
Amerika 'Banjir' Duit Lagi, Jadi Berkah atau Masalah Bagi RI?

Wall Street yang kembali menguat pada perdagangan Selasa tentunya mengirim sentimen positif ke pasar Asia hari ini. IHSG berpeluang kembali melanjutkan penguatan. Ketika sentimen pelaku pasar sedang bagus, aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi biasanya akan menjadi incaran.
Apalagi penguatan Wall Street ditopang oleh data penjualan ritel yang apik, menunjukkan kuatnya perekonomian Paman Sam.
Namun, rupiah dan SBN berisiko tertekan pada hari ini, sebab data penjualan ritel tersebut membuat dolar AS melesat dan yield obligasi (Treasury) juga naik. Indeks dolar AS kemarin melesat 0,52% ke 95,92, yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020.
Sementara itu di awal pekan ini, Presiden AS Joe Biden sudah menandatangani rancangan undang-undang (RUU) infrastruktur senilai US$ 1 triliun atau setara Rp 14.200 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Dengan ditandatanganinya RUU dan menjadi Undang-Undang tersebut maka pendanaan untuk proyek infrastruktur akan cair dan tentunya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi AS lebih tinggi lagi.
Proyek infrastruktur tersebut mencakup dari jalan raya, jembatan, pelabuhan, transit kereta api, air bersih, jaringan listrik hingga internet pita lebar (broadband). Tidak sampai di situ, sebelum akhir tahun ini paket kebijakan ekonomi senilai US$ 1,75 triliun (Rp 24.850 triliun) juga bisa cair lagi.
House of Representative (DPR) AS berencana akan menyetujui RUU paket ekonomi tersebut di pekan ini. Sama dengan RUU infrastruktur, setelah disetujui di DPR akan diserahkan ke Senat AS. Jika lolos juga maka diserahkan ke Biden untuk ditandatangani dan menjadi Undang-Undang.
Senat AS, Chuck Schumer mengatakan RUU yang disebut Build Back Better Act tersebut akan disepakati sebelum Natal. "Build Back Better Act sangat penting bagi Amerika Serikat, kami yakin ini sangat populer bagi warga Amerika, kami berencana meloloskannya sebelum Natal," kata Schumer, sebagaimana diwartakan CNBC International.
Paket kebijakan infrastruktur yang sudah cair, dan paket ekonomi yang akan cair tentunya berdampak bagus bagi perekonomian AS yang bisa memberikan efek positif ke negara lainnya. Ketika negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut bangkit, negara lainnya juga akan terkerek.
Selain itu dari pasar finansial, kebijakan fiskal tersebut tentunya akan berdampak positif ke bursa saham. Wall Street berpeluang menguat, dan juga mengerek bursa saham lainnya termasuk IHSG.
Namun, ada juga risikonya. Amerika Serikat saat ini sedang mengalami inflasi yang tinggi.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu (10/11) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Kebijakan fiskal era Biden tentunya membuat perekonomian AS kembali "banjir" duit, sehingga ada risiko inflasi akan tetap tinggi, bahkan tidak menutup kemungkinan semakin tinggi lagi.
Jika itu terjadi, maka The Fed bisa agresif dalam menaikkan suku bunga. Saat ini saja, pelaku pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun depan. Tentunya, dalam beberapa bulan ke depan jika inflasi masih tetap tinggi atau bahkan meninggi, The Fed bisa jadi diperkirakan akan lebih agresif lagi.
Kenaikan suku bunga yang agresif tentunya bisa menimbulkan gejolak di pasar finansial global, termasuk Indonesia. Aliran modal bisa keluar dari pasar obligasi, dan rupiah berisiko merosot. Guna meredam hal tersebut, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan menaikkan suku bunga yang bisa berdampak kurang bagus bagi perekonomian Indonesia yang masih memerlukan stimulus moneter.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
