Diserbu Ramainya Sentimen Luar-Dalam, Bagaimana Nasib IHSG?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar modal Indonesia tercatat beragam selama sepekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, sedangkan nilai tukar rupiah menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Di tengah meningkatnya kasus Covid-19 Omicron di berbagai negara serta keputusan The Fed yang akan segera menaikkan suku bunga acuan, IHSG ditutup melemah pada minggu lalu.
Sebelumnya, pada minggu perdana perdagangan bursa, performa indeks semarak dan mampu menguat signifikan, salah satunya dikarenakan beragam sentimen positif yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan perdagangan bursa tahun 2022.
Akan tetapi setelah meluasnya wabah Omicron dan sinyal buruk dari Gubernur bank sentral AS alias Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell, investor akhirnya kembali mengukur langkahnya. IHSG tercatat melemah 0,12% ke level 6.693,40, dengan tiga hari awal terseret di zona merah dan dua hari terakhir mampu menembus zona hijau.
Meski IHSG melemah, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 2,57 triliun, Namun inflow besar-besaran tersebut belum cukup kuat membuat aset keuangan domestik menunjukkan kinerja yang positif.
Sementara, dalam sepekan rupiah tercatat mampu menguat baik itu di pasar spot maupun di kurs tengah Bank Indonesia (BI).
Pada Jumat pekan lalu (14/1/2022), kurs tengah BI atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.310. Dalam sepekan rupiah tercatat mampu menguat 0,35% di mana hari Jumat pekan sebelumnya di tutup di level Rp 14.360.
Di pasar spot, US$ 1 dibanderol Rp 14.295 kala penutupan perdagangan bursa. Sementara dalam sepekan rupiah mampu menguat 0,42%.
Dolar AS memang sedang di atas angin. Pernyataan sejumlah pejabat teras The Federal Reserve/The Fed (bank sentral AS) menjadi bahan bakar bagi laju greenback.
Lael Breainard, Gubernur The Fed, menyebut era suku bunga acuan yang hampir 0% sudah hampir pasti akan segera berakhir. Dia menyebut The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan beberapa kali pada tahun ini.
"Kami akan berada di posisi itu (menaikkan suku bunga) setelah program pembelian aset selesai," tegas Brainard, seperti dikutip dari Reuters.
Charles Evans, Presiden The Fed cabang Chicago, juga menyebut kebijakan moneter ultra-longgar yang berlaku saat ini sudah tidak pada tempatnya. Sebab, inflasi AS sudah melambung ke 7% pada Desember 2021, tertinggi sejak 1982.
Meskipun The Fed telah menegaskan pendiriannya, nyatanya investor asing masih relatif ramai di bursa domestik RI. Pekan lalu, tercatat asing melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 2,57 triliun. Aliran dana asing tersebut tentu memberikan dorongan bagi kinerja yang positif rupiah pekan lalu.
Tidak hanya itu, isu fundamental lain dari dalam negeri sebenarnya juga cukup bagus, karena sampai 10 Januari tax amnesty sudah dapat Rp 1,39 triliun.
(adf)