Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bervariasi pada pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses bangkit, sementara rupiah melanjutkan tren penurunan menjadi 8 pekan beruntun. Dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) mampu mencatat penguatan cukup tajam.
Di awal pekan ini, pasar keuangan dalam negeri berpeluang menguat melihat sentimen pelaku pasar yang sedang bagus, seperti Wall Street kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada pekan lalu. Sementara investor asing terlihat sudah tidak takut lagi dengan penyakit akibat virus corona (Covid-19). Indikasi tersebut akan dibahas pada halaman 3.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat nyaris 1% ke 6.070,21, setelah melemah dalam 3 minggu beruntun. Dalam 5 hari perdagangan, IHSG mampu menguat sebanyak tiga kali. Dalam sepekan, investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 1,87 triliun, dengan nilai transaksi mencapai Rp 47,74 triliun.
Sementara itu, rupiah pada pekan lalu membukukan pelemahan 0,34% melawan dolar Amerika Serikat (AS), sedangkan total pelemahan selama 8 pekan sebesar 4,37%. Mata Uang Garuda kini berada di level terlemah dalam 5 bulan terakhir.
Dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penguatan di semua tenor, bahkan beberapa cukup signifikan. Penguatan tersebut tercermin dari penurunan yield, tenor 10 tahun misalnya yang turun hingga 30,8 basis poin ke 6,453%.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika harga naik, maka yield akan turun, dan sebaliknya.
Sentimen yang mempengaruhi pergerakan dari dalam negeri, yakni data cadangan devisa serta indeks keyakinan konsumen (IKK). Bank Indonesia (BI) pada Rabu (7/4/2021) melaporkan cadangan devisa per akhir Maret sebesar US$ 137,1 miliar, turun US$ 1,7 miliar dari bulan Februari US$ 138,8 miliar yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2021 tercatat sebesar 137,1 miliar dolar AS, tetap tinggi meskipun menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Februari 2021 sebesar 138,8 miliar dolar AS," tulis BI dalam rilisnya, Rabu (7/4/2021).
Sementara itu pada hari Jumat (9/4/2021), BI melaporkan IKK berada di 93,4. Meningkat dibandingkan dengan 85,8 dan 84,9 pada Februari dan Januari 2021.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Di atasnya berarti optimistis, sementara di bawahnya berarti pesimistis.
Artinya, IKK di bulan Maret memang sudah membaik tetapi konsumen cenderung masih pesimistis atau belum pede memandang perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.
Selain dari dalam negeri, faktor eksternal lebih banyak mempengaruhi pergerakan IHSG, rupiah, hingga SBN. Bursa saham AS (Wall Street) yang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa memberikan sentimen positif ke IHSG.
Sementara itu rupiah mengalami tekanan meski indeks dolar AS anjlok nyaris 1% pada sepanjang pekan lalu. Dolar AS ternyata masih menjadi primadona pelaku pasar, khususnya ketika berhadapan dengan mata uang Asia. Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (8/4/2021) menunjukkan angka untuk rupiah 0,59, naik dari dua pekan lalu 0,45. Artinya, semakin banyak pelaku pasar yang mengambil posisi jual rupiah.
Sementara itu SBN mampu menguat setelah yield Treasury 1,3 basis poin ke 1,666%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Meroket, Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Masa Lagi
Bursa saham AS (Wall Street) melesat pada pekan lalu dan membukukan rekor tertinggi sepanjang masa. Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang akan lebih cepat dari prediksi, serta bank sentral AS (The Fed) yang menegaskan tidak akan merubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat membuat Wall Street terus menanjak.
Indeks Dow Jones selama pekan lalu mampu melesat nyaris 2%, sementara S&P 500 lebih tinggi lagi, 2,7%. Indeks Nasdaq memimpin setelah meroket 3,1%.
Khusus pada hari Jumat (9/4/2021) indeks Dow Jones melesat 0,9% ke 33.800,60, yang merupakan rekor penutupan tertinggi sepanjang sejarah. Indeks S&P 500 juga menguat 0,77% ke Rp 4.128,8, yang juga menjadi rekor tertinggi sepanjang masa.
Sementara itu indeks Nasdaq meski memimpin penguatan tetapi masih belum mencetak rekor tertinggi baru.
Tanda-tanda pemulihan ekonomi AS terus bermunculan. Data terbaru yang dirilis pekan lalu menunjukkan indeks harga produsen (producer price index/PPI) meroket 4,2% pada bulan Maret. Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 9 tahun terakhir. Selain itu, kenaikan PPI mengindikasikan roda bisnis mulai semakin menggeliat, dan para wirausahawan mulai meningkatkan aktivitasnya.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih baik juga diprediksi oleh The Fed. Dalam notula rapat kebijakan moneter edisi Maret yang dirilis pekan lalu menunjukkan The Fed menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.
Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar.
Selain itu, The Fed juga memproyeksikan tingkat pengangguran di akhir tahun nanti sebesar 4,5% dan inflasi berada di 2,2%.
Yang menarik, meski proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi cukup besar, tetapi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat. Suku bunga 0,25% masih akan dipertahankan hingga tahun 2023, sementara program pembelian aset (quantitative easing/QE, senilai US$ 120 miliar belum akan dikurangi nilainya alias tapering.
Artinya, dengan pemulihan ekonomi AS diprediksi lebih cepat dari prediksi, serta The Fed yang tidak akan merubah kebijakan moneternya tentunya memberikan efek ganda ke pasar finansial.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Penguatan Wall Street sepanjang pekan lalu, dan pada hari Jumat khususnya tentunya bisa menjadi kabar bagus bagi IHSG. Sebagai kiblat bursa saham dunia, penguatan Wall Street biasanya menginspirasi bursa saham lainnya, termasuk IHSG.
Selain itu, pelaku pasar secara global kini semakin pede masuk ke pasar saham. Hal tersebut terindikasi dari penurunan indeks volatilitas (VIX) ke level terendah sebelum virus corona menyerang dunia.
VIX dianggap sebagