Pada perdagangan hari ini, Kamis (17/11/2021), pelaku pasar menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI), untuk melihat bagaimana Gubernur Perry Warjiyo dan kolega merespon tapering yang dilakukan bank sentral AS (The Fed) serta kemungkinan agresif menaikkan suku bunga di tahun depan. Prediksi kebijakan moneter BI dan faktor lain yang bisa mempengaruhi pasar finansial Indonesia dibahas pada halaman 3 dan 4.
Balik lagi ke pergerakan kemarin, IHSG mencatat penguatan 0,37% ke 6.675,804, dan kini berjarak 0,57% dari rekor tertinggi sepanjang masa 6.714,158 yang dicapai pada Jumat pekan lalu. Investor asing akhirnya kembali melakukan beli bersih (net buy) sebesar Rp 312 miliar.
Sementara itu, rupiah sejak awal hingga akhir perdagangan tertahan di zona merah dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.240/US$, melemah 0,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot.
Pelemahan rupiah tersebut terbilang kecil jika melihat indeks dolar AS yang dua hari lalu melesat 0,52% kemudian kemarin sebelum berakhir terkoreksi sempat naik lagi ke 0,34% ke 96,241, yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020. Sebabnya, data penjualan ritel Amerika Serikat yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan Oktober tumbuh hingga 1,7%, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,8% dan lebih tinggi dari ekspektasi Dow Jones sebesar 1,5%.
Sementara itu, penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan juga tumbuh 1,7%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7%, dan ekspektasi 1%.
Data penjualan ritel tersebut menunjukkan perekonomian Amerika Serikat masih berada pada jalur pemulihan, di tengah inflasi yang tinggi. Data tersebut juga memicu kenaikan yield obligasi AS (Treasury), yang membuat SBN mayoritas mengalami pelemahan.
Hanya SBN tenor 5, 10, dan 20 tahun yang mengalami penguatan, terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.
Bursa saham AS (Wall Street) melemah pada perdagangan Rabu waktu setempat. Tingginya inflasi kembali menjadi perhatian pelaku pasar membuat ketiga indeks utama berakhir di zona merah.
Indeks Dow Jones memimpin pelemahan sebesar 0,58% ke 35.931,05, kemudian Nasdaq minus 0,33% ke 15.921,57, dan S&P 500 turun 0,26% ke 4.688,67.
Inflasi yang tinggi tidak hanya dialami Amerika Serikat, tetapi juga negara-negara Benua Biru.
Biro Statistik Inggris siang ini melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (PCI) melesat 4,2% di bulan Oktober dari tahun sebelumnya (year-on-year/YoY) dari bulan sebelumnya 3,1% YoY. Kenaikan tersebut bahkan lebih tinggi dari hasil polling Reuters yang memprediksi 3,9% YoY.
Inflasi Inggris di bulan Oktober menjadi yang tertinggi dalam satu dekade terakhir, tepatnya sejak November 2011. Inflasi tersebut lebih dari dua kali lipat dari target bank sentral Inggris.
Hal yang sama juga terjadi di zona euro, dimana inflasinya tumbuh 4,1% YoY, jauh di atas target European Central Bank sebesar 2%. Selain itu, pelaku pasar juga melihat kembali laporan earning raksasa ritel AS. Setelah Walmart dan Home Depot yang melaporkan penjualan yang lebih tinggi dari ekspektasi, kemarin giliran Target mengumumkan hal yang sama.
Namun, CEO Target mengatakan kenaikan inflasi akan berdampak pada laba perusahaan ke depannya, sebab kenaikan harga-harga tersebut akan ditanggung Target tidak dibebankan ke konsumen. Saham Target melemah hingga 4,7% menyusul pengumuman tersebut.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang melemah tentunya memberikan sentimen negatif ke bursa saham Asia pada perdagangan hari ini, termasuk ke IHSG. Apalagi, kenaikan inflasi juga disoroti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu ancaman yang dihadapi Indonesia.
"Kita paham ada tantangan yang kita waspadai," ujar Sri Mulyani.
Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, China, Eropa, Meksiko dan Korea Selatan mengalami kenaikan harga di tingkat produsen sehingga menyebabkan inflasi tinggi. Indonesia juga alami kenaikan, meskipun tidak signifikan.
"Untuk Indonesia harga di produsen mengalami kenaikan 7,3%. Kalau di Eropa kenaikan 16,3%, China 13,5%, dan di AS 8,6%, Korea Selatan 7,5%," jelasnya. Dari inflasi tingkat produsen ini bisa merambat ke konsumen, sehingga bisa menggerus daya beli.
Selain itu, tingginya inflasi akan memicu kenaikan suku bunga, salah satunya bank sentral AS (The Fed) yang tentunya akan memberikan dampak signifikan ke pasar finansial global termasuk Indonesia. Saat ini pelaku pasar melihat peluang kenaikan yang agresif di tahun depan.
Sementara itu Bank Indonesia (BI) hari ini akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) dan akan menjadi perhatian pelaku pasar. Hasil polling Reuters menunjukkan BI diperkirakan akan menahan suku bunga hingga akhir tahun depan, dan tetap memperhatikan arah kebijakan moneter The Fed.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%.
Sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda, BI sudah memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin menjadi 3,5% yang merupakan rekor terendah dalam sejarah.
Dengan inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil meski The Fed sudah melakukan tapering, maka tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga bisa dikatakan nihil.
Suku bunga rendah masih diperlukan untuk membantu perekonomian Indonesia bangkit lagi setelah melambat di kuartal III-2021 lalu.
Namun, di sisi lain, inflasi tinggi yang melanda Amerika Serikat membuat pasar melihat The Fed akan agresif menaikkan suku bunga di tahun depan, yakni sebanyak 3 kali.
Jika itu terjadi, maka rupiah berisiko tertekan sebab selisih yield akan semakin menyempit, dan memicu capital outflow di pasar obligasi. Sehingga pasar akan menanti petunjuk-petunjuk dari BI bagaimana merespon perubahan kebijakan The Fed.
Capital outflow di pasar obligasi Indonesia sepanjang bulan ini cukup besar akibat tapering dan ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow lebih dari Rp 23 triliun pada periode 1 - 15 November.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan rupiah kesulitan menguat, meski juga tidak mengalami pelemahan yang signifikan. Stabilitas rupiah menjadi penting demi kenyamanan investor dalam menanamkan modalnya di dalam negeri, sebab kerugian kurs bisa diminimalisir.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Ahead/Behind The Curve?
James Sweeney, kepala ekonom di Credit Suisse mengatakan BI akan menaikkan suku bunga di tahun depan guna mencegah terjadinya capital outflow dan menjaga stabilitas rupiah.
"Saat The Fed mulai mengurangi kebijakan moneter akomodatifnya dan memulai tapering di kuartal IV-2021, kami melihat Bank Indonesia akan menjaga nilai tukar rupiah dari kemungkinan terjadinya capital outflow dengan menaikkan suku bunga di tahun depan," kata Sweeney, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (16/11/2021).
Jika BI mempertegas proyeksi kenaikan suku bunga di tahun depan pada pengumuman rapat kebijakan moneter kali ini, rupiah berpeluang menguat dan berlanjut hingga Jumat besok.
Tidak sekedar kenaikan suku bunga di tahun depan, tetapi pasar juga akan melihat apakah BI akan ahead the curve atau behind the curve.
Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan The Fed. Saat itu Perry sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.
The Fed diprediksi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan, sebanyak 2 hingga 3 kali dan dimulai Juli 2022, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.
Tidak hanya pasar, para anggota pembuat kebijakan The Fed juga melihat suku bunga bisa naik 2 kali di tahun depan. Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
 Foto: Dot Plot Federal Reserve |
Dalam dot plot yang terbaru edisi September, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Jika itu terjadi, maka ada kemungkinan BI kali ini behind the curve. Sebab, jika BI juga agresif dalam menaikkan suku bunga, maka stimulus moneter untuk memacu pertumbuhan ekonomi akan berkurang.
Namun, tidak menutup kemungkinan BI juga akan agresif, seandaianya terjadi capital outflow yang besar, dan nilai tukar rupiah merosot.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (pukul 14:00 WIB)
- Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Turki (pukul 18:00 WIB)
- Klaim tunjangan pengangguran AS & indeks manufkatur Philadelpia (pukul 20:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (Oktober 2021, YoY) | 1,66% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | (5,17% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021) | (0,8% PDB) |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020) | US$ 0,4 miliar |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 145,5 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA