Newsletter

Awas Archegos Effect ke Mana-mana, Apa Kabar Bursa?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
28 April 2021 06:40
Warga mempelajari platform investasi di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta
Foto: Pengunjung mempelajari platform investasi digital di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Meski Amerika Serikat (AS) membagikan sentimen positif dari data ekonomi di sektor riil terkait dengan indeks harga perumahan dan indeks keyakinan konsumen per Februari, tetapi risiko justru muncul dari Asia dan dari pasar keuangan global.

Di pasar keuangan, UBS mengejutkan pasar dengan mengumumkan bahwa laba bersihnya terpukul oleh kasus Archegos Capital, karena baru mengakui kerugian tersebut sebulan setelah kasus gagal bayar hedge fund tersebut muncul.

Saham UBS anjlok nyaris 3% di bursa Eropa setelah melaporkan bahwa bank investasi tersebut mencatatkan kerugian sebesar US$ 774 juta (sekitar Rp 11 triliun) di kuartal I-2021 menyusul gagal bayar Archegos.

"Yang membuat saya heran adalah fakta bahwa mereka tidak membuka informasi tersebut ke publik lebih dini," tutur Storm Uru, Pengelola dana di Liontrust Global Dividend Fund, kepada CNBC International.

Munculnya pengakuan UBS ini membuat daftar korban Archegos bertambah menjadi enam. Sebelumnya, Credit Suisse, Nomura, Deutsche Bank, Morgan Stanley dan Goldman Sachs juga terkena imbas kasus gagal bayar Archegos meski beberapa di antaranya berhasil lolos dari kasus itu lebih dini.

Sebelumnya, Credit Suisse mengaku kerugian kasus Archegos mencapai 4,4 miliar Swiss francs (US$ 4,8 miliar), yang memukul kinerja keuangan mereka pada kuartal I-2021. Belakangan, angka kerugian bertambah 600 juta Swiss francs yang akan dicatatkan di neraca kuartal II-2021.

Di sisi lain, Morgan Stanley mengakui kerugian akibat kasus yang disebutnya sebagai "peristiwa pemberian utang" mencapai US$ 644 juta, ditambah kerugian di pasar sebesar US$ 267 juta.

Kasus Archegos tersebut membangkitkan kekhawatiran seputar sistemik tidaknya peristiwa tersebut terhadap aktivitas pasar global yang saat ini tengah melesu akibat pandemi dan minimnya katalis positif dari sisi perekonomian.

Jika eksposur kerugian tersebut berusaha ditutup dengan melepas aset portofolio para raksasa keuangan tersebut di pasar emerging market seperti Indonesia, situasi perdagangan yang tengah lesu akan berubah menjadi perdagangan yang penuh tekanan.

Apalagi, sentimen juga sedang buruk setelah India membukukan lonjakan kasus Covid-19. Pada Selasa, negara dengan pasar terbesar kedua di Asia setelah China ini melaporkan 323.144 kasus infeksi baru, yang membuat total penderita virus corona ini mencapai lebih dari 17,6 juta orang. Ini merupakan rekor tertinggi baru dalam 5 hari berturut-turut.

Sonal Varma, Kepala Ekonom Nomura di India, mengatakan bahwa negara tersebut "benar-benar akan melihat pukulan atas pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan" pada kuartal pertama. Tahun fiskal India dimulai pada April dan berakhir pada Maret tahun depan.

Dia memperkirakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) bakal melempem menjadi 1,5% pada kuartal ini. Risiko penekan ke bawah (downside risk) masih akan ada menyusul kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat (lockdown) yang diperketat di banyak tempat.

Dari Eropa, Jerman juga membagikan sentimen negatif. Salah satu negara yang menghadapi kenaikan kasus Covid-19 tersebut sudah menerapkan aturan pembatasan aktivitas masyarakat (lockdown) yang lebih ketat dan bakal berlaku hingga Juni nanti.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular