Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Rabu (11/8/2021) kemarin tidak dibuka karena adanya libur memperingati Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1443 Hijriah, yang seharusnya jatuh pada Selasa (10/8/2021) kemarin.
Pada perdagangan Selasa (10/8/2021) lalu, pasar keuangan RI mencatatkan kinerja yang kurang menggembirakan, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan harga obligasi pemerintah (surat berharga negara/SBN) kompak ditutup di zona merah.
IHSG pada perdagangan Selasa lalu ditutup melemah 0,64% ke level 6.088,41. IHSG pun kembali keluar dari zona psikologisnya di 6.100.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi pada Selasa lalu kembali turun cukup signifikan menjadi Rp 12,7 triliun. Namun, investor asing kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 2,9 miliar di pasar reguler. Sebanyak 187 saham naik, 308 saham turun dan 149 lainnya stagnan.
Di saat IHSG sedang libur, bursa Asia pada perdagangan Rabu kemarin ditutup cenderung beragam. Dari zona pelemahan, indeks saham Straits Times Singapura menjadi yang terparah dalam pelemahan sebagian bursa Asia kemarin.
Sementara dari zona penguatan, indeks saham Filipina memimpin penguatan sebagian bursa Asia lainnya pada perdagangan kemarin
Berikut pergerakan bursa Asia pada perdagangan Rabu (11/8/2021).
Sedangkan untuk mata uang Tanah Air pada perdagangan Selasa lalu juga kembali ditutup melemah melawan dolar AS. Rupiah di pasar spot melemah 0,14% ke level Rp 14.380/US$ terhadap mata uang Negeri Paman Sam.
Sementara di kurs tengah BI atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Selasa lalu, rupiah berada di Rp 14.397 atau melemah 0,13% dibandingkan posisi Senin (9/8/2021) lalu.
Di kala perdagangan rupiah tidak dibuka pada Rabu kemarin, mayoritas mata uang Asia terpantau ditutup menguat. Hanya won Korea Selatan, ringgit Malaysia, dan peso Filipina yang tak kuat melawan greenback kemarin.
Berikut pergerakan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Rabu:
Sementara itu, pergerakan harga SBN pada perdagangan Selasa lalu juga kembali melemah, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Investor kembali melepas SBN pada perdagangan kemarin.
Hanya yield SBN acuan pemerintha bertenor 10 tahun yang mengalami penurunan pada perdagangan Selasa, yakni turun 0,8 basis poin (bp) ke level 6,336%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa:
Di kala pasar keuangan sedang libur pada Rabu kemarin, sentimen positif bagi pasar saham datang dari AS, di mana Senat AS berhasil meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Infrastruktur senilai US$ 1 triliun.
Melansir Reuters, RUU Infrastruktur tersebut dapat memberikan investasi terbesar Negeri Paman Sam dalam beberapa dekade di sektor jalan, jembatan, bandara dan saluran air.
Dengan ini, paket infrastruktur tersebut diharapkan dapat membantu memberikan dorongan ekonomi setelah pembukaan bisnis kembali akibat pandemi.
Senator juga mulai memberikan suara pada paket pengeluaran US$ 3,5 triliun lanjutan yang direncanakan Demokrat untuk disahkan tanpa suara Partai Republik.
"Pasar melihatnya, sebagai bagian pertama, bahwa kesepakatan sudah selesai, pasar setuju dengan itu," kata Ken Polcari, Managing Partner Kace Capital Advisors di Boca Raton, Florida, kepada Reuters.
"Saya tidak percaya pasar akan baik-baik saja dengan US$ 3,5 triliun, tetapi masih ada kemungkinan mereka dapat memblokirnya, atau memperlambatnya, dan melakukan lebih banyak diskusi sehingga pasar belum fokus pada hal itu."
Namun, hal ini tentunya menjadi sentimen cenderung negatif bagi rupiah dan SBN, di mana bagi dolar AS, hal ini tentunya menjadi pendorong untuk kembali menguat. Sedangkan untuk SBN menjadi kabar kurang menggembirakan karena hal ini dapat membantu mendokrak perekonomian AS.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street kembali ditutup beragam dengan mayoritas menguat pada perdagangan Rabu (11/8/2021) waktu setempat, setelah inflasi Juli terbukti moderat sehingga memicu keyakinan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum akan terburu-buru menuju pengetatan.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,62% ke level 35.484,97 dan kembali mencetak rekor terbarunya, sedangkan S&P 500 bertambah 0,25% ke level 4.447,7. Namun, indeks Nasdaq Composite ditutup melemah 0,16% ke posisi 14.765,13.
Inflasi AS yang tercermin pada indeks harga konsumen (IHK) per Juli naik 5,4% (tahunan), atau sedikit di atas proyeksi ekonom dalam survei Dow Jones yang memperkirakan angka 5,3%. Inflasi bulanan di level 0,5% atau sesuai ekspektasi pasar.
Namun, inflasi inti-yang mengecualikan komponen barang yang harganya volatil seperti energi dan makanan-naik 0,3% (bulanan) atau masih lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 0,4%, Secara tahunan, inflasi inti Juli tercatat sebesar 4,3.
Harga mobil bekas, yang menjadi pendongkrak inflasi Juni lalu dengan melesat 10%, naik hanya 0,2% pada Juli. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang jadi acuan pasar pun mengalami penurunan ke level 1,335%. Investor memilih mempertahankan aset mereka di pasar obligasi.
Data IHK menjadi acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Jika inflasi lebih tinggi ketimbang ekspektasi, bursa saham berpeluang tertekan karena The Fed kemungkinan mempercepat kebijakan tapering (pengurangan pembelian obligasi di pasar sekunder).
"Laju yang moderat itu cukup melegakan dan mendukung penilaian bahwa kenaikan harga akhir-akhir ini bersifat peralihan dan terkait pembukaan ekonomi," tutur Mike Loewengart, Direktur Pelaksana Strategi Investasi E*TRADE Financial, seperti dikutip CNBC International.
Sementara itu, harga minyak turun setelah Gedung Putih menyerukan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dan sekutunya untuk menaikkan produksinya guna menopang pemulihan ekonomi dunia.
Harga kontrak berjangka minyak West Texas Intermediate (WTI) anjlok 1,36% menjadi US$ 69,25 per barel, sedangkan untuk harga minyak Brent ambruk 2% ke US$ 66,67/barel. Keduanya pekan lalu sempat bertengger di level US$ 70 per barel.
Pada Selasa lalu, indeks Dow Jones dan S&P 500 ditutup di level tertinggi baru setelah Senat AS meloloskan paket infrastruktur senilai US$ 1 triliun, yang memasukkan alokasi tambahan sebesar US$ 550 miliar di belanja sektor transportasi dan kelistrikan.
Reli ke rekor tertinggi untuk saham di AS masih terjadi, meskipun jumlah kasus Covid-19 meningkat di AS dan di seluruh dunia.
"Distribusi vaksin yang sudah meluas dan langkah-langkah menjaga jarak telah membantu membatasi dampak varian Delta, tetapi kami masih dapat melihat beberapa hambatan pada pertumbuhan ekonomi karena beberapa pembatasan diberlakukan kembali dan konsumen berpotensi menjadi lebih berhati-hati," kata Barry Gilbert, ahli strategi alokasi aset di LPL Financial, dilansir dari CNBC International.
"Meskipun kami mungkin melihat peningkatan volatilitas pasar karena varian Delta, namun kami yakin S&P 500 masih cenderung melihat lebih banyak keuntungan hingga akhir tahun." tambah Gilbert.
Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati beberapa sentimen, di mana yang pertama tentunya terkait dengan pergerakan bursa saham Wall Street pada perdagangan kemarin. Secara mayoritas, Wall Street ditutup menguat.
Inflasi AS periode Juli yang tergambarkan pada indeks harga konsumen (IHK) tercatat tumbuh secara moderat atau sedikit di atas proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,3%.
IHK Negeri Paman Sam pada periode Juli 2021 tumbuh 5,4 secara tahunan (year-on-year/YoY). Sedangkan secara bulanan (month-on-month/MoM) tercatat tumbuh 0,5% atau sesuai ekspektasi pasar.
Data IHK menjadi acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Jika inflasi lebih tinggi ketimbang ekspektasi, bursa saham berpeluang tertekan karena The Fed kemungkinan mempercepat kebijakan tapering (pengurangan pembelian obligasi di pasar sekunder).
Sebelumnya, isu tapering kembali berhembus dalam sepekan terakhir atau menjelang rilisnya data inflasi AS.
Selain itu, pelaku pasar juga perlu mencermati pergerakan harga minyak mentah dunia yang kembali melemah pada perdagangan kemarin, setelah Gedung Putih menyerukan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dan sekutunya untuk menaikkan produksinya guna menopang pemulihan ekonomi dunia.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengatakan keputusan OPEC+ yang secara bertahap meningkatkan produksi tidak cukup efektif untuk bangkit dari momen kritis pemulihan global.
OPEC+ adalah 13 negara anggota OPEC ditambah Rusia dan produsen minyak lainnya selain OPEC.
"Kami bicara dengan anggota OPEC+ yang berpengaruh tentang pentingnya pasar yang kompetitif dalam menetapkan harga," kata Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan dalam pernyataan dikutip dari CNBC International, Rabu (11/8/2021).
"Pasar energi yang kompetitif akan memastikan pasokan energi yang anda dan stabil, OPEC harus berbuat lebih banyak dalam mendukung pemulihan ekonomi [global]," tambahnya.
Sementara itu, dari kabar pengesahan rancangan undang-undang (RUU) infrastruktur AS senilai US$ 1 triliun oleh senat AS juga masih dapat menjadi perhatian pelaku pasar hari ini.
Senat AS akhirnya meloloskan paket infrastruktur bipartisan senilai US$ 1 triliun, yang merupakan agenda utama pemerintahan Presiden Joe Biden pada Selasa (10/8/2021) waktu setempat.
Dana 'super jumbo' tersebut akan dipergunakan pemerintah untuk berinvestasi secara besar-besaran di sektor infrastruktur dalam beberapa dekade ke depan, seperti pembangunan jalan, jembatan, bandara, hingga saluran air.
Pemungutan suara berakhir dengan hasil akhir 69 - 30 dari total 100 kursi parlemen yang ada, di mana 19 anggota Partai Republik memberikan restu meloloskan paket tersebut, seperti dilansir Reuters, Rabu (11/8/2021).
Pasca persetujuan tersebut, Senat AS membuka kemungkinan untuk meloloskan paket lanjutan senilai US$ 3,5 triliun yang direncanakan Partai Demokrat tanpa adanya pemungutan suara dari Partai Republik.
Di lain sisi pada hari ini, beberapa data ekonomi akan dirilis, di mana salah satunya yakni data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Inggris yang tercermin pada produk domestik bruto (PDB) kuartal II-2021.
Reuters dan Trading Economics memperkirakan data awal PDB Negeri Big Ben pada kuartal kedua tahun 2021 akan tumbuh pesat menjadi 22,5% secara tahunan (YoY). Sementara secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ), PDB Inggris juga akan membaik menjadi 5,1%.
Sementara itu di AS, perilisan data inflasi masih akan berlanjut pada hari ini, di mana pada hari ini AS akan merilis data inflasi dari sisi indeks harga produsen (producer price index/PPI) periode Juli 2021.
Konsensus dalam polling Reuters memperkirakan angka PPI AS pada Juli 2021 berada di angka 5,6% secara tahunan (YoY) dan di angka 0,6% secara bulanan (MoM).
Data klaim pengangguran AS untuk pekan yang berakhir pada 7 Agustus juga akan dirilis pada hari ini. Ekonom memproyeksikan ada sekitar 385.000 penganggur yang mengajukan klaimnya pada akhir pekan lalu, dari sebelumnya sebesar 375.000.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data indeks harga produsen (PPI) Jepang periode Juli 2021 (06:50 WIB),
- Rilis data inflasi konsumen harapan Australia periode Agustus 2021 (08:00 WIB),
- Rilis data neraca perdagangan Inggris periode Juni 2021 (13:00 WIB),
- Rilis data pembacaan awal produk domestik bruto (PDB) Inggris kuartal II-2021 (13:00 WIB),
- Rilis data indeks harga produsen (PPI) Amerika Serikat periode Juli 2021 (19:30 WIB),
- Rilis data klaim pengangguran Amerika Serikat periode akhir pekan 7 Agustus 2021 (19:30 WIB),
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY) | 7,07% |
Inflasi (Juli 2021, YoY) | 1,52% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2021) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,17% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2021) | -0,4% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2020) | US$ 4,1 miliar |
Cadangan Devisa (Juli 2021) | US$ 137,3 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA