
Jelang Rilis Data Inflasi AS Wall Street Ambles, IHSG?

Hari ini, para pelaku pasar dalam negeri akan menunggu publikasi data penjualan ritel RI untuk periode April 2021, yang akan diumumkan oleh Bank Indonesia (BI) pada 10.00 WIB. Kendati diprediksi masih bakal negatif secara tahunan (year on year/yoy), penjualan ritel bulan April tampaknya bakal membaik dibandingkan bulan sebelumnya.
Sebelumnya, penjualan ritel Indonesia pada Maret 2021 meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Namun dibandingkan periode yang sama tahun lalu masih terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif).
Menurut hasil Survei Penjualan Eceran periode Maret 2021, penjualan eceran yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) naik 6,1% dibandingkan Februari 2021. Jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang -2,7%.
Namun secara tahunan (year-on-year/yoy), penjualan ritel mengalami kontraksi. Pada Maret 2021, IPR turun 14,6% yoy meski membaik ketimbang Februari 2021 yang terkontraksi 18,1% yoy.
Sementara untuk April 2021, BI memperkirakan penjualan ritel akan meningkat baik secara bulanan maupun tahunan. Untuk bulanan, diperkirakan terjadi pertumbuhan 11,4% sementara tahunan naik 9,8%.
Trading Economics meramal penjualan ritel April masih akan minus 10% secara tahunan.
Untuk keseluruhan kuartal I-2021, penjualan ritel tumbuh -16,3% yoy. Sedikit membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang -16,8% yoy.
Kemudian, dari luar negeri, pada pukul 13.45 WIB Perancis akan merilis data produksi industri bulanan per April. Konsensus pasar memprediksi, produksi industri Perancis per April tumbuh 0,5% secara bulanan (month on month/mom).
Pada Maret, produksi industri Prancis naik 0,8 persen dari bulan sebelumnya 2021 alias berhasil rebound dari minus 4,8 persen pada Februari 2021.
Selanjutnya, pada pukul 18.45 WIB-19.30 WIB investor akan mendapat kabar dari Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang akan memutuskan soal tingkat suku bunga di kawasan Uni Eropa dan akan meninjau soal laju pembelian obligasi darurat yang sudah dimulai pada Maret 2020.
Hingga saat ini tingkat suku bunga ECB masih 0,00%. Menurut analisis Trading Economics, suku bunga 0,00% ini akan tetap bertahan hingga 12 bulan ke depan.
Sebelumnya, pasar berspekulasi bahwa ECB akan memutuskan untuk mengurangi skema pembelian obligasi darurat senilai € 1,85 triliun pada saat rapat Kamis besok. Namun, Presiden ECB Christine Lagarde pada akhir Mei lalu mengatakan, masih terlalu dini bagi ECB untuk membahas hal teersebut.
"Kami berkomitmen untuk menjaga kondisi pembiayaan yang menguntungkan dengan menggunakan envelope PEPP, dan bakal melakukannya hingga setidaknya Maret 2022," kata Lagarde pada konferensi pers setelah pertemuan Eurogroup di Lisbon.
"Masih terlalu dini dan sebenarnya tidak perlu memperdebatkan masalah jangka panjang. Fokus kami di bulan Juni adalah pada kondisi pembiayaan yang menguntungkan bagi perekonomian pada umumnya dan semua sektor," tambahnya.
Informasi saja, program pembelian darurat pandemi (PEPP) ECB adalah program pembelian aset sementara sekuritas sektor swasta dan publik yang dimulai pada Maret 2020 untuk melawan dampak pagebluk Covid-19 di kawasan Uni Eropa.
Kemudian, pada 19.30 WIB, perhatian pelaku pasar akan banyak tersedot pada rilis data laju inflasi tahunan Amerika Serikat (AS) per bulan Mei. Pada April tingkat inflasi Negeri Paman Sam melonjak menjadi 4,2%, dari 2,6% pada Maret. Pasar meramal inflasi AS akan melonjak 4,7% secara tahunan.
Nah, apabila tingkat inflasi Negeri Paman Sam kembali naik, investor khawatir hal tersebut akan mendorong bank sentral AS, The Fed, untuk mulai menaikkan tingkat suku bunga dan memicu taper tantrum.
Isu pengetatan alias tapering off memang mulai bertebaran setelah perekonomian AS semakin sehat. Pemulihan setelah dihantam pandemi virus corona (Covid-19), pemulihan ekonomi negeri adi daya berlangsung begitu cepat.
Bukan tidak mungkin, pengurangan quantitative easing (QE) berada di depan mata. Namun, BI masih melihat situasi yang saat ini dihadapi masih bersifat dinamis.
Otoritas moneter Tanah Air memperkirakan Jerome Powell Cs akan mengumumkan fase tapering off paling cepat pada Agustus, yakni kala pertemuan Jackson Hole Symposium.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Hariyadi Ramelan mengaku cukup optimistis dampak dari tapering off Fed tidak akan sebesar pengaruhnya seperti 2013 - 2015.
Salah satu indikator yang menjadi perhatian bank sentral adalah porsi kepemilikan asing terhadap surat utang negara yang sudah turun. Hal tersebut, memang selama ini membuat perekonomian domestik cukup rentan.
Berdasarkan catatan BI, kepemilikan asing terhadap surat utang negara saat ini sudah berada di angka 23%. Ini berbanding terbalik dengan porsi kepemilikan asing terhadap surat utang pada 2013 yang mencapai 38%.
Selain itu, BI merasa fundamental perekonomian domestik pun masih kuat tercermin dari defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang terjaga, inflasi yang terkendali, serta cadangan devisa yang mumpuni.
Asal tahu saja, tapering off merupakan kebijakan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS. Ketika hal tersebut dilakukan, maka aliran modal akan keluar dari negara emerging market dan kembali ke Negeri Paman Sam. Hal tersebut dapat memicu gejolak di pasar finansial yang disebut taper tantrum.
Menelisik ke belakang, Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering QE yang dilakukan sejak krisis finansial global 2008. Kala itu taper tantrum memukul banyak mata uang, termasuk rupiah yang menjadi salah satu korbannya yang melemah lebih dari 50%.
IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.
(adf/adf)