Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah merah, sementara pasar obligasi bervariasi.
Untuk perdagangan hari ini, Rabu (29/9), tekanan bagi pasar keuangan dalam negeri masih akan berlanjut, sebab kabar buruk terus bertambah. Yield obligasi AS (Treasury) yang terus menanjak, kemudian ditambah lagi krisis energi di Barat yang bisa berdampak secara global. Kabar buruk tersebut akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kembali lagi ke pergerakan pasar kemarin, IHSG di awal perdagangan sempat menguat, dan bolak balik ke zona merah sepanjang sesi I. Tetapi begitu masuk sesi II, IHSG tidak bisa lagi keluar dari zona merah, hingga akhir perdagangan melemah 0,15% ke 6.113,112.
Meski melemah, investor asing masih melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 191 miliar.
Jika IHSG sempat menguat, rupiah tanpa perlawanan melemah di hadapan dolar AS. Sejak awal perdagangan rupiah sudah masuk ke zona merah.
Sempat melemah 0,18% ke Rp 14.275/US$, yang merupakan Level tersebut merupakan yang terelemah sejak 2 September lalu, di akhir perdagangan rupiah berada di Rp 14.270/US$, melemah 0,14% di pasar spot.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi China yang dipangkas memberikan sentimen negatif ke mata uang Asia. Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.
"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.
Presiden China, XI Jinping pada September tahun lalu mengumumkan China akan mencapai puncak emisi karbon pada 2030 dan menjadi bebas karbon pada 2060.
Kebijakan tersebut membuat beberapa perusahaan nasional dan daerah mengurangi produksi batu bara dan proses yang menghasilkan karbon tinggi.
Hanya yield SBN tenor 1 dan 3 tahun yang mengalami penurunan.
Bursa saham AS (Wall Street) babak belur pada perdagangan Selasa waktu setempat, kenaikan yield Treasury memicu aksi jual di pasar saham.
Indeks Dow Jones merosot 1,6% ke 34.299,99, S&P 500 ambrol 2% ke 4.352,63, dan Nasdaq yang paling parah, jeblok hingga 2,8% ke 14.546,68. Nasdaq mencatat kinerja harian terburuk sejak Maret lalu.
Saham teknologi anjlok karena kenaikan imbal hasil akan memicu lonjakan beban pembiayaan obligasi mereka, sehingga saham mereka menjadi kurang menarik. Imbal hasil tinggi juga akan membatasi pertumbuhan mereka.
"Kami memperkirakan kenaikan imbal hasil akan menguntungkan saham siklikal seperti keuangan dan energi ketimbang saham pertumbuhan seperti teknologi, yang mengalami tekanan lebih besar di prospek arus kas ke depan ketika imbal hasil meninggi," tutur Mark Haefele, Direktur Investasi UBS Global Wealth Management, seperti dikutip CNBC International.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun kemarin kembali menanjak 5,55 basis poin ke 1.5461, dan mencapai level tertinggi sejak pertengahan Juni lalu.
"Pasar perlahan tapi pasti melihat realita yield Treasury saat ini jauh lebih rendah dari fundamentalnya. Kebijakan The Fed sedang bergeser, para investor juga merubah posisi mereka, sekaligus, seperti yang cenderung kita lakukan," kata Kathy Jones, kepala strategi aset tetap di Schwab Center for Financial Research, sebagaimana dilansir CNBC International.
Masalah politik klasik di AS, batas utang, juga membebani sentimen pelaku pasar. Amerika Serikat masih terancam mengalami shutdown. Kongres AS harus menyetujui Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) pada Jumat mendatang untuk menghindari shutdown.
Selain itu, Menteri Keuangan Janet Yellen juga mengatakan Kongres AS harus menyetujui kenaikan batas utang pada 18 Oktober agar Amerika Serikat terhindar dari gagal bayar (default).
Sejauh ini, Partai Republik masih menolak untuk menaikkan batas utang.
"Apa yang terjadi Washington sama sekali tidak membantu sentimen, kita memiliki banyak ketidakpastian, dari kebijakan pajak, dan tentu saja batas utang," kata Jeff Buchbinder, ahli strategi di LPL Financial.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini
Jebloknya Wall Street tentunya menjadi kabar buruk bagi bursa saham Asia hari ini, termasuk IHSG. Apalagi bursa saham Eropa juga berguguran kemarin, semakin menunjukkan sentimen pelaku pasar sedang memburuk.
Seperti disebutkan sebelumnya kenaikan yield Treasury membuat pasar saham rontok. Dalam 4 hari terakhir total 18,57 basis dan saat ini berada di level tertinggi sejak 17 Juni lalu.
Kenaikan yield Treasury tenor 10 tahun tersebut menjadi indikasi pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga. Alhasil, kenaikan tersebut tidak hanya membuat pasar saham rontok, tetapi pasar SBN juga akan goyang lagi, dan rupiah juga berisiko kembali melemah.
Kabar buruk lainnya, krisis energi yang terjadi di Eropa dikhawatirkan akan memberikan dampak secara global. Krisis tersebut dimulai akibat meroketnya harga gas alam.
Reuters melaporkan sepanjang tahun ini harga gas alam di Eropa sudah meroket hingga 280%, sementara di Amerika Serikat (AS) lebih dari 130%.
Berdasarkan data Refinitiv, pada perdagangan Selasa harga gas alam di Henry Hub (Oklahoma, AS) tercatat US$ 5,841/MMBtu, naik 2,37% dari hari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sejak Februari 2014.
Banyak faktor yang dikatakan memicu lonjakan harga gas alam. Mulai dari rendahnya persediaan, pengurangan penggunaan energi fosil, hingga kurangnya supply dari Rusia.
Awal mula penurunan persediaan terjadi di bulan April lalu, saat Eropa mengalami cuaca dingin yang tidak biasa, membuat permintaan gas alam meningkat. Persediaan sejak saat itu berkurang drastis hingga di bawah rata-rata lima tahun sebelum pandemi. Penurunan tersebut mengindikasikan terjadinya krisis pasokan.
Kenaikan harga gas alam tersebut diperkirakan masih akan terus terjadi mengingat sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Kenaikan harga gas alam membuat biaya utilitas yang harus ditanggung warga Benua Biru meningkat drastis, kemudian inflasi yang sudah tinggi akan kembali melonjak. Pada akhirnya daya beli masyarakat melemah, konsumsi menurun, dan pemulihan ekonomi bisa terancam.
Reuters yang mengutip para analis mengatakan pukulan terhadap perekonomian memang tidak terelakkan, tetapi saat ini masih terlalu dini untuk memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB).
Meski demikian, kenaikan harga energi tersebut meningkatkan risiko stagflasi, atau kondisi dimana inflasi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi rendah.
"Cukup jelas ada rasa tidak nyaman yang berkembang mengenai prospek perekonomian, karena semakin banyak dunia usaha yang melihat prospek kenaikan biaya" kata Michale Hewson, kepala analis pasar di CMC Market.
Tingginya harga energi yang bisa memicu kenaikan inflasi sudah masuk dalam radar bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Gubernur ECB, Christine Largarde, mengatakan tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi bisa berlangsung lebih lama ketimbang akibat pandemi Covid-19 yang mengganggu supply.
"Harga energi akan menjadi penting dan kemungkinan mempengaruhi inflasi lebih lama. Kita sedang dalam masa transisi, dari sumber energi fosil.... Kita bercita-cita untuk tidak terlalu bergantung pada fosil," kata Lagarde pada CNBC International, Kamis (23/9).
Ketika inflasi semakin meningkat, maka bank sentral dikatakan akan berada dalam situasi yang sulit. Sebab untuk meredam inflasi, stimulus moneter harus dikurangi, suku bunga perlu dinaikkan. Apalagi, dengan pandemi Covid-19 yang masih belum selesai, pemulihan ekonomi masih berjalan, kehilangan dukungan kebijakan moneter longgar tentunya memberikan risiko ke pertumbuhan PDB.
"Jika kita melihat inflasi yang lebih tinggi, sementara atau pun struktural, dan pertumbuhan ekonomi melambat, itu akan menjadi situasi yang sulit bagi pasar dan bank sentral untuk menilai, menavigasi, dan berkomunikasi," kata Piet Haines Christiansen, kepala strateghi di Danske Bank.
Meski demikian, kemarin Lagarde mencoba menenangkan pasar dengan menyatakan ECB tidak akan bereaksi berlebihan terhadap inflasi yang bersifat sementara.
"Tantangan utama adalah memastikan kami tidak beraksi berlebihan merespon kenaikan harga yang sementara akibat masalah supply yang tidak berdampak pada jangka menengah. Kami juga menjaga demand agar tetap positif yang lebih tahan lama membuat inflasi naik menuju target 2%
Kami hanya akan bereaksi terhadap inflasi inti yang kami yakini tahan lama. Kami tidak melihat tanda-tanda kenaikan inflasi ini secara luas di perekonomian," kata Lagarde sebagaimana dikutip CNBC International, Selasa (29/9).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini (2)
Sementara itu Bloomberg melaporkan dampak kenaikan harga gas alam di Eropa sudah merembet ke negara lainnya di seluruh dunia. Di Asia, importir liquefied natural gas (LNG) dikabarkan harus membeli dengan rekor harga tertinggi di tahun ini untuk mengamankan pasokan.
China, salah satu konsumen gas alam terbesar dilaporkan belum cukup cepat untuk menambah persediaannya. Masalah energi untuk pembangkit listrik lebih kompleks lagi di Negeri Tirai Bambu, sebab Presiden Xi Jinping kini menerapkan standar emisi yang lebih tinggi, kemudian pasokan batu bara juga kurang, dan permintaan yang tinggi untuk industri.
Ada lagi Korea Selatan, meski memiliki kontrak LNG jangka panjang, yang menurunkan risiko volatilitas harga, tetapi pemerintahnya sudah berencana menaikkan tarif listrik untuk pertama kalinya dalam 8 tahun terakhir.
Brasil juga menghadapi hal yang sama, utilitas banyak tergantung gas alam. Negeri Samba kini sedang menghadapi inflasi yang tinggi, hingga memaksa bank sentralnya menaikkan suku bunga lima kali berturut-turut.
Dengan kenaikan harga gas alam, inflasi di Brasil berisiko terbang tinggi lagi, sehingga ada kemungkinan suku bunga dikerek semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi terancam melambat dengan suku bunga yang tinggi.
Besarnya permintaan LNG membuat para eksportir kewalahan. Qatar, negara eksportir LNG terbesar kedua di dunia bahkan mengatakan tidak bisa memenuhi semua permintaan.
"Kami memiliki permintaan yang besar dari semua pelanggan kami, dan sayangnya kami tidak bisa melayani semuanya," kata menteri energi Qatar, Saad Al-Kaabi, dalam sebuah konferensi di awal September.
Krisis energi tersebut bisa semakin parah ketika memasuki musim dingin di akhir tahun nanti, sehingga pelaku pasar layak waspada.
"Defisit persediaan membuat pasar cemas sebab kita akan memasuki musim dingin," kata Stefan Konstantinov, analis di ICIS Energy sebagaimana dilansir CNBC Ineternational.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Inflasi Spanyol (pukul 14:00 WIB)
- Penjualan rumah AS (pukul 21:00 WIB)
- Pidato Gubernur ECB, Christine Lagarde (pukul 22:45 WIB)
- Pidato Gubernur BoE, Andrew Bailey (pukul 22:45 WIB)
- Pidato Gubernur BoJ, Haruhiko Kuroda (pukul 22:45 WIB)
- Pidato Ketua The Fed, Jerome Powell (pukul 22:45 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIAÂ