Omicron Masuk RI & Wall Street Koreksi, IHSG Piye Hari Ini?

Pada hari ini, pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermati beberapa sentimen, di mana sentimen pertama yakni kembali terkoreksinya pasar saham Negeri Paman Sam kemarin. Bursa saham AS yang berhasil rebound pada Rabu lalu ternyata tak berlangsung lama dan kembali mencatatkan koreksi pada esok harinya, yakni Kamis (16/12/2021).
Hanya indeks Dow Jones saja yang koreksinya cenderung tipis. Sedangkan S&P 500 terkoreksi nyaris 1% dan Nasdaq ambruk lebih dari 2%.
Investor cenderung merotasi pilihan investasinya dari saham teknologi dengan pertumbuhan yang tinggi ke sektor lainnya, seperti sektor konsumer kebutuhan pokok.
Pada Rabu lalu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memberi sinyal bahwa kebijakan moneternya bisa menjadi agresif dengan tiga kenaikan suku bunga acuan di tahun 2022. CME FedWatch memperkirakan ada peluang sebesar 63% bahwa The Fed akan mendongkrak suku bunga acuannya pada Mei 2022, dan 44% peluang bahwa kenaikan bisa terjadi lebih dini yakni pada Maret.
The Fed sebelumnya telah mengumumkan bahwa mereka akan tetap mengurangi pembelian asetnya (quantitative easing/QE) atau tapering pada kecepatan yang lebih cepat di tengah kenaikan inflasi yang berkelanjutan. The Fed hanya akan membeli obligasi sebesar US$ 60 miliar per bulan mulai Januari 2022, turun dari tingkat Desember sebesar US$ 90 juta dan mengatakan bahwa kemungkinan akan melanjutkan skema tersebut di bulan-bulan mendatang.
Langkah itu dilakukan ketika bank sentral paling powerful di dunia tersebut sedang bergulat dengan tingkat inflasi tertinggi dalam hampir empat dekade terakhir. Dengan ini, maka The Fed diperkirakan akan mempercepat tapering-nya pada bulan ini.
Sementara itu dari Inggris, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) resmi menaikkan suku bunga acuannya dari 0,1% menjadi 0,25%. Hali ini juga menjadi kenaikan yang pertama di antara bank sentral negara maju sejak era pandemi di tengah lonjakan inflasi negara tersebut.
Pemicu perubahan kebijakan moneter menjadi ketat tersebut terjadi setelah inflasi Inggris per November menyentuh level tertinggi 10 tahun pada 5,1% atau lebih tinggi dari target BoE yang memperkirakan angka 2%. Ini juga lebih tinggi dari posisi Oktober sebesar 4,2%.
Di sisi lain, ekonomi diperkirakan masih aman, dengan angka tenaga kerja di mana sebanyak 257.000 pekerja terserap di perekonomian Inggris per November. Padahal sebelumnya, pasar (dalam polling Reuters) menduga bahwa suku bunga acuan akan ditahan di level 0,1% menyusul merebaknya kasus Omicron.
Dalam pertemuan November lalu, dewan gubernur BoE menyatakan jika data tenaga kerja sesuai ekspektasi, maka kenaikan suku bunga akan dilakukan untuk mengendalikan inflasi.
"Perkembangan ekonomi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kondisi-kondisi tersebut bakal terpenuhi," tutur BoE dalam pernyataan resminya kemarin malam waktu Indonesia.
Dari sembilan anggota dewan gubernur BoE, atau disebut Komite Kebijakan Moneter (Monetary Policy Committee/MPC), delapan di antaranya mendukung kenaikan suku bunga acuan sebesar 15 basis poin tersebut, dan hanya satu menolak.
Namun, mereka sepakat mempertahankan kebijakan pembelian obligasi dari pasar (kebijakan kuantitatif) sesuai target yakni senilai US$ 1,16 triliun. BoE kini memperkirakan inflasi akan berkisar 5%, dan meningkat ke kisaran 6% pada tahun depan.
Meskipun BoE menaikan suku bunga acuannya, tetapi di bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) mengumumkan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 0%.
Tetapi, ECB sejalan dengan The Fed, di mana mereka akan memangkas pembelian obligasi dan mereka juga tetap berjanji untuk melanjutkan dukungan kebijakan moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk ekonomi Zona Euro hingga tahun 2022.
Pembelian obligasi di bawah Program Pembelian Darurat Pandemi (PEPP) senilai 1,85 triliun euro (US$ 2,19 triliun) yang akan berakhir pada Maret 2022, akan dipotong pada kuartal berikutnya saat skema tersebut berakhir.
Namun, pembelian obligasi di bawah Program Pembelian Aset (APP), akan ditingkatkan untuk berfungsi sebagai jembatan pelonggaran kuantitatif hingga akhir PEPP, setelah berlanjut dengan kecepatan bulanan sebesar 20 miliar euro.
"Dewan Pengatur menilai bahwa kemajuan pemulihan ekonomi dan menuju target inflasi jangka menengah memungkinkan pengurangan langkah demi langkah dalam laju pembelian asetnya selama kuartal mendatang," kata ECB dalam sebuah pernyataan Kamis kemarin.
Sebelumnya, inflasi di Zona Euro mencapai 4,9% pada bulan lalu, menjadi rekor tertingginya. Sementara varian Omicron yang telah menyebar di hampir seluruh Benua Eropa dan masih adanya ketegangan dari varian Delta telah memaksa beberapa ekonomi Eropa kembali ke penguncian sebagian.
ECB sejauh ini telah memberikan nada yang lebih dovish, tidak seperti BoE, setelah mengadopsi kebijakan moneter longgar yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memulihkan kembali perekonomian Zona Euro akibat pandemi Covid-19.
Di lain sisi dari data ekonomi penting yang akan dirilis pada hari ini, yakni data final Indeks Harga Konsumen (IHK) Zona Euro periode November 2021.
Setelah bank sentral Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat (AS), pada hari ini giliran bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) yang akan mengumumkan kebijakan moneter terbarunya.
BoJ diperkirakan akan kembali mempertahankan suku bunga acuanya di level rendah yakni -0,1%, mengingat masih rendahnya tingkat inflasi di Negeri Matahari Terbit pada bulan lalu.
(chd)