
Semua Mata Tertuju pada The Fed, Ada Kejutan Hari Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal nasional bergerak variatif pada perdagangan kemarin, dengan reli di bursa saham dan koreksi di pasar surat utang dan rupiah. Hari ini, memantau ketat arah dan sinyal kebijakan moneter Amerika Serikat (AS).
Pada perdagangan Selasa (15/6/2021), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan apresiasi 0,14% ke level 6.089,03 setelah sempat terkoreksi sepanjang perdagangan. Nilai transaksi mencapai Rp 10,6 triliun dan investor asing membukukan pembelian bersih (net buy) senilai Rp 214 miliar di pasar reguler. Sebanyak 183 saham naik, 334 turun, dan sisanya 135 flat.
Penguatan tersebut mengikuti tren kawasan, di mana mayoritas bursa Asia ditutup menguat. Indeks Nikkei Jepang melesat 0,96%, Straits Times Singapura naik 0,69%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,2%. Sebaliknya, bursa Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Composite China ditutup di zona merah. Indeks Hang Seng melemah 0,71% dan Shanghai merosot 0,92%.
Penguatan terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus neraca perdagangan US$ 2,37 miliar. Nilai ekspor sebesar US$ 16,6 miliar, melonjak 58,76% secara tahunan, menjadi pertumbuhan tertinggi sejak Januari 2010.
Kabar baik datang dari nilai impor yang tumbuh lebih tinggi, mencapai 66,68%, yang mengindikasikan permintaan barang modal dan bahan baku untuk keperluan manufaktur meningkat. Nyaris 80% impor Indonesia merupakan gabungan keduanya, sehingga peningkatan impor juga bisa diartikan sebagai mulai bergeliatnya aktivitas industri nasional.
Meski demikian, kabar baik neraca perdagangan ini tidak cukup untuk membantu rupiah menguat. Padahal, surplus yang didapatkan menjadi sumber pasokan devisa nasional, sehingga secara psikologis semestinya membantu memulihkan sentimen terhadap rupiah di pasar uang.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tercatat melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI) dan di pasar spot. Kemarin, kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor di level Rp 14.244 per dolar AS atau melemah 0,15%.
Sementara itu, di pasar spot mata uang Tanah Air juga melemah sebesar 0,14% ke Rp 14.220/US$. Depresiasi rupiah kemarin merupakan salah satu yang terdalam di antara mata uang utama Asia, hanya lebih baik dari peso Filipina.
Sentimen penekannya berasal dari situasi pandemi yang makin runyam menyusul penyebaran virus Covid-19 varian baru asal India. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per Selasa (15/6/2021) hingga pukul 12:00 WIB, kasus Covid-19 ddi Indonesia mencapai 1,927 juta orang.
Kasus aktif atau jumlah pasien yang harus mendapatkan perawatan tercatat naik 1.590 orang, sehingga totalnya 116.787 orang. Dengan jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 108.800 spesimen, dan 7,5% kasus positif dari keseluruhan tes.
Dalam apel akbar penanganan pandemi tadi malam, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan bahwa okupansi Wisma Atlet yang digunakan untuk menampung pasien penderita Covid-19 telah mencapai 70%, dari semula posisi 5 Juni sebanyak 30%.
Kabar baik itu memicu aksi jual di pasar obligasi pemerintah, karena investor kian yakin ekonomi akan membaik dan mereka memilih memburu aset investasi berisiko yang menjanjikan keuntngan lebih tinggi, yakni saham.
Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) terpantau melemah pada perdagangan Selasa (15/6/2021), ditandai naiknya imbal hasil (yield) SBN di hampir semua tenor. Yield SBN tenor 10 tahun berkode FR0087 yang merupakan acuan obligasi negara naik sebesar 6 basis poin (bp) ke 6,418%
Hanya SBN berjatuh tempo 3 tahun dan 25 tahun yang yield-nya mengalami penurunan dan ramai diburu investor masing-masing sebesar 1,7 dan 0,1 bp. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup di zona merah pada perdagangan Selasa (15/6/2021), jelang rapat pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) di tengah buruknya data penjualan ritel sementara inflasi dari sisi produsen meningkat.
Indeks Dow Jones Industrial Average turun 94,4 poin (-0,3%) menjadi 34.299,33 sementara S&P 500 surut 0,2% ke 4.246,59 dan Nasdaq melemah 0,7% ke 14.072,86. Saham Apple, Alphabet (induk usaha Google), Amazon dan Microsoft kompak melemah.
Saham pengembang properti dan teknologi tercatat menjadi penyeret pergerakan bursa Wall Street, meski saham sektor energi melesat hingga 2,1%. Saham Exxon Mobil, misalnya, melesat 3% jelang rilis data minyak Energy Information Administration (EIA) hari ini.
Pemicu koreksi tak lain adalah penjualan ritel Mei yang anjlok 1,3% atau lebih buruk dari proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang mengestimasikan koreksi sebesar 0,7%. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat AS belum sepenuhnya pulih meski inflasi meningkat.
Smentara itu, inflasi ke depan-yang tercermin dari indeks harga produsen (Producer Price Index/PPI) per Mei-berpeluang tumbuh. Indeks PPI dilaporkan naik 6,6% yang merupakan level tertinggi sepanjang sejarah.
Angka itu melampaui proyeksi pasar dalam polling Tradingeconomics yang mengestimasikan angka 6,4%. Secara bulanan, PPI menguat 0,8% yang juga lebih tinggi dari estimasi pasar berdasarkan polling Dow Jones yang berada di level 0,6%.
