Newsletter

Pasar Dibuka Dua Hari Pekan Ini, Bagaimana Sentimen Hari Ini?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
10 May 2021 06:07
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan pekan lalu, pasar keuangan Indonesia ditutup bervariasi, di mana perdagangan pasar saham dalam negeri berkinerja kurang positif, sementara nilai tukar rupiah dengan dolar Amerika Serikat (AS) dan pasar surat berharga negara (SBN) pun sebaliknya.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menorehkan kinerja buruknya pada pekan lalu, di mana indeks bursa saham acuan nasional tersebut ambruk hingga 1,12% sepanjang pekan lalu. Pada perdagangan Jumat (7/5/2021), IHSG ditutup merosot 0,7% ke level 5.928,31.

Nilai transaksi tercatat masih mencapai Rp 9,2 triliun di awal pekan. Namun pada perdagangan hari terakhir minggu ini, nilai transaksi hanya Rp 8,7 triliun saja. Secara rata-rata, nilai transaksi di bursa hanya Rp 9 triliun.

Walaupun rata-rata nilai transaksi bursa masih di Rp 9 triliun, namun asing mulai kembali mempercayai pasar saham RI. Di mana asing melakukan aksi beli bersih (net buy)sebesar Rp 882 miliar pada pekan lalu.

Sementara itu, rupiah berhasil mencatatkan kinerja yang apik dalam tiga pekan beruntun. Namun apresiasi rupiah paling besar justru terjadi di sepekan terakhir.

Di pasar spot nilai tukar rupiah semakin mendekati Rp 14.200/US$. Padahal tiga minggu sebelumnya rupiah masih setara dengan Rp 14.500/US$. Di minggu ini saja rupiah berhasil menguat 1,11%. Sementara itu di dua pekan sebelumnya rupiah berhasil menguat masing-masing 0,55% dan 0,27%.

Kinerja rupiah yang apik ini tak terlepas dari tumbangnya greenback (dolar AS). Pada periode yang sama indeks dolar yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam terhadap kelompok mata uang lain juga ambles 1% lebih.

Sejalan dengan pergerakan rupiah, pasar obligasi pemerintah Indonesia (SBN) juga mencatatkan kinerja baiknya pada pekan lalu.

Pasar SBN kembali diburu oleh investor pada pekan lalu, ditandai dengan kenaikan harga dan penurunan imbal hasil (yield).

Sebagai acuan untuk pasar obligasi pemerintah RI, yield obligasi berkode FR0087 bertenor 10 tahun mengalami penurunan sebesar 3,3 basis poin (bp) ke level 6,749%, dari sebelumnya di level 6,476%.

Imbal hasil bergerak berkebalikan dari harga obligasi, sehingga kenaikan imbal hasil mengindikasikan koreksi harga dan sebaliknya. Perhitungan imbal hasil dilakukan dalam basis poin yang setara dengan 1/100 dari 1%.

Secara umum, seluruh SBN acuan tenor 1 tahun hingga 30 tahun mengalami penurunan yield sepanjang pekan lalu, di mana penurunan yang terbesar terjadi di SBN bertenor 20 tahun dengan kode FR0083 yang turun sebesar 9,9 bp ke level 7,145% dari sebelumnya di level 7,244%.

Masuknya aliran modal ke pasar keuangan menjadi tenaga bagi rupiah untuk menguat. Selain itu, "sang penjaga" rupiah, Bank Indonesia (BI) punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah di saat terjadi gejolak.

BI melaporkan cadangan devisa (Cadev) kembali meningkat di April lalu setelah tergerus sebulan sebelumnya. Kenaikan tersebut bahkan membuat Cadev kembali ke rekor tertinggi sepanjang masa US$ 138,8 miliar.

Sementara itu pada Rabu (5/5/2021) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tiga bulan pertama 2021 mengalami kontraksi (minus) 0,96% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq). Sementara dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy), ekonomi Indonesia terkontraksi 0,74%.

Realisasi ini tidak jauh dari ekspektasi pasar, bahkan sedikit lebih baik. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan PDB terkontraksi 1,09%qtq, sementara secara tahunan diperkirakan terjadi kontraksi 0,87% (yoy).

Dengan demikian, kontraksi PDB Indonesia genap terjadi selama empat kuartal beruntun. Artinya, Indonesia masih terjebak di 'jurang' resesi ekonomi. Prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik serta aset-aset keuangan RI yang masih menarik berpotensi membuat inflow terjadi ke pasar Asia terutama RI.

Inflow asing juga tercatat di pasar SBN. Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki asing tercatat senilai Rp 964,6 triliun di akhir April, terjadi capital inflow Rp 13,2 triliun dibandingkan posisi akhir Maret. Sedangkan pada periode 1 sampai 4 Mei, capital inflow tercatat Rp 1,16 triliun.

Sementara itu di pasar primer, lelang Surat Utang (SUN) pemerintah Selasa (27/4/2021) pekan sebelumnya mulai ramai peminat. Incoming bid mencapai Rp 52,75 triliun, sedangkan pada lelang SUN sebelumnya sebesar Rp 42,97 triliun.

Pemerintah menetapkan target indikatif sebesar Rp 30 triliun dan yang dimenangkan sebesar Rp 28 triliun lebih baik dari lelang sebelumnya Rp 24 triliun.

Tren tersebut masih berlanjut di pekan lalu. Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang dilakukan Selasa (4/5/2021) lalu juga menunjukkan hasil yang sama.

Pemerintah menetapkan target indikatif Rp 10 triliun, dan penawaran yang dimasuk sebesar Rp 19 triliun, nyaris 2 kali lipat. Dari total penawaran yang masuk dimenangkan sebesar Rp 10 triliun, sesuai dengan target.

Walaupun di pasar rupiah dan SBN pada pekan lalu mencetak kinerja yang apik, lain halnya dengan IHSG. Walaupun ada inflow asing di pasar saham, namun hal itu tidak membuat IHSG bangkit ke atas level psikologisnya di 6.000.

IHSG terpengaruh dari sentimen negatif terkait kekhawatiran seputar penyebaran virus Covid-19 dari India dan beberapa negara di kawasan Asia.

Pada Sabtu (8/5/2021), jumlah warga yang meninggal di India dalam 24 jam saja sebanyak 4.187 orang. Hal Ini menjadikan total kematian sejak corona menyerang menjadi 240.000. Institute for Health Metrics and Evaluation mengatakan angka kematian akan menembus 1 juta per Agustus 2021.

Di sisi lain, pelaku pasar masih mencermati adanya ekspektasi mulai adanya pengetatan kebijakan moneter dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), sebagaimana diserukan oleh Menteri Keuangan Janet Yellen.

Kebijakan moneter ketat, berupa kenaikan suku bunga acuan dan pengurangan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) berpeluang besar memicu capital outflow yang akan menekan aset keuangan dalam negeri mulai dari saham, obligasi hingga nilai tukar rupiah.

Kekhawatiran tersebut meningkat setelah Yellen menilai bahwa suku bunga acuan seharusnya dinaikkan untuk mencegah ekonomi AS kepanasan.

"Ini bukan sesuatu hal yang saya prediksikan atau rekomendasikan," tuturnya.

Bank sentral AS juga mulai menjajaki peluang tersebut seperti yang disebutkan oleh Vice Chairman The Fed, Richard Clarida kepada CNBC International, yang menyebutkan bahwa perlu ada kemajuan tambahan selain pembaikan angka tenaga kerja di AS, dan kemudian bank sentral akan mengurangi kebijakan moneter longgar.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street bergerak bervariasi pada pekan lalu. Secara point-to-point, Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,95%, dan S&P 500 menguat 0,95%. Namun indeks Nasdaq Composite pada pekan lalu merosot 1,03%.

Saham teknologi masih menjadi pemberat indeks Nasdaq, karena aksi jual investor di saham teknologi dan membuat sahamnya kembali ambruk.

Saham Tesla.Inc pada pekan lalu ambruk 5,23% ke level US$ 672,37/saham, sementara saham Netflix Inc. merosot 1,88% ke level US$ 503,84/saham pada pekan lalu, dan NVIDIA Corp. melemah 1,31% ke level US$ 592,49/saham pada pekan lalu.

Mayoritas saham teknologi kembali dilepas oleh investor karena potensi penggunaan teknologi diperkirakan bakal berkurang drastis yang berakibat pada aksi jual saham-saham teknologi.

Hal ini karena faktor pembatasan sosial (social restriction) di AS mulai dilonggarkan, seiring dari mulai terkendalinya kasus aktif virus corona (Covid-19) di AS.

US Centers for Disease Control and Prevention melaporkan, total pasien positif corona di New York per 2 Mei 2021 adalah 2.041.268 orang. Bertambah 2.200 orang dari hari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (hingga tanggal 5 Mei 2021), rata-rata tambahan pasien baru adalah 3.714 orang per hari. Jauh lebih sedkit ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 6.590 orang. Terlihat kurva kasus mulai melandai.

Dilain sisi pada akhir pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan ada 266.000 tenaga kerja baru pada April dengan angka pengangguran 6,1%.

Sementara itu, angka tenaga kerja baru sebulan sebelumnya (Maret) yang semula di angka 916.000 ternyata harus direvisi menjadi 770.000.

Kedua angka tersebut jauh lebih buruk dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan ada 1 juta slip gaji baru dengan angka pengangguran 5,8% atau membaik dari sebelumnya 6%.

Berbekal data tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi masih akan melanjutkan kebijakan moneter longgar yang sekarang diberlakukan. Pelaku pasar sebelumnya khawatir dengan risiko inflasi yang bakal terjadi.

Riset Bank of America menyebutkan bahwa data pengangguran yang positif bakal memukul saham teknologi, jika berujung pada perubahan kebijakan moneter.

"Itu angka penciptaan lapangan kerja yang buruk, dan mengundang pertanyaan akan asumsi bahwa kuartal II akan melanjutkan momentum positif yang dibangun di awal tahun," tutur Ian Lyngen, Kepala Riset BMO, dalam catatan kepada investor yang dikutip CNBC International.

Sebelumnya, pelaku pasar global pada pekan lalu menanggapi sesaat terkait pernyataan Menteri Keuangan yang menilai bahwa suku bunga acuan seharusnya dinaikkan untuk mencegah ekonomi AS kepanasan.

"Ini bukan sesuatu hal yang saya prediksikan atau rekomendasikan," tuturnya.

Bank sentral AS juga mulai menjajaki peluang tersebut seperti yang disebutkan oleh Vice Chairman The Fed, Richard Clarida kepada CNBC International, yang menyebutkan bahwa perlu ada kemajuan tambahan selain pembaikan angka tenaga kerja di AS, dan kemudian bank sentral akan mengurangi kebijakan moneter longgar.

Pada pekan depan, pasar keuangan dalam negeri hanya dibuka selama 2 hari, karena adanya libur hari raya Idul Fitri 1442 H yang kemungkinan jatuh pada Kamis - Jumat (13-14 Mei 2021). Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menentukan hari libur bursa menjelang hari raya akan dimulai pada Rabu (12/5/2021) hingga Jumat (14/5/2021).

Walaupun hanya diperdagangkan selama dua hari, namun pelaku pasar keuangan dalam negeri masih akan memfokuskan ke beberapa kabar dari luar negeri.

Pelaku pasar keuangan Indonesia akan mengamati bursa saham AS, Wall Street, setelah data ketenagakerjaan AS yang tercatat lebih buruk dari setimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan ada 1 juta slip gaji baru dengan angka pengangguran 5,8% atau membaik dari sebelumnya 6%.

Berbekal data tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi masih akan melanjutkan kebijakan moneter longgar yang sekarang diberlakukan. Pelaku pasar sebelumnya khawatir dengan risiko inflasi yang bakal terjadi.

Di samping terkait kebijakan moneter di AS, pelaku pasar juga akan mengamati Indeks Keyakinan Bisnis di Australia yang akan dirilis oleh Bank Nasional Australia pada pukul 08:30 WIB.

Pada Maret, indeks ini turun menjadi 15 poin pada Maret 2021 dari sebelumnya di Februari yang sebesar 18 poin. Adapun prediksi yang dihimpun Trading Economics, angka Business Confidence Australia akan menyentuh 18 poin.

Walaupun pada hari ini data ekonomi yang akan dirilis cenderung sedikit, namun pada pekan ini, pelaku pasar keuangan Indonesia akan memantau beberapa data ekonomi, terutama di China.

Berpindah ke Benua Asia, pasar Negeri Panda, China, juga akan menyimak publikasi laju inflasi April 2021 secara tahunan (year-on-year)

Indeks harga konsumen di China naik 0,4% yoy pada Maret 2021, setelah turun 0,2% pada sebulan sebelumnya dan dibandingkan dengan konsensus pasar pada Maret yang diprediksi naik 0,3%.

Kemudian, dari ranah Britania Raya para pelaku pasar juga akan menunggu posisi neraca perdagangan Maret 2021 yang akan dipublikasikan pada Rabu (12/5). Para analis memprediksi neraca perdagangan Inggris masih minus GBP 6,1 miliar pada Maret lalu.

Sebelumnya, defisit perdagangan Inggris naik menjadi GBP 7,1 miliar pada Februari 2021 dari minus GBP 3,4 miliar pada bulan sebelumnya. Ini merupakan defisit perdagangan bulanan terbesar sejak Maret 2019.

Di tanggal yang sama, 12 Mei, Biro Statistik Ketenagakerjaan AS bakal merilis data laju inflasi dan laju inflasi inti bulan April. Konsesus pasar mematok laju inflasi April bakal naik menjadi 3,6%, dari bulan sebelumnya di 2,6%.

Data ini mungkin menjadi yang paling ditunggu pasar karena, akhir-akhir ini sejumlah tokoh atau miliarder AS, termasuk investor kawakan Warren Buffet, mengkhawatirkan kenaikan inflasi di negeri Paman Sam.

Kekhawatiran tersebut didasarkan pada program stimulus besar-besaran pemerintahan Joe Biden untuk mendongkrak ekonomi nasional seiring hantaman pagebluk Covid-19.

Sebelumnya, tingkat inflasi tahunan di AS melonjak menjadi 2,6% pada Maret 2021 dari 1,7% pada Februari. Ini adalah kenaikan tertinggi sejak Agustus 2018.

Sementara, laju inflasi inti, yang tidak memasukkan barang volatil, diprediksi akan naik menjadi 2,3%. Sebelumnya, pada Maret inflasi inti naik 1,6%, dari bulan Februari 1,3%.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data Indeks Keyakinan Bisnis Australia periode April 2021 (08:30 WIB)
  2. Rilis data penjualan ritel final Australia periode Maret 2021 (08:30 WIB),
  3. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan dan Luar Biasa (RUPST-RUPSLB) PT Sarana Mediatama Metropolitan Tbk (09:30) WIB,
  4. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (10:00) WIB,
  5. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Sekar Laut Tbk (10:00) WIB,
  6. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Galva Technologies Tbk (10:00) WIB,
  7. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Indospring Tbk (13:30 WIB),
  8. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Tigaraksa Satria Tbk (14:00 WIB),
  9. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Bank Mayapada Tbk (14:00 WIB),
  10. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT PP Properti Tbk (PPRO) pukul 16:00 WIB.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2021 YoY)

-0,74%

Inflasi (April 2021, YoY)

1,42%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (April 2021)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2020)

0,4% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2020)

US$ 2,6 miliar

Cadangan Devisa (April 2021)

US$ 138,8 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

 


(chd/chd) Next Article Hari Penentuan Tiba: AS Akan Buat Dunia Menangis atau Ketawa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular