Newsletter

PPKM Level 3 Diperpanjang? Slow, Pasar Sudah Kebal!

Putra, CNBC Indonesia
31 August 2021 06:00
Bendera Amerika tergantung di luar Bursa Efek New York di New York
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Kini saatnya beralih ke Dunia Barat, Wall Street awali pekan ini dengan dibuka menguat. Saat lonceng perdagaNGAN dibunyikan, indeks Dow Jones (DJIA) naik 0,2%. Kemudian indeks S&P 500 tumbuh 0,19% dan Nasdaq Composite memimpin dengan apresiasi 0,36%.

Pada Jumat pekan lalu, indeks saham S&P 500 dan Nasdaq menyentuh rekor tertinggi di penutupan setelah Ketua The Fed memberikan konfirmasi bahwa kebijakan tapering bakal dimulai tahun ini, tetapi tidak akan diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan.

Powell mengatakan bahwa inflasi saat ini secara mantap berada di kisaran target bank sentral tersebut, yakni sebesar 2%, karena inflasi saat ini hanya bersifat transisi dan akan turun ke target tersebut.

Salah satu pemicu tingginya inflasi di AS selain adanya efek basis rendah juga secara struktural inflasi ditopang oleh permintaan durable goods yang menguat selama pandemi Covid-19.

Alasan lain mengapa tapering menjadi urgensi di akhir tahun ini adalah pasar tenaga kerja AS yang rebound dengan cepat. Saat lockdown diberlakukan April tahun lalu tingkat pengangguran di Paman Sam melonjak melebihi 14%. Kini tingkat pengangguran sudah turun ke bawah 6%. Bahkan untuk bulan Agustus angka sementaranya berdasarkan poling terhadap ekonom tingkat pengangguran berada di 5,2% saja.

Memang masih jauh dari level all time low saat masa Presiden Trump di 3,5%. Namun kecepatan serapan tenaga kerja menjadi indikator yang positif bahwa ekonomi Uncle Sam memang berada di fase pemulihan dengan progress yang substansial sebagaimana dikatakan oleh para pebankir sentral negeri adidaya itu.

Melihat realita tersebut, beberapa pejabat The Fed mengatakan bahwa tapering berpeluang diumumkan pada rapat selanjutnya pada 21-22 September. Strategi komunikasi The Fed yang lebih jelas dibandingkan tahun 2013 silam menjadi salah satu alasan mengapa pasar tidak terlalu reaktif.

Yield obligasi acuan AS tenor 10 tahun juga stay di kisaran 1,3%-1,4% meski sempat melesat ke 1,7% pada Februari tahun ini. Hanya saja risiko yang saat ini masih membayangi perekoniomian dan pasar adalah ancaman penyebaran varian Delta dari virus pemicu Covid-19 yang diyakini 70% lebih menular. Di sisi lain valuasi aset di negara maju seperti AS yang sudah tinggi membuka peluang untuk koreksi.

Hingga akhir perdagangan, hanya indeks DJIA yang terbenam di zona merah. Indeks saham blue chip tersebut mengalami koreksi sebesar 0,16%. Sementara itu S&P 500 dan Nasdaq Composite Kembali rekor dengan apresiasi masing-masing sebesar 0,43% dan 0,9%.

Wall Street memang ditutup variatif. Namun hasil ini bukanlah suatu yang terlalu buruk untuk pasar keuangan Benua Kuning yang akan buka pagi hari ini. 

(trp)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular