
Wall Street to The Moon, IHSG Bisa Tahan di Level 6.600?

Sentimen global yang masih mewarnai dinamika pasar modal akhir-akhir ini salah satunya adalah soal krisis energi yang melandai negara Eropa, India, hingga China.
Setelah sebelumnya krisis berdampak ke Inggris, kali ini krisis energi mempengaruhi Jerman.
Mengutip AFP, pada Kamis (14/10/2021) lima lembaga ekonomi terkemuka negara itu,DIW, Ifo, IfW, IWH, dan RWI, bahkan merevisi perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi Jerman. Hal ini disebabkan oleh kemacetan pada rantai pasokan disertai krisis suplai gas.
Permasalahan kini mulai dialami industri berat di negara itu. Keduanya telah membuat produksi terhenti di beberapa lokasi yang membuat perakitan barang harus tertunda.
Tak hanya industri berat, otomotif juga mulai mengalami gangguan. Jalur produksi Volkswagen, Opel dan Ford terhenti karena kemacetan bahan baku pembuatan mobil.
Sementara itu BMW dan Mercedes-Benz telah dilaporkan mengirimkan kendaraan dengan komponen yang kurang. Ini merupakan pukulan pada negara berbasis ekspor itu.
Krisis gas sendiri telah mengerek harga bahan bakar itu 14,3% di Eropa. Hal ini membuat Jerman mengalami inflasi tertinggi sejak 1993 dengan persentase sekitar 4,1%.
Selain itu, investor juga akan menyimak rilis data pengeluaran konsumen terbaru saat Departemen Perdagangan AS merilis laporan penjualan ritel di Negeri Paman Sam per September. Konsensus pasar meramal, penjualan ritel AS akan tumbuh negatif 0,2%, dari sebelumnya naik 0,7% secara bulanan di Agustus 2021.
Kemudian, akan ada data awal soal sentimen konsumen AS yang akan dirilis Universitas Michigan untuk periode Oktober. Konsensus sepakat bahwa indeks sentimen konsumen AS akan menguat ke 73,1, dari posisi September di 72,8.
"Sentimen konsumen naik tipis pada akhir September, meskipun kenaikan keseluruhan masih menunjukkan adanya optimisme yang tertekan, yang awalnya dipicu oleh [Covid-19] varian Delta dan didukung oleh inflasi yang persisten dan prospek jangka panjang yang tidak menguntungkan bagi ekonomi nasional," kata Kepala ekonom Survei Konsumen, Richard Curtin, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (15/10).
Dari domestik, Indonesia akan merilis neraca perdagangan September, yang diprediksi bakal berujung pada angka US$ 3,9 miliar, atau melemah dari neraca perdagangan bulan Agustus sebesar US$ 4,7 miliar--yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, rekor sebelumnya tercipta pada Desember 2006 yaitu US$ 4,64 miliar.
Selain itu, pada hari ini Bank Indonesia (BI) juga akan merilis statistik Utang Luar Negeri (ULN) per Agustus 2021.
Sebelumnya, pada 15 September 2021, BI melaporkan ULN Indonesia per akhir Juli 2021 adalah US$ 415,7 miliar. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.257 seperti kurs tengah BI pada waktu itu, maka ULN Indonesia adalah Rp 5.926.63 triliun.
"ULN tumbuh 1,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 2% (yoy). Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN Pemerintah," sebut keterangan tertulis BI, Rabu (15/9/2021).
(adf/adf)