Di sisi lain, pelaku pasar menanti kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang bakal mengakhiri rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) malam ini.
Bank sentral terkuat di dunia tersebut diperkirakan tidak akan mengubah suku bunga, tetapi pasar memantau komentar para pejabatnya seputar inflasi dan kemungkinan pengurangan pembelian (tapering) surat berharga di pasar sekunder.
"Tak harus tapering, semakin lama mereka menahan bicara, ketakseimbangan pasar pun meningkat... risiko tapering dan data inflasi tinggi dan kabar seputar RRP/IOER sepertinya akan membuat rapat The Fed kali ini cendering lunak," tutur George Goncalves, Kepala Perencana Makro MUFG, seperti dikutip CNBC International.
Salah seorang bos pengelola dana di Wall Street Paul Tudor Jones menilai Jerome Powell bisa kehilangan tahtanya sebagai Ketua The Fed jika dia salah mengambil kebijakan dan memicu aksi jual besar-besaran di pasar dunia.
Hari ini, semua perhatian pelaku pasar sedunia, tak hanya Indonesia, bakal tertuju pada bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang akan mengumumkan hasil rapat mereka untuk memutuskan arah kebijakan moneter ke depan, pada malam nanti.
Menurut survei Fed yang digelar CNBC International, para ekonom dan analis memperkirakan bahwa The Fed akan mengurangi pembelian surat utang di pasar sekunder yang selama ini nilainya mencapai US$ 120 miliar per bulan. Semuanya tidak akan terjadi secara mendadak. Pengumuman tapering diprediksi pada Oktober tahun ini dan dilaksanakan Januari tahun depan.
Sementara itu, suku bunga acuan yang saat ini berada di level nyaris nol persen, bakal dinaikkan pada November 2022, atau satu bulan lebih cepat dari proyeksi dalam survei sebelumnya (yang memperkirakan bulan Desember 2022). Ini merupakan proyeksi kenaikan yang pertama sejak Desember 2018.
Sebanyak 89% responden menilai kebijakan pembelian surat berharga itu tak lagi dibutuhkan untuk membantu perekonomian. Persentase itu naik jika dibandingkan dengan posisi April yang sebanyak 65%. Mayoritas atau 86% responden juga menilai kebijakan itu tak membantu menstabilkan pasar.
Sementara itu terkait inflasi, 60% di antaranya memperkirakan bahwa lonjakan harga barang tersebut hanya bersifat sementara, sedangkan 29% lainnya memperkirakan inflasi tersebut sudah permanen akibat aktivitas ekonomi yang kembali normal.
Median proyeksi inflasi untuk tahun ini berada di angka 3,88% menurut survei tersebut, atau naik dari survei sebelumnya pada April yang berujung pada angka 2,76%. Kenaikan inflasi tertinggi diprediksi terjadi pada November, sebesar 5,3%.
Sementara itu, kekhawatiran soal dampak Covid-19 semakin menurun, dengan 94% responden menilai resesi di AS sudah selesai. Hanya saja, mereka terbelah mengenai nasib pandemi. Sebanyak 43% responden menilai pandemi telah usai, sedangkan 40% lainnya menilai pandemi masih mengancam.
Dengan median survei memperkirakan pertumbuhan ekonomi 6,4% tahun ini, sebanyak 69% responden menilai harga saham saat ini sudah terlalu mahal jika dibandingkan dengan outlook fundamental perekonomian dan pertumbuhan laba emiten.
"Pertanyaan besarnya adalah apakah The Fed akan mulai, dengan sangat pelan, mengangkat wacana tapering dan memperdebatkan seputar kebijakan moneter ekstra longgar sekarang," tutur Fiona Cincotta, analis pasar senior City Index, seperti dikutip CNBC International.
Dengan proyeksi arah kebijakan moneter AS demikian, pelaku pasar global bakal cenderung percaya diri untuk tetap berdagang di bursa, menoleksi saham-saham yang sudah dilanda aksi jual akhir-akhir ini, karena kebijakan moneter longgar akan secara perlahan dimulai. Secepatnya, kemungkinan pada Oktober tahun ini. Bukan sekarang.
Namun dari dalam negeri, kasus Covid-19 harus terus dipantau lekat. Kebijakan aneh pemerintah yang kontraproduktif dengan penanganan pandemi berpeluang membuyarkan optimisme pasar, karena pandemi yang memburuk berarti kinerja emiten bakal terpuruk.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Indeks Harga Produsen dan inflasi Inggris Mei (06:00 WIB)
- Penjualan ritel China per Mei (07:00 WIB)
- Rilis data perumahan AS per Mei (12:30 WIB)
- Update data minyak AS versi EIA (14:30 WIB)
- Pengumuman suku bunga acuan AS (20:00 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten yang akan berlangsung hari ini:
- RUPST PT Multi Indocitra Tbk/MICE (09:00 WIB)
- RUPSLB PT Bank Ina Perdana Tbk/BINA (09:00 WIB)
- RUPST PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk/GOOD (09:00 WIB)
- RUPST PT Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk/MREI (10:00 WIB)
- RUPST PT Merck Tbk/MERK (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Cisadane Sawit Raya Tbk/CSRA (09:00 WIB)
- RUPST PT ELnusa Tbk/ELSA (14:00 WIB)
- RUPST PT Sepatu Bata Tbk/BATA (15:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Wall Street 'Nekad' Cetak Rekor, IHSG Bagaimana?