Newsletter

Amerika 'Banjir' Duit Lagi, Jadi Berkah atau Masalah Bagi RI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Rabu, 17/11/2021 06:10 WIB
Foto: REUTERS/JONATHAN ERNST

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses menghentikan penurunan dalam dua hari beruntun Selasa kemarin. Sebaliknya giliran rupiah yang melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) mengakhiri penguatan dua hari beruntun, sementara Surat Berharga Negara (SBN) nyaris semua tenor mengalami penguatan.

Penguatan IHSG mengikuti pergerakan mayoritas bursa saham Asia lainnya merespon hasil pertemuan Presiden AS Joe Biden dengan Presiden China XI Jinping. Hasil pertemuan tersebut dan beberapa faktor lain yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar hari ini seperti paket kebijakan fiskal AS bernilai triliunan dolar akan dibahas pada halaman 3 dan 4.

Melansir data Refinitiv, IHSG sukses menguat 0,53% ke 6.651,208, meski demikian investor asing kembali menjual bersih (net sell) Rp 62 miliar, tidak sebesar awal pekan lalu yang lebih dari Rp 600 miliar.

Dari pasar obligasi, hanya SBN tenor 10 tahun yang mengalami pelemahan terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang naik 0,9 basis poin ke 6,197%.

Pergerakan harga obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika harga naik (yang artinya mengalami penguatan), yield akan menurun, begitu juga sebaliknya.

Sementara itu rupiah melemah tipis 0,07% ke Rp 14.220/US$ setelah sebelumnya sempat menguat ke Rp 14.190/US$. Rupiah memang masih kesulitan menguat belakangan ini.

Memasuki bulan November, rupiah langsung mengalami pelemahan cukup tajam. Sehari setelah bank sentral AS (The Fed) mengumumkan tapering pada Kamis (4/11/2021) rupiah menyentuh Rp 14.385/US$, level terlemah dalam lebih dari 2 bulan terakhir.

Tapering yang dilakukan The Fed memang tidak menimbulkan gejolak di pasar finansial atau yang disebut dengan taper tantrum. Tetapi, kebijakan tersebut membuat rupiah kesulitan menguat. Salah satu penyebabnya, investor asing yang keluar dari pasar obligasi Indonesia.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow dari pasar obligasi sebesar Rp 23 triliun pada periode 1 - 11 November.

Keluarnya investor asing dari pasar obligasi menyusul kenaikan yield obligasi AS (Treasury), sebagai respon tapering The Fed dan ekspektasi kenaikan suku bunga. Pasar melihat, inflasi yang tinggi akan membuat The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun depan.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun depan.

Suku bunga The Fed saat ini di 0% - 0,25%, sementara di Desember 2022, pasar melihat ada probabilitas sebesar 29,9% suku bunga The Fed di 0,75% - 1,00%. Saat bank sentral paling powerful di dunia ini menormalisasi suku bunganya, kenaikan akan dilakukan sebesar 25 basis poin (0,25%). Artinya, jika suku bunga diperkirakan 0,75%-1,00% di akhir 2022 maka ada 3 kali kenaikan.

Foto: CME Group

Ekspektasi kenaikan suku bunga tersebut terbilang agresif, sebab bisa terjadi dalam tempo 6 bulan saja yakni di semester II-2021.

Jika itu terjadi, selisih yield di Amerika Serikat dan Indonesia akan menyempit, sehingga kurang menguntungkan bagi pasar obligasi dalam negeri. Alhasil, terjadi capital outflow yang besar, dan menekan nilai tukar rupiah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Penjualan Ritel Apik, Wall Street Bangkit


(pap/sef)
Pages