Newsletter

Fed Bisa Kerek Suku Bunga 3 Kali, Pak Perry Mohon Petunjuk!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 November 2021 06:13
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers mengenai  KSSK : Perkembangan Makro Ekonomi & Sektor Keuangan Triwulan III Tahun 2021 (Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers mengenai KSSK : Perkembangan Makro Ekonomi & Sektor Keuangan Triwulan III Tahun 2021 (Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)

Wall Street yang melemah tentunya memberikan sentimen negatif ke bursa saham Asia pada perdagangan hari ini, termasuk ke IHSG. Apalagi, kenaikan inflasi juga disoroti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu ancaman yang dihadapi Indonesia.

"Kita paham ada tantangan yang kita waspadai," ujar Sri Mulyani.

Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, China, Eropa, Meksiko dan Korea Selatan mengalami kenaikan harga di tingkat produsen sehingga menyebabkan inflasi tinggi. Indonesia juga alami kenaikan, meskipun tidak signifikan.

"Untuk Indonesia harga di produsen mengalami kenaikan 7,3%. Kalau di Eropa kenaikan 16,3%, China 13,5%, dan di AS 8,6%, Korea Selatan 7,5%," jelasnya. Dari inflasi tingkat produsen ini bisa merambat ke konsumen, sehingga bisa menggerus daya beli.

Selain itu, tingginya inflasi akan memicu kenaikan suku bunga, salah satunya bank sentral AS (The Fed) yang tentunya akan memberikan dampak signifikan ke pasar finansial global termasuk Indonesia. Saat ini pelaku pasar melihat peluang kenaikan yang agresif di tahun depan.

Sementara itu Bank Indonesia (BI) hari ini akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) dan akan menjadi perhatian pelaku pasar. Hasil polling Reuters menunjukkan BI diperkirakan akan menahan suku bunga hingga akhir tahun depan, dan tetap memperhatikan arah kebijakan moneter The Fed.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%. 

Sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda, BI sudah memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin menjadi 3,5% yang merupakan rekor terendah dalam sejarah.

Dengan inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil meski The Fed sudah melakukan tapering, maka tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga bisa dikatakan nihil.

Suku bunga rendah masih diperlukan untuk membantu perekonomian Indonesia bangkit lagi setelah melambat di kuartal III-2021 lalu.

Namun, di sisi lain, inflasi tinggi yang melanda Amerika Serikat membuat pasar melihat The Fed akan agresif menaikkan suku bunga di tahun depan, yakni sebanyak 3 kali.

Jika itu terjadi, maka rupiah berisiko tertekan sebab selisih yield akan semakin menyempit, dan memicu capital outflow di pasar obligasi. Sehingga pasar akan menanti petunjuk-petunjuk dari BI bagaimana merespon perubahan kebijakan The Fed.

Capital outflow di pasar obligasi Indonesia sepanjang bulan ini cukup besar akibat tapering dan ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow lebih dari Rp 23 triliun pada periode 1 - 15 November.

Hal tersebut menjadi salah satu alasan rupiah kesulitan menguat, meski juga tidak mengalami pelemahan yang signifikan. Stabilitas rupiah menjadi penting demi kenyamanan investor dalam menanamkan modalnya di dalam negeri, sebab kerugian kurs bisa diminimalisir.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Ahead/Behind The Curve?

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular