
Investor Menanti Pengumuman Suku Bunga BI, Yield SBN Menguat

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) berbalik melemah pada perdagangan Rabu (17/11/2021), di mana investor di pasar SBN cenderung berhati-hati dan menanti pengumuman kebijakan moneter terbaru dari Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan besok.
Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan menguatnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 1, 10, dan 20 tahun yang masih ramai dikoleksi oleh investor, ditandai dengan pelemahan yield-nya.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 1 tahun berbalik melemah 3 basis poin (bp) ke level 3,521%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 20 tahun turun 1,2 bp ke level 6,893%, dan yield SBN berjangka waktu 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara drop 1,6 bp ke level 6,181%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Di dalam negeri, pasar cenderung berhati-hati menanti pengumuman kebijakan moneter terbaru dari Bank Indonesia (BI).
Gubernur BI, Perry Warjiyo dan kolega mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) mulai hari ini hingga Kamis (18/11/2021) besok.
Sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda, BI sudah memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin menjadi 3,5% yang merupakan rekor terendah dalam sejarah.
Hasil polling Reuters menunjukkan BI diperkirakan akan tetap menahan suku bunga dan baru akan menaikkan sebesar 25 basis poin pada akhir tahun 2022.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga memperkirakan BI-7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,50%.
Dengan inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil meski bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sudah melakukan pengurangan pembelian obligasi atau tapering, maka tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga bisa dikatakan nihil.
Suku bunga rendah masih diperlukan untuk membantu perekonomian Indonesia bangkit lagi setelah melambat di kuartal III-2021 lalu.
Namun, jika melihat ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed sebanyak 3 kali, maka selisih yield akan menyempit dan berisiko memicu capital outflow dari dalam pasar obligasi di dalam negeri. Hal tersebut sudah terlihat di bulan ini.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow dari pasar obligasi sebesar Rp 23 triliun pada periode 1 - 11 November.
Di lain sisi, pergerakan yield SBN pada hari ini cenderung mengikuti pergerakan yield surat berharga pemerintah AS (Treasury) yang kembali menguat pada perdagangan Selasa kemarin waktu AS.
Berdasarkan data dari CNBC International, yield Treasury bertenor 10 tahun ditutup naik 1,9 bp ke level 1,639%. Namun pada perdagangan pre-opening hari ini pukul 06:10 waktu AS, yield Treasury bertenor 10 tahun cenderung melemah 1,1 bp ke level 1,628%.
Meskipun cenderung melemah, tetapi yield Treasury masih cukup tinggi, yakni masih di kisaran level 1,6%.
Departemen Perdagangan AS pada Selasa kemarin melaporkan data penjualan ritel Negeri Paman Sam pada Oktober naik 1,7%, lebih baik dari bulan sebelumnya yakni September yang naik 0,8%. Angka ini juga menjadi kenaikan tercepat sejak 1990-an.
Sementara itu, penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan juga tumbuh 1,7%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7%, dan ekspektasi 1%. Data penjualan ritel tersebut menunjukkan perekonomian AS masih berada pada jalur pemulihan, di tengah inflasi yang tinggi.
Kumpulan data ekonomi AS yang kuat ini bertepatan dengan kekhawatiran pasar tentang kenaikan inflasi dan seberapa cepat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menarik kembali langkah-langkah stimulus daruratnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi