
Tapering Masih Jauh Bung! BI Aman, Pasar Bakal Ambil Peluang

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan kembali menerpa pasar modal Indonesia pada perdagangan Rabu (16/6/2021) di tengah penantian rapat bank sentral Amerika Serikat (AS). Seiring keluarnya hasil rapat tersebut, yang tak mengancam bursa nasional, pasar berpeluang bangkit.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi tipis, sebesar 0,17%, ke level 6.078,56. IHSG akhirnya terkoreksi setelah bergerak bolak-balik dari zona merah ke zona hijau sepanjang hari.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 12,4 triliun dan investor asing mencetak penjualan bersih (net sell) senilai Rp 393 miliar di pasar reguler. Sebanyak 316 saham terkoreksi, 180 lainnya terapresiasi, dan 155 sisanya stagnan.
Sentimen negatif masih bersumber dari dalam negeri berupa kenaikan kasus Covid-19 terutama di DKI Jakarta, yang memaksa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan masyarakat (PPKM) mikro di Ibu Kota.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada Rabu (16/6/2021), kasus Covid-19 di Indonesia bertambah hampir 9.944 dalam sehari, sehingga kasus aktif Covid-19 nasional menembus 120.306 orang. Total pasian positif di Indonesia pun mendekati angka 2 juta, tepatnya 1,937 juta.
Jika situasi ini berlarut, maka target pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 sebesar 8% yang dipatok Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bakal meleset. Padahal, optimisme sempat muncul berkat nilai impor Mei yang melesat 66,68%, mengindikasikan permintaan barang modal dan bahan baku untuk keperluan manufaktur meningkat.
Outlook perekonomian yang kurang cerah tersebut menggerus nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Setelah melemah 0,14% pada Selasa, rupiah kemarin tertekan lagi sebesar 0,11%. Hingga ditutup di Rp 14.235/US$.
Menurut data Refinitiv, rupiah sempat terdepresiasi hingga 0,32% ke Rp 14.265/US$ sebelum tekanan koreksi berangsur berkurang. Hingga penutupan pukul 15:07 WIB, pelemahan rupiah sebesar 0,11% itu menjadi yang terburuk di Asia.
Situasi ketakpastian itu memicu pergerakan variatif di obligasi pemerintah. Imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) berjatuh tempo 10 tahun naik sebesar 4,2 basis poin (bp) ke 6,46%. Namun, reli yield obligasi acuan negara tersebut berbeda dari SBN tenor 1, 3, 5, dan 15 tahun yang justru mengalami penurunan yield.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah akibat aksi jual, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) anjlok pada penutupan perdagangan Rabu (16/6/2021), merespons pernyataan bank sentral (Federal Reserve/The Fed) yang akan menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali pada 2023.
Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) mengubah sikapnya dengan mempercepat rencana penaikan suku bunga acuan, setelah sebelumnya menyatakan tidak berencana melakukan itu setidaknya sebelum 2023 terlewati.
Indeks Dow Jones Industrial Average pun merosot 265,7 poin ( 0,8%) menjadi 34.033,67 setelah sempat drop hingga 382 poin ketika Ketua The Fed Jerome Powell berpidato. Indeks S&P 500 melemah 0,5% ke 4.223,7 menyusul koreksi saham konsumer, sementara Nasdaq surut 0,2% menjadi 14.039,68 setelah sempat drop 1,2%.
"Pasar tak mengekspektasikan ini... The Fed kini memberikan sinyal bahwa suku bunga acan bakal perlu naik lebih dini dan lebih cepat... ini agak berselisih dengan klaim sebelumnya tentang kenaikan inflasi yang sifatnya sesaat," tutur Wakil Kepala Ekonom Aberdeen Standard Investments James McCann, seperti dikutip CNBC International.
Wells Fargo Investment Institute dalam proyeksi 2021 menyebutkan pemulihan ekonomi akan terakselerasi pada tahun depan berkat vaksinasi. Risiko yang membayangi adalah inflasi, pajak, dan suku bunga acuan meski dinilai belum akan mengganggu pergerakan pasar. Artinya, pertumbuhan ekonomi bukan lagi persoalan, melainkan inflasi.
Saham siklikal (yang diuntungkan dari pembukaan kembali ekonomi) pun menghijau seperti maskapai Royal Caribbean yang melesat nyaris 2%, emiten kapal pesiar Norwegian Cruise Linemeroket 3% sementara maskapai penerbangan United Airlines dan American Airlines menguat.
Powell dalam pernyataannya mengakui bahwa inflasi bisa melesat lebih cepat dari ekspektasi bank sentral sebelumnya. Target inflasi pun dinaikkan menjadi 3,4% pada 2021, naik 100 persen poindari proyeksi Maret meski masih menilai tekanan inflasi tersebut bersifat "sesaat."
"Seiring dengan pembukaan kembali ekonomi, perubahan permintaan bisa besar dan cepat dan memicu penyumbatan, kesulitan pembukaan lapangan kerja dan kendala lain bisa terus membatasi kecepatan suplai dalam menyesuaikan, memicu kemungkinan inflasi bisa lebih tinggi dan lebih menetap dari yang kami perkirakan," ujarnya.
Terkait dengan kemungkinan pengurangan pembelian (tapering) surat berharga di pasar sekunder, The Fed tak memberikan indikasi waktu pelaksanannya dan hanya menyatakan bahwa mereka akan memberikan "pemberitahuan awal" sebelum mengumumkan kebijakan tersebut. Saat ini The Fed membeli surat berharga di pasar senilai US$ 120 miliar per bulan.
Usai pengumuman kebijakan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) pada dini hari tadi, kini giliran Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan arah kebijakan moneter ke depannya terkait dengan kebijakan suku bunga acuan (7-Day Reverse Repo Rate/7DR3).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan akan dipertahankan di level 3,5%. Sebanyak 13 institusi keuangan terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut dan tidak ada yang memiliki proyeksi yang berbeda.
Di tengah ketakpastian arah kebijakan moneter global ke depan, maka yang terpenting untuk dilakukan adalah memperkuat posisi yang sedang dipertahankan. Bersikap agresif dengan maju bakal memicu risiko besar, demikian pula bersikap defensif alias mundur. Oleh karenanya, pasar tidak perlu berekspektasi akan ada "kebijakan liar" yang bakal diambil Kantor Thamrin.
Sepanjang pandemi, BI 7-Day Reverse Repo Rate yang kala itu masih berada di 5% sudah terpangkas menjadi 3,5%, atau terendah dalam sejarah suku bunga acuan Indonesia. Artinya, BI sudah memotong suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bp).
Sampai saat ini dampaknya terhadap perekonomian belum terlihat, dalam arti masih ada tekanan pertumbuhan ekonomi seperti yang terlihat pada kuartal I-2021, di mana Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih terkontraksi 0,74%. Oleh karena itu, bakal terlalu dini jika bank sentral menaikkan suku bunga acuan.
Sebaliknya, memangkas suku bunga acuan juga bakal berdampak buruk terhadap pergerakan Mata Uang Garuda karena secara psikologis membuat pemodal global kurang tertarik untuk mengoleksi obligasi di Tanah Air.
Yang patut dicari pelaku pasar nasional hari ini adalah kepastian apakah akan ada tekanan pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) di tengah konstalasi perekonomian era pandemi saat ini. Itulah faktor utama yang bisa memperburuk sentimen pelaku pasar.
Berharap ekonomi membaik dalam jangka pendek adalah utopis, mengingat kasus Covid-19 masih bertambah. Oleh karenanya, selera mengambil risiko (risk appetite) dengan mengoleksi saham hanya akan muncul didorong sentimen parsial terkait dengan kabar korporasi, plus sentimen yang mendukung.
Sejauh ini, kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tak mengarahkan terbentuknya energi capital outflow, sebagaimana Ketua The Fed Jerome Powell bilang bahwa terlalu dini mengambil kebijakan pengetatan moneter maupun pengurangan pembelian obligasi (tapering).
"Anda bisa menganggap rapat yang kami jalankan tadi sebagai rapat yang 'membahas tentang apa yang bakal dibahas'... dalam rapat selanjutnya, Komite [Pasar Terbuka Federal] akan terus mengkaji kemajuan ekonomi ke arah sasaran kami," tutur Powell.
Bahkan sekalipun akan ada perubahan arah kebijakan, lanjut dia, bank sentral terkuat sedunia tersebut akan "memberikan pemberitahuan dini sebelum mengumumkan kebijakan apapun yang terkait dengan perubahan pembelian [surat berharga di pasar]."
Koreksi yang terjadi di Wall Street dipicu ketakpuasan pelaku pasar melihat bahwa bank sentral ternyata bakal mempercepat kenaikan suku bunga acuan pada 2023. Meski sebenarnya timeline tersebut masih panjang, tetapi mereka memilih merealisasikan keuntungan. Isunya bukan pada ekonomi yang buyar, atau tapering, melainkan pada perubahan sikap The Fed.
Jadi, ada peluang investor masih bakal nyaman bertransaksi di bursa saham nasional, dengan mengoleksi saham-saham unggulan yang sempat tertekan. Namun, horizon jangka pendek masih akan dominan.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Penjualan Mobil RI per Mei (tentatif)
- Tingkat pengangguran Australia per Mei (08:30 WIB)
- Rilis hasil rapat RDG Bank Indonesia (11:00 WIB)
- Rilis Inflasi Uni Eropa per Mei (16:00 WIB)
- Klaim pengangguran mingguan AS (19:30 WIB)
- Pidato Menkeu AS Janet Yellen di Senat (21:00 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten yang akan berlangsung hari ini:
- RUPST PT Trans Power Marine Tbk/TPMA (09:00 WIB)
- RUPST PT Alkindo Naratama Tbk/ALDO (09:30 WIB)
- RUPST PT Pelita Samudera Shipping Tbk/PSSI (10:00 WIB)
- RUPST PT Asahimas Flat Glass Tbk/AMFG (14:00 WIB)
- RUPST PT Himalaya Energi Perkasa Tbk/HADE (14:00 WIB)
- RUPST PT Metropolitan Kentjana Tbk/MKPI (14:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Moment of Truth! Siap-siap Simak Rilis Inflasi AS