
Kasus Covid RI Hampir 50 Ribu Sehari, #DiRumahAja Yuk!

Pada perdagangan hari ini, investor masih akan memperhatikan berberapa sentimen baik dari dalam dan luar negeri. Pasar keuangan terutama pasar modal berpotensi melanjutkan koreksi setelah hawa buruk datang dari bursa acuan global Wall Street yang ditutup terbakar dini hari tadi.
Sentimen penggerak dari dalam negeri tentunya tak lain dan tak bukan masih mengenai rilis pertambahan kasus Covid-19 harian RI yang terus menerus mencetak rekor bahkan hingga menduduki ranking pertama pertambahan kasus Covid-19 global.
Indonesia memang belum bisa lepas dari tahap kritis akibat ledakan kasus Covid-19 yang telah terjadi beruntun dalam 3 pekan terakhir. Tercatat pada hari Selasa (14/7), kasus baru positif Covid-19 terus meroket dan menciptakan rekor baru.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sejak kemarin lusa pukul 12.00 hingga kemarin pukul 12.00, kasus baru Covid-19 bertambah 47.899 pasien. Hari ini menggenapi kelamnya data kasus Covid-19 pekan ini yang terus mencetak rekor beruntun.
Rekor hari ini memecahkan rekor kemarin lusa yang menembus 40.427 kasus. Alhasil, hingga hari ini total konfirmasi positif di Indonesia menembus 2,615 juta kasus.
Terus melesatnya kasus Covid-19 ini menyebabkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara dan menyebutkan bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat bisa diperpanjang hingga enam pekan.
Hal ini tentu saja dapat memicu sentimen negatif bagi pasar keuangan dalam negeri karena dengan kasus Covid-19 yang berlarut-larut dan pergerakan masyarakat yang direm dengan PPKM darurat, roda perekonomian berpotensi untuk macet sehingga pertumbuhan ekonomi berpotensi tergerus.
Selanjutnya dari Amerika Serikat, Inflasi Juni di AS dilaporkan melesat 5,4% secara tahunan dengan inflasi inti 4,5%. Angka itu jauh lebih tinggi dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang berujung pada inflasi tahunan 5%. Sementara itu untuk inflasi inti yang tidak memasukan komponen makanan dan energi berada di angka 3,8%--tertinggi sejak September 1991.
Inflasi negeri Stars and Stripes memang akan menjadi perhatian para pelaku pasar di seantro bumi karena angka ini yang nantinya akan dijadikan tolak ukur keputusan bank sentral AS, The Fed untuk melonggarkan quantitave easing serta mulai mengerek naik suku bunga apabila ekonomi AS dianggap terlalu overheat.
Dengan naiknya suku bunga dan pengurangan QE tentunya para pelaku pasar global menakutkan terjadinya taper tantrum dimana dolar AS bisa menguat gila-gilaan sehingga arus modal akan keluar dari negara berkembang dan kembali ke Uncle Sam.
(trp/trp)