Newsletter

Covid-19 RI Makin Terkendali, Bagaimana Pasar Hari Ini?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
20 September 2021 06:00
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar keuangan Indonesia pada pekan lalu terpantau beragam. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan obligasi pemerintah (surat berharga negara/SBN) bergerak positif, sedangkan rupiah bergerak negatif.

IHSG menguat 0,63% secara point-to-point pada pekan lalu. Pada perdagangan Jumat (17/9/2021), IHSG ditutup menguat 0,38% ke level 6.133,25.

Nilai transaksi sepekan tercatat mencapai Rp 62,92 triliun, sementara asing melakukan beli bersih (net buy) sebesar Rp 1,68 triliun di pasar reguler dan jual bersih (net sell) Rp 200,55 miliar di pasar negosiasi dan pasar tunai.

Sedangkan kinerja rupiah pada pekan lalu tidak cukup menggembirakan, di mana rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan tipis pada Jumat lalu tidak mampu membuat rupiah berbalik 'memukul' dolar AS sepanjang pekan lalu.

Menurut data Refinitiv, rupiah berhasil menguat 0,18% ke posisi Rp 14.225/US$ pada penutupan perdagangan Jumat. Namun, dalam sepekan, rupiah 'loyo' di hadapan dolar AS dengan turun 0,18%.

Sementara itu, pergerakan pasar SBN pada pekan lalu juga terbilang positif, di mana mayoritas harga SBN terpantau menguat, sedangkan imbal hasil (yield) mayoritas SBN terpantau melemah.

Mengacu pada data Refinitiv, hanya SBN bertenor 1, 10, dan 30 tahun yang mengalami pelemahan harga dan kenaikan yield-nya.

Yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara menguat 0,8 basis poin (bp) ke level 6,163% pada pekan lalu.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Sentimen pada pekan lalu cenderung beragam, sehingga dalam periode harian, IHSG dan rupiah cenderung volatil sepanjang pekan lalu.

Dari dalam negeri, Luhut Binsar Pandjaitan, Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali yang juga Menko Maritim dan Investasi RI, mengatakan pandemi virus corona (Covid-19) di Tanah Air semakin terkendali dan pelonggaran bertahap yang diambil membuat pasar keuangan RI cenderung semringah.

Berikutnya masih di dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor Indonesia di bulan Agustus 2021 tumbuh 64,1% secara tahunan (year-on-year/yoy), jauh lebih tinggi dari poling yang dihimpun CNBC Indonesia yang meramal tumbuh 36,5% (yoy).

Sementara impor tercatat tumbuh 55,26% (yoy) juga jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan konsensus yang memprediksi tumbuh lebih tinggi yakni 44,29% (yoy).

Neraca Dagang Aktual periode Agustus 2021 tercatat mencapai US$ 4,74 miliar, tertinggi sejak tahun 2006 dan dua kali lebih tinggi dari ramalan konsensus di US$ 2,32 miliar.

Namun, sentimen positif di dalam negeri masih kalah dengan sentimen negatif dari luar negeri, di mana untuk IHSG yang pergerakannya cenderung volatil sepanjang pekan lalu diakibatkan oleh koreksi dalam bursa Asia.

Sementara di rupiah, kenaikan indeks dolar AS menjadi penghambat laju positif rupiah pada pekan lalu, sehingga secara sepekan rupiah mencatatkan kinerja yang kurang baik.

Naiknya indeks dolar AS disebabkan oleh Pertumbuhan penjualan ritel yang mengejutkan dan memberi gambaran bahwa konsumsi di Negeri Adidaya masih tetap kuat. Artinya, tekanan inflasi itu nyata dan stabil.

Tekanan inflasi, yang menunjukkan pemulihan ekonomi yang kuat setelah dihantam pandemi Covid-19, membuat pasar kembali meyakini bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bisa segera melakukan pengetatan kebijakan atau tapering. Ini diawali dengan mengurangi pembelian surat berharga (quantitative easing/QE) yang sekarang bernilai US$ 120 miliar setiap bulannya.

Halaman 2>>>

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street pada pekan lalu secara mayoritas mengalami pelemahan, di tengah beragamnya sentimen yang hadir di pasar keuangan global sepanjang pekan lalu.

Secara point-to-point pada pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) merosot 0,82%, S&P 500 terkoreksi 0,8%, dan Nasdaq Melemah 0,41%.

Pada Jumat (17/9/2021) pekan lalu, ketiga indeks utama di Wall Street tersebut juga ditutup ambles. Dow Jones melemah 0,48%, S&P 500 dan Nasdaq secara bersamaan merosot 0,91%.

Pasar merespons data inflasi yang akan menjadi acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Indeks Harga Konsumen (IHK) Agustus tercatat tumbuh 0,3% (bulanan) dan 5,3% (tahunan).

Angka itu sedikit lebih rendah dari proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan 0,5% (bulanan) dan 5,4% secara tahunan.

Inflasi inti tercatat hanya naik 0,1% atau lebih mendingan dari konsensus pasar yang memprediksi angka 0,3%.

Sebelumnya, Indeks Harga Produsen (producer prices index/PPI) Agustus melesat 8,3% (tahunan), menjadi yang tercepat sejak 2010. Secara bulanan PPI naik 0,7%, di atas estimasi Dow Jones sebesar 0,6%.

Selain itu, pemerintah AS pada pekan lalu juga merilis penjualan ritel per Agustus yang naik 0,7% (bulanan). Angka itu membalik estimasi ekonom dalam konsensus Dow Jones yang memprediksi pelemahan 0,8% (bulanan).

Artinya, terjadi kenaikan belanja di sana sehingga inflasi berpeluang menguat dan membuat bank sentral AS kian percaya diri melakukan kebijakan tapering lebih cepat.

Meskipun begitu, investor di AS masih menilai bahwa peluang kebijakan pengurangan obligasi (tapering) akan dilakukan setidaknya pada November mendatang. Namun, peluang tapering tersebut masih tergerogoti oleh data pengangguran yang masih buruk.

Klaim tunjangan pengangguran AS pekan yang berakhir 12 September 2021 tercatat 332.000, atau lebih buruk dari prediksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 320.000.

Di lain sisi, kecemasan investor AS juga masih meningkat seiring dari melonjaknya kasus virus Covid-19 akibat penyebaran varian delta yang menekan prospek pemulihan ekonomi, yang bakal mempengaruhi arah kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terkait likuiditas.

"Di tengah kecemasan seputar tekanan ekonomi akhir-akhir ini dan momentum pergantian bisnis, kami masih yakin bahwa pertumbuhan yang kuat akan menunggu di depan dan aktivitas bakal kembali dipercepat," perencana investasi JPMorgan Dubravko Lakos-Bujas, dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.

Halaman 3>>>

Untuk perdagangan hari ini, sentimen yang akan hadir di pasar keuangan global maupun dalam negeri cenderung minim, dikarenakan tidak ada data ekonomi penting yang akan dirilis pada hari ini.

Meskipun sentimen hari ini cenderung sepi, namun ada sentimen dari dalam negeri yang perlu diperhatikan bagi pelaku pasar RI, terutama terkait saham-saham atau harga komoditas minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).

Investor akan memantau nasib moratorium pembukaan lahan sawit baru. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Minggu (19/9/2021) memerintahkan penghentian penerbitan izin baru untuk pembukaan lahan sawit baru.

Dus, kemarin menjadi hari terakhir berlakunya moratorium, dan pemerintah bakal memberikan pengumuman secepatnya pada hari ini, mengenai nasib moratorium tersebut: apakah akan dicabut ataukah dilanjutkan?

Perpanjangan moratorium bakal memicu kenaikan harga CPO, karena pasokan dunia cenderung stagnan sementara permintaan dunia membaik mengikuti pembukaan kembali ekonomi di negara maju.

Selain itu, pelaku pasar bakal juga akan memantau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4.

Saat ini rata-rata kasus infeksi baru Covid-19 berada di bawah 10.000 per hari. Artinya, pandemi Covid-19 cukup terkendali di Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga Sabtu (18/09/2021), penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 tercatat 3.385 kasus, turun dibandingkan penambahan kasus hari sebelumnya yang tercatat sebesar 3.835 kasus.

Dengan demikian, total kasus Covid-19 di Indonesia sejak awal pandemi pada 1 Maret 2020 hingga Minggu (19/9/2021) tercatat mencapai 4.188.529 kasus. Indonesia berada di urutan ke-13 dunia negara dengan pengidap Covid-19 terbanyak.

Mengacu pada kemajuan tersebut, ada harapan bahwa hari ini PPKM Level 4 akan semakin diperlonggar sehingga membuka peluang beli saham-saham yang akan diuntungkan dari pemulihan ekonomi (saham siklikal) seperti konsumer, keuangan dan properti.

Namun pada pekan ini, sentimen masih akan cukup ramai, di mana menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, ada beberapa agenda dan rilis data ekonomi yang bakal memengaruhi pergerakan IHSG dan pasar keuangan lainnya dalam trading hari ini hingga empat hari kedepan.

Pertama, pasar bakal memperhatikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Selasa (21/9/2021) yang akan diakhiri dengan konferensi pers mengenai kebijakan moneter sebulan ke depan. Polling Reuters memperkirakan suku bunga acuan nasional (BI 7-Day Reverse Repo Rate) bakal dipertahankan di level 3,5%.

Pasar akan memantau apakah akan ada kebijakan-kebijakan tambahan yang dipersiapkan bank sentral untuk mengerem efek buruk dari kebijakan tapering (pengurangan pasokan likuiditas di pasar oleh bank sentral Amerika Serikat/AS).

Sentimen kedua muncul dari AS, di mana bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter terbarunya pada Kamis (23/9/2021) waktu setempat. Pasar mengantisipasi bahwa suku bunga acuan tidak akan berubah di level 0-0,25%.

Namun, mereka memantau akan ke mana kebijakan tapering: apakah dipercepat menjadi November atau ditunda menjadi tahun depan karena jumlah slip gaji Agustus lalu hanya bertambah 235.000, atau jauh di bawah ekspektasi pasar.

Sejauh ini, lebih dari 60% ekonom dalam polling Reuters memperkirakan bahwa kebijakan tapering akan dimulai pada Desember. Mereka akan menunggu data klaim tunjangan pengangguran mingguan untuk melihat tren pasar tenaga kerja akan ke mana.

Demikian juga dengan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI sektor manufaktur dan jasa per September yang akan dirilis pada Kamis malam waktu setempat.

Konsensus Tradingeconomics memperkirakan laju ekspansi keduanya melambat, yakni dari 61,1 ke 60 untuk sektor manufaktur dan dari 55,1 ke 54 untuk sektor jasa. Angka di atas 50 dalam indeks PMI mengindikasikan ekspansi, dan sebaliknya di bawah itu mengindikasikan kontraksi.

Ketiga, perhatian akan beralih ke Eropa di mana bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) akan menggelar rapat dewan gubernur, nyaris bersamaan dengan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang akan menentukan suku bunga acuan mereka.

Keduanya juga akan merilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) September di sektor manufaktur maupun jasa.

Terakhir, harga minyak. Harga minyak pada pekan lalu yang terkoreksi bakal menentukan arahnya dalam jangka menengah setelah pada Kamis nanti. Pada Rabu dini hari (Kamis sore hari di Indonesia), American Petroleum Institute (API) akan merilis data stok minyak mentah di Negara Adidaya tersebut per pekan lalu.

Pada pekan sebelumnya, stok minyak mentah di Negeri Sam tersebut turun 5,4 juta barel yang mengindikasikan bahwa penyerapan fasilitas kilang meningkat mengikuti kenaikan permintaan BBM, dan/atau berkurangnya pasokan dari fasilitas produksi di lapangan.

Dua faktor tersebut memicu reli harga minyak sepekan lalu, yang tercatat mencapai 3% baik untuk minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) gacoan AS maupun minyak jenis Brent yang menjadi acuan di Eropa dan juga Indonesia.

Energi Information Administration (IEIA) juga akan merilis data pasokan minyak mentah dan BBM pada hari yang sama. Jika stok ternyata masih terus melemah, maka harga minyak mentah berpeluang melanjutkan penguatan.

Halaman 4>>

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1.       Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan dan Luar Biasa PT Megalestari Epack Sentosaraya Tbk (10:00 WIB),
  2.       Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Neo Commerce Tbk (14:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY)

7,07%

Inflasi (Agusuts 2021, YoY)

1,59%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2021)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

-0,8% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020)

US$ -0,4 miliar

Cadangan Devisa (Agustus 2021)

US$ 144,78 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular