
Cek Gaes! Sentimen Pekan Depan Banyak dari Negeri Paman Sam

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih terus tertekan selama minggu ini, seiring terjadi koreksi hingga 1,1%.
Data-data transaksi juga menunjukkan bahwa perdagangan masih sepi dan kurang bergairah.
Nilai transaksi tercatat masih mencapai Rp 9,2 triliun di awal pekan. Namun pada perdagangan hari terakhir minggu ini, nilai transaksi hanya Rp 8,7 triliun saja. Secara rata-rata, nilai transaksi di bursa hanya Rp 9 triliun.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) juga menunjukkan transaksi setiap bulannya cenderung menurun di kuartal pertama tahun ini. Pada awal tahun rata-rata transaksi harian mencapai Rp 20,5 triliun.
Kemudian di bulan Februari transaksi turun hampir 25% menjadi Rp 15,6 triliun. Transaksi semakin turun di bulan Maret dan hanya Rp 11,9 triliun. Kalau dilihat minggu ini nilai transaksi juga semakin turun.
IHSG turun di kala asing masuk ke bursa saham domestik. Minggu ini saja asing membukukan aksi beli bersih senilai hampir Rp 882 miliar di pasar reguler.
Kendati bursa saham domestik lesu, mata uang rupiah malah berhasil melanjutkan dominasinya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Rupiah berhasil mencatatkan kinerja yang apik dalam tiga pekan beruntun. Namun apresiasi rupiah paling besar justru terjadi di sepekan terakhir.
Di pasar spot nilai tukar rupiah semakin mendekati Rp 14.200/US$. Padahal tiga minggu sebelumnya rupiah masih setara dengan Rp 14.500 per US$. Di minggu ini saja rupiah berhasil menguat 1,11%. Sementara itu di dua pekan sebelumnya rupiah berhasil menguat masing-masing0,55% dan 0,27%.
Kinerja rupiah yang apik ini tak terlepas dari tumbangnyagreenback. Pada periode yang sama indeks dolar yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam terhadap kelompok mata uang lain juga ambles 1% lebih.
Adapun sentimen yang memengaruhi pasar minggu ini tak lepas dari pasar nasional masih didera kekhawatiran seputar penyebaran virus Covid-19 dari India.
Pada Sabtu (8/5/2021), jumlah warga yang meninggal dalam 24 jam saja sebanyak 4.187 orang.
Ini menjadikan total kematian sejak corona menyerang menjadi 240.000. Institute for Health Metrics and Evaluation mengatakan angka kematian akan menembus 1 juta per Agustus 2021.
Di sisi lain, pelaku pasar masih mencermati adanya ekspektasi mulai adanya pengetatan kebijakan moneter dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), sebagaimana diserukan oleh Menteri Keuangan Janet Yellen.
Kebijakan moneter ketat, berupa kenaikan suku bunga acuan dan pengurangan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) berpeluang besar memicucapital outflow yang akan menekan aset keuangan dalam negeri mulai dari saham, obligasi hingga nilai tukar rupiah.
Kekhawatiran tersebut meningkat setelah Yellen menilai bahwa suku bunga acuan seharusnya dinaikkan untuk mencegah ekonomi AS kepanasan.
"Ini bukan sesuatu hal yang saya prediksikan atau rekomendasikan," tuturnya.
Bank sentral AS juga mulai menjajaki peluang tersebut seperti yang disebutkan oleh Vice Chairman The Fed Richard Clarida kepada CNBC International, yang menyebutkan bahwa perlu ada kemajuan tambahan selain pembaikan angka tenaga kerja di AS, dan kemudian bank sentral akan mengurangi kebijakan moneter longgar.
Sentimen Pasar Pekan Depan
Di samping terkait kebijakan moneter di AS, pelaku pasar juga akan mengamati Indeks Keyakinan Bisnis di Australia yang akan dirilis oleh Bank Nasional Australia pada Senin besok (10/5).
Pada Maret, indeks ini turun menjadi 15 poin pada Maret 2021 dari sebelumnya di Februari yang sebesar 18 poin. Adapun prediksi yang dihimpun Trading Economics, angka Business Confidence Australia akan menyentuh 18 poin.
Berpindah ke Benua Asia, pasar Negeri Panda, China, juga akan menyimak publikasi laju inflasi April 2021 secara tahunan (year-on-year)
Indeks harga konsumen di China naik 0,4% yoy pada Maret 2021, setelah turun 0,2% pada sebulan sebelumnya dan dibandingkan dengan konsensus pasar pada Maret yang diprediksi naik 0,3%.
Kemudian, dari ranah Britania Raya para pelaku pasar juga akan menunggu posisi neraca perdagangan Maret 2021 yang akan dipublikasikan pada Rabu (12/5). Para analis memprediksi neraca perdagangan Inggris masih minus GBP 6,1 miliar pada Maret lalu.
Sebelumnya, defisit perdagangan Inggris naik menjadi GBP 7,1 miliar pada Februari 2021 dari minus GBP 3,4 miliar pada bulan sebelumnya. Ini merupakan defisit perdagangan bulanan terbesar sejak Maret 2019.
Di tanggal yang sama, 12 Mei, Biro Statistik Ketenagakerjaan AS bakal merilis data laju inflasi dan laju inflasi inti bulan April. Konsesus pasar mematok laju inflasi April bakal naik menjadi 3,6%, dari bulan sebelumnya di 2,6%.
Data ini mungkin menjadi yang paling ditunggu pasar karena, akhir-akhir ini sejumlah tokoh atau miliarder AS, termasuk investor kawakan Warren Buffet, mengkhawatirkan kenaikan inflasi di negeri Paman Sam.
Kekhawatiran tersebut didasarkan pada program stimulus besar-besaran pemerintahan Joe Biden untuk mendongkrak ekonomi nasional seiring hantaman pagebluk Covid-19.
Sebelumnya, tingkat inflasi tahunan di AS melonjak menjadi 2,6% pada Maret 2021 dari 1,7% pada Februari. Ini adalah kenaikan tertinggi sejak Agustus 2018.
Sementara, laju inflasi inti, yang tidak memasukkan barang volatil, diprediksi akan naik menjadi 2,3%. Sebelumnya, pada Maret inflasi inti naik 1,6%, dari bulan Februari 1,3%.
Tidak hanya itu, pada Jumat (14/5), Biro Sensus AS akan merilis data penjualan ritel bulanan (month-to-month) April yang diprediksi di kisaran 1,3%.
Informasi saja, penjualan ritel di AS melonjak 9,8% pada bulan Maret 2021, menyusul penurunan 2,7% pada bulan sebelumnya Ini adalah peningkatan terbesar sejak Mei 2020, seiring pembukaan bisnis, cek stimulus senilai US$ 1.400 yang diberikan mulai pertengahan Maret dan faktor-faktor lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Simak Nih! Deretan Kabar 'Hot' buat Pekan Depan