Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menembus level 6.600 dan mendekati level tertinggi sepanjang masa pada perdagangan Kamis kemarin (14/10/2021). Sementara itu, nilai tukar rupiah juga ditutup menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), bahkan sempat menyentuh level Rp 14.000-an/US$.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG melesat 1,36% ke level 6.626,11 pada perdagangan Kamis (14/10). Posisi IHSG sudah dekat dengan level penutupan tertinggi sepanjang sejarahnya di angka 6.689 yang dicapai IHSG di tahun 2018 silam.
Apresiasi indeks dibarengi dengan penguatan 305 saham. Di saat IHSG terkerek naik sebanyak 225 saham melemah dan 129 saham stagnan. Data perdagangan mencatat transaksi hari ini mencapai Rp 16,76 triliun.
Asing juga masih getol untuk memburu saham-saham dalam negeri. Di pasar reguler asing mencatatkan net buy sebesar Rp 1,44 triliun.
Saham big cap masih menjadi buruan investor asing dengan net buy di saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp 219,8 miliar dan saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) senilai Rp 184 miliar.
Di sisi lain asing melego saham PT Casa Financial Indonesia Tbk (CASA) senilai Rp 410,6 miliar dan saham PT XL Axiata Tbk (EXCL) sebesar Rp 36,5 miliar.
Dengan penguatan yang terjadi pada Kamis, IHSG berhasil mencatatkan hat trick karena finish di zona hijau tiga hari beruntun.
IHSG sukses menguat di dua minggu pertama kuartal ke-IV. Di saat yang sama sentimen global juga bisa dibilang kurang terlalu mendukung untuk penguatan yang tinggi.
Risalah rapat bank sentral AS the Fed menunjukkan bahwa para pengambil kebijakan sepakat untuk mulai melakukan tapering di pertengahan November atau pertengahan Desember meskipun mereka tetap bersilang pendapat atas seberapa besar ancaman inflasi yang tinggi dan seberapa cepat mereka mungkin perlu menaikkan suku bunga.
Risalah pertemuan tersebut menunjukkan, para anggota merasa The Fed telah hampir mencapai tujuan ekonominya dan segera dapat mulai menormalkan kebijakan dengan mengurangi laju pembelian aset bulanannya.
Sentimen dari luar negeri lain yang masih akan terus dipantau oleh investor adalah terkait kasus likuiditas perusahaan properti China, Evergrande, dan krisis energi yang melanda sejumlah negara.
Sementara, dolar AS yang sedang terpuruk membuat rupiah mampu leluasa menguat pada perdagangan Kamis kemarin.
Melansir data Refinitiv, selepas tengah hari, sempat melesat hingga 0,91% ke Rp 14.085/US$. Level terkuat sejak 25 Februari lalu.
Adapun pada penutupan perdagangan posisi rupiah terpangkas ke Rp 14.115/US$ menguat 0,7% di pasar spot.
Dolar AS kembali terpuruk pada Kamis . Hingga Kamis sore indeks dolar AS melemah 0,2% setelah kemarin jeblok 0,46%. Rupiah pun mulus di zona hijau, tanpa pernah mencicipi zona merah.
Jebloknya dolar AS terjadi meski inflasi berada di level tertinggi dalam 13 tahun terakhir.
Pemerintah AS kemarin melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) di bulan September dilaporkan tumbuh 0,4% dari bulan sebelumnya, lebih tinggi dari hasil polling Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%. Sementara itu dibandingkan September 2020, inflasi melesat 5,4%, lebih tinggi dari pertumbuhan bulan Agustus 5,3% year-on-year (YoY).
Sementara itu inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi, tumbuh 0,2% month-on-month (MoM), dan 4% YoY.
Inflasi merupakan salah satu acuan utama bank sentral AS (The Fed) dalam menerapkan kebijakan moneter, untuk saat ini adalah kapan waktunya tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dan kenaikan suku bunga.
The Fed sebenarnya lebih melihat inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang akan dirilis akhir bulan ini. Tetapi, CPI yang masih menanjak bisa memberikan gambaran jika PCE juga masih akan naik lagi.
Apalagi, inflasi berdasarkan PCE saat ini sudah berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
Tingginya inflasi di AS kini dikatakan akan bertahan dalam waktu yang cukup lama, tidak lagi sementara seperti kata The Fed. Sehingga pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan September tahun depan, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya bulan Desember 2022.
