Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia tidak pernah kompak di pekan ini. Kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah setelah membukukan penguatan dalam 2 hari beruntun. Sebaliknya, rupiah justru menguat setelah melemah 2 hari beruntun.
Untuk obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) seperti biasa bervariasi setiap tenornya.
Pada perdagangan hari ini, tingginya inflasi, kemudian lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) di Jerman yang nyaris 10 kali lipat, hingga rilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akan menjadi penggerak pasar hari ini. Faktor-faktor tersebut akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kembali ke pergerakan kemarin, IHSG tercatat melemah 0,59% ke 6.636,469, dengan investor asing melakukan jual bersih (net sell) senilai Rp 446 miliar.
Pelemahan IHSG mengikuti bursa saham utama Asia, yang mendapat "angin dingin" dari Wall Street.
Kecemasan akan tingginya inflasi kembali muncul yang membuat bursa saham global berfluktuasi hingga merosot.
Inflasi di Amerika Serikat (AS) pada bulan Oktober tumbuh 6,2% year-on-year (YoY), tertinggi sejak Desember 1990. Di Inggris inflasi tumbuh 4,2% tertinggi dalam 10 tahun terakhir, di zona euro, China, dan beberapa negara lainnya juga mengalami hal yang sama.
Meski demikian, bank sentral di berbagai negara tersebut masih melihat tingginya inflasi hanya bersifat sementara, dan akan melandai di tahun depan.
Tingginya inflasi bermula dari kenaikan harga energi, kemudian masalah rantai pasokan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Banyak yang berpendapat ketika masalah rantau pasokan bisa diatasi, dan harga energi mulai turun, maka inflasi juga akan melandai.
Tetapi, hingga mendekati penghujung tahun ini inflasi malah semakin tinggi. Banyak analis melihat bank sentral terlalu "menyepelekan" kemungkinan inflasi tinggi akan terjadi berlanjutnya.
Inflasi yang tinggi dapat memukul daya beli masyarakat, yang pada akhirnya berdampak negatif bagi perekonomian. Lebih jauh, jika pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan akibat turunnya daya beli masyarakat, maka akan terjadi stagflasi.
Sementara itu rupiah mampu menguat 0,11% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.225/US$. Bank Indonesia (BI) kemarin menjadi perhatian.
Sesuai dengan prediksi, BI mempertahankan suku bunga acuannya BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
BI juga memperkirakan nilai tukar rupiah punya ruang untuk terus menguat. Soalnya, mata uang Ibu Pertiwi punya fundamental yang kokoh.
"Secara fundamental, semua faktor mendukung pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil bahkan apresiasi. Satu, defisit transaksi berjalan tetap rendah. Dua prospek ekonomi yang membaik. Tiga perbedaan yield (imbal hasil) Surat Berharga Negara dan US Treasury Bonds tetap menarik," papar Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi November 2021, Kamis (18/11/2021).
Yield SBN memang masih menarik saat ini, tenor 10 tahun kemarin mengakhiri perdagangan di 6,19%, naik tipis 0,9 basis poin.
Dibandingkan dengan yield obligasi AS (Treasury) yang berada di kisaran 1,6%., selisihnya cukup lebar. Apalagi dengan inflasi tinggi di AS, yield riil Treasury saat ini negatif cukup besar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street
Bursa saham AS (Wall Street) bervariasi pada perdagangan Kamis waktu setempat. Pergerakan tersebut menunjukkan masih ada beberapa kecemasan di benak pelaku pasar.
Indeks Dow Jones mengakhiri perdagangan Kamis dengan melemah 0,17% ke 35.870,95, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing menguat 0,34% dan 0,45% ke 4.704,54 dan 15.993,71.
Tingginya inflasi di Amerika Serikat dan berbagai negara menjadi salah satu kecemasan para pelaku pasar. Hari sebelumnya, ketiga indeks utama Wall Street berakhir di zona merah, kemudian bursa Asia. dan Eropa menyusul kemarin.
Selain itu kasus virus corona yang kembali menanjak di Eropa membuat sentimen pelaku pasar sedikit memburuk.
Sementara itu dari data ekonomi, rilis klaim tunjangan pengangguran mingguan per pekan lalu tercatat di angka 268.000 atau sedikit lebih tinggi dari ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 260.000, dari posisi pekan sebelumnya 267.000 klaim.
"Laporan ekonomi baru-baru ini masih kuat, tetapi pergerakan pasar saham hari ini menandakan bahwa ia sudah mendiskon siklus Covid-19," tutur Jim Paulsen, Kepala Perencana Investasi Leuthold Group seperti dikutip CNBC International.
Wall Street masih sulit kompak menguat dalam 2 hari terakhir meski laporan earning emiten besar terus lebih baik dari estimasi.
Nvidia mencetak laba bersih dan pendapatan yang melampaui ekspektasi, serta merilis proyeksi pendapatan yang bullish. Penjualan divisi pusat data naik 55% secara tahunan sedangkan divisi game melesat 42%. Saham Nvidia sukses mencatat penguatan 8,5%.
Di sisi lain, saham Advanced Micro Devices ikut menguat dengan reli sebesar 2% sementara Micron Technology dan Qualcomm juga mencatat kenaikan yang membantu indeks Nasdaq menguat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street belum mampu kompak menguat artinya sentimen pelaku pasar masih belum terlalu bagus. Hal ini tentunya berisiko membuat bursa saham Asia kembali terkoreksi, begitu juga dengan IHSG.
Inflasi tinggi yang melanda berbagai negara memberikan dampak negatif ke aset-aset berisiko.
Kenaikan inflasi juga disoroti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu ancaman yang dihadapi Indonesia.
"Kita paham ada tantangan yang kita waspadai," ujar Sri Mulyani usai menyampaikan hasil sidang kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (17/11/2021)
"Untuk Indonesia harga di produsen mengalami kenaikan 7,3%. Kalau di Eropa kenaikan 16,3%, China 13,5%, dan di AS 8,6%, Korea Selatan 7,5%," jelasnya.
Dari inflasi tingkat produsen ini bisa merambat ke konsumen, sehingga bisa menggerus daya beli.
Menambah sentimen negatif, hubungan Amerika Serikat dan China sepertinya akan kembali memanas. Padahal baru di pekan ini Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping berbicara 4 mata. Pertemuan secara virtual tersebut menjadi yang paling akrab sejak Biden menjabat presiden.
Namun, kemarin Biden mengatakan akan melakukan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Beijing 2022. Dengan Boikot tersebut, para atlit Paman Sam masih bisa berlaga, tetapi tidak akan dihadiri oleh pejabat AS.
Boikot tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap China atas tindakannya ke komunitas Muslim Uighur.
Sentimen negatif bagi aset-aset berisiko juga datang dari kenaikan kasus Covid-19 di Eropa. Jerman, raksasa ekonomi Benua Biru kembali mengalami serangan virus corona gelombang ke-4. Bahkan kemarin mencatat penambah kasus sebanyak 64.029 orang, tertinggi sepanjang pandemi. Jumlah tersebut naik nyaris 10 kali lipat ketimbang satu bulan lalu saat penambahan kasus masih di bawah 7.000 orang per hari.
"Negara kita sedang dihantam gelombang ke-4 virus corona dengan kekuatan penuh," kata Kanselir Angela Merkel, sebagaimana diwartakan CNBC International, Rabu (17/11).
"Jumlah infeksi baru lebih tinggi dari sebelumnya... dan jumlah kematian harian juga menakutkan," tambahnya.
Merkel juga mengingatkan bagi warganya yang belum vaksinasi akan segera melakukan. Jerman saat ini melalukan pembatasan sosial bagi warganya belum melakukan vaksinasi.
"Banyak langkah-langkah pengetatan yang kita umumkan sebenarnya tidak perlu dilakukan jika semakin banyak warga yang sudah divaksin.
 Foto: Our World in Data |
Dibandingkan negara-negara besar Eropa lainnya, tingkat vaksinasi Jerman menjadi yang paling rendah. Berdasarkan Our World in Data sebanyak 70% dari populasi sudah divaksin, dengan rincian 67% dari total populasi Jerman sudah mendapat vaksinasi penuh, dan 2,5% baru mendapat dosis pertama.
Jerman berada di bawah Inggris dengan 74%, kemudian Prancis 76%, Italia 78%, dan Spanyol 82% dari total populasi sudah mendapat vaksinasi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Kenaikan kasus Covid-19 di Eropa tersebut membuat Indonesia juga waspada, apalagi menjelang Natal dan Tahun Baru yang bisa memicu lonjakan kasus lagi. Presiden Jokowi sudah berulang kali mengingatkan agar tetap waspada dengan kemungkinan lonjakan kasus Covid-19 berkaca dari negara-negara lainnya.
Pemerintah rencananya akan menerapkan aturan PPKM level 3, 24 Desember hingga 2 Januari. Ini akan berlaku di seluruh wilayah Indonesia, baik yang sudah berstatus PPKM level 1 maupun 2.
Pemerintah yang berhati-hati menjelang Natal dan Tahun Baru, tentunya membuat para investor berhati-hati masuk ke pasar saham.
Selain itu pelaku pasar akan menanti rilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Transkaksi berjakan (current account) akan menjadi perhatian pelaku pasar, sebab BI memperkirakan akan kembali surplus. Hal tersebut disebabkan neraca perdagangan yang terus mencetak hasil positif.
"Transaksi berjalan triwulan III-2021 diperkirakan surplus didorong oleh surplus neraca perdagangan yang meningkat menjadi US$ 13,2 miliar, tertinggi sejak triwulan IV-2009. Kinerja tersebut didukung ekspor komoditas utama seperti CPO, kimia organik, dan biji logam dan bahan baku seiring perbaikan ekonomi domestik," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Oktober 2021, Selasa (19/10/2021).
Transaksi berjalan yang surplus bisa berdampak positif ke rupiah. Selain itu, ada kabar baik bagi rupiah yang bisa membuatnya menguat pada hari ini. Indeks dolar AS pada perdagangan Kamis kemarin kembali terkoreksi 0,31% ke 95,533. Kemudian hasil survei 2 mingguan Reuters menunjukkan pelaku pasar menambah posisi beli (long) rupiah.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (18/11/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di -0,72, naik dari 2 pekan lalu -0,41.
Rupiah juga menjadi mata uang terbaik kedua, dari 9 mata uang Asia lainnya, hanya kalah dari yuan China -87.
Semakin besar posisi long, maka nilai tukar mata uang biasanya cenderung menguat. Sehingga, menjadi kabar baik bagi rupiah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Inflasi Jepang (pukul 6:30 WIB)
- Neraca Pembayaran Indonesia (pukul 11:00 WIB)
- Penjualan Ritel Inggris (pukul 14:00 WIB)
- Transaksi Berjalan Zona Euro (pukul 16:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (Oktober 2021, YoY) | 1,66% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | (5,17% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021) | (0,8% PDB) |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020) | US$ 0,4 miliar |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 145,5 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA