 0,6%, dari posisi bulan sebelumnya yang naik 1,4% (mom).

Keempat, dari benua Eropa, akan ada rilis keyakinan konsumen Uni Eropa per Januari 2022, yang diprediksi masih akan minus 7,6. Angka tersebut 'agak' membaik dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang minus 8,3%.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Laju inflasi tahunan Jepang per Desember 2021 (06.30 WIB)
Keyakinan konsumen Britania Raya per Januari 2022 (07.01 WIB)
Penjualan ritel Britania Raya per Desember (14.00 WIB)
Keyakinan konsumen Uni Eropa (22.00 WIB)
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
Dividen tunai JAYA
RUPSLB CMNT (09.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51 % |
Inflasi (Desember 2021, YoY) | 1,87% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2021) | -4,65% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,50% PDB |
Cadangan Devisa (Desember 2021) | US$ 144,9 miliar |
Sumber: Berbagai data resmi, diolah
TIM RISET CNBC INDONESIA