Bursa saham AS alias Wall Street kompak melesat pada penutupan perdagangan Kamis (14/10/2021) waktu setempat, didukung oleh rilis kinerja keuangan perusahaan yang lebih baik dari perkiraan dan data ekonomi yang turut membantu meredakan kekhawatiran investor tentang tekanan inflasi dan perlambatan pertumbuhan.
Indeks S&P 500 naik 1,71% menjadi 4.438,26 mencatatkan lompatan terbesar sejak Maret. Kemudian indeks Dow Jones Industrial melonjak 534,75 poin, atau 1,6%, menjadi 34.912,56. Lalu, Nasdaq Composite terkerek naik 1,73% pada 14.823,43.
Indeks saham sektor teknologi memberikan dorongan terbesar bagi indeks S&P 500, dengan saham Microsoft Corp dan Apple Inc menguat masing-masing naik setidaknya 2%.
Sementara, saham bank raksasa Citigroup, Bank of America Corp dan Morgan Stanley masing-masing naik 4,5%, 2,5% dan 0,8%, setelah ketiganya berhasil melampaui estimasi pendapatan kuartalan para analis. Berbeda, saham Wells Fargo malah turun 1,8%, kendati berhasil mengalahkan estimasi analis soal kinerja keuangan perusahaan.
Saham raksasa asuransi kesehatan UnitedHealth Group Inc juga naik setelah perusahaan melaporkan hasil kinerja keuangan dan menaikkan perkiraan laba setahun penuh.
Mengenai perspektif ekonomi makro, data terbaru menunjukkan jumlah orang AS yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran pekan lalu turun mendekati level terendah 19 bulan.
Klaim pengangguran mingguan pekan lalu sebesar 293.000, atau pertama kali di bawah level 300.000 selama pandemi.
"Kita sedang melihat tanda-tanda perbaikan terbaru di pasar kerja," kata Mark Hamrick dari Bankrate.
Di sisi lain, indeks harga produsen per September terhitung lebih ringan dari perkiraan, sehingga membantu memperbaiki sentimen. Secara bersamaan angka Covid-19 terus menurun, dengan rerata 7-hari terakhir berada di level 86.181, lebih rendah dari rerata sebanyak 161.000 pada September ketika masih di posisi puncak.
"Beberapa hal yang mengkhawatirkan pasar pada bulan September, dan bahkan minggu lalu, sejauh aspek inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi dan [Covid-19] varian Delta, mungkin telah berkurang," kata Alan Lancz, presiden Alan B. Lancz & Associates Inc. sebuah perusahaan penasihat investasi, kepada Reuters, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (15/10/2021).
"Bukan berarti semuanya sudah berakhir, tetapi setidaknya dalam skala sementara, Anda dapat melihat tren ke arah yang benar," imbuhnya.
Saham perusahaan farmasi Moderna Inc pun naik tajam setelah panel penasihat ahli untuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS memilih untuk merekomendasikan suntikan penguat (booster) vaksin Covid-19 buatan Moderna untuk orang Amerika berusia 65 ke atas dan mereka yang berisiko tinggi sakit parah.
Tidak hanya bank raksasa, saham Walgreens Boots Alliance Inc juga melonjak setelah rantai toko obat tersebut melaporkan pendapatan kuartal keempat dan laba yang disesuaikan di atas perkiraan dan perkiraan pertumbuhan sebesar 11% hingga 13% dalam jangka panjang.
Perusahaan Negeri Paman Sam diperkirakan akan melaporkan pertumbuhan laba kuartalan yang kuat untuk kuartal ketiga tahun ini. Namun, di tengah prakiraan positif tersebut, investor juga ingin mengetahui soal kenaikan biaya, kekurangan tenaga kerja, dan masalah pasokan yang dialami perusahaan di tengah pandemi Covid-19.
Sentimen global yang masih mewarnai dinamika pasar modal akhir-akhir ini salah satunya adalah soal krisis energi yang melandai negara Eropa, India, hingga China.
Setelah sebelumnya krisis berdampak ke Inggris, kali ini krisis energi mempengaruhi Jerman.
Mengutip AFP, pada Kamis (14/10/2021) lima lembaga ekonomi terkemuka negara itu,DIW, Ifo, IfW, IWH, dan RWI, bahkan merevisi perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi Jerman. Hal ini disebabkan oleh kemacetan pada rantai pasokan disertai krisis suplai gas.
Permasalahan kini mulai dialami industri berat di negara itu. Keduanya telah membuat produksi terhenti di beberapa lokasi yang membuat perakitan barang harus tertunda.
Tak hanya industri berat, otomotif juga mulai mengalami gangguan. Jalur produksi Volkswagen, Opel dan Ford terhenti karena kemacetan bahan baku pembuatan mobil.
Sementara itu BMW dan Mercedes-Benz telah dilaporkan mengirimkan kendaraan dengan komponen yang kurang. Ini merupakan pukulan pada negara berbasis ekspor itu.
Krisis gas sendiri telah mengerek harga bahan bakar itu 14,3% di Eropa. Hal ini membuat Jerman mengalami inflasi tertinggi sejak 1993 dengan persentase sekitar 4,1%.
Selain itu, investor juga akan menyimak rilis data pengeluaran konsumen terbaru saat Departemen Perdagangan AS merilis laporan penjualan ritel di Negeri Paman Sam per September. Konsensus pasar meramal, penjualan ritel AS akan tumbuh negatif 0,2%, dari sebelumnya naik 0,7% secara bulanan di Agustus 2021.
Â

Kemudian, akan ada data awal soal sentimen konsumen AS yang akan dirilis Universitas Michigan untuk periode Oktober. Konsensus sepakat bahwa indeks sentimen konsumen AS akan menguat ke 73,1, dari posisi September di 72,8.
"Sentimen konsumen naik tipis pada akhir September, meskipun kenaikan keseluruhan masih menunjukkan adanya optimisme yang tertekan, yang awalnya dipicu oleh [Covid-19] varian Delta dan didukung oleh inflasi yang persisten dan prospek jangka panjang yang tidak menguntungkan bagi ekonomi nasional," kata Kepala ekonom Survei Konsumen, Richard Curtin, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (15/10).
Dari domestik, Indonesia akan merilis neraca perdagangan September, yang diprediksi bakal berujung pada angka US$ 3,9 miliar, atau melemah dari neraca perdagangan bulan Agustus sebesar US$ 4,7 miliar--yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, rekor sebelumnya tercipta pada Desember 2006 yaitu US$ 4,64 miliar.
Â

Selain itu, pada hari ini Bank Indonesia (BI) juga akan merilis statistik Utang Luar Negeri (ULN) per Agustus 2021.
Sebelumnya, pada 15 September 2021, BI melaporkan ULN Indonesia per akhir Juli 2021 adalah US$ 415,7 miliar. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.257 seperti kurs tengah BI pada waktu itu, maka ULN Indonesia adalah Rp 5.926.63 triliun.
"ULN tumbuh 1,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 2% (yoy). Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN Pemerintah," sebut keterangan tertulis BI, Rabu (15/9/2021).
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Keyakinan usaha Brasil per September (01.30 WIB)
Neraca dagang Indonesia per September (11.00 WIB)
Statistik utang luar negeri per Agustus
Pendaftaran mobil baru Uni Eropa per September (13.00 WIB)
Laju inflasi Prancis per September (13.45 WIB)
Laju inflasi Italia per September (15.00 WIB)
Neraca dagang Uni Eropa per Agustus (16.00 WIB)
Penjualan ritel AS per September (19.30 WIB)
Sentimen konsumen University of Michigan AS per Oktober (21.00 WIB)
Berikut beberapa agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
RUPSLB PT Tourindo Guide Indonesia Tbk/PGJO (10.00 WIB)
RUPSLB PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk/MBSS (10.00 WIB)
RUPST PT Dua Putra Utama Makmur/DPUM (10.00 WIB)
RUPSLB PT Diamond Citra Propertindo Tbk/DADA (10.00 WIB)
RUPSLB PT Cikarang Listrindo Tbk/POWR (11.00 WIB)
RUPSLB PT Bank Jtrust Indonesia Tbk/BCIC (14.00 WIB)
RUPSLB PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk/ADMF (14.00 WIB)
RUPSLB PT Allo Bank Indonesia Tbk/BBHI (14.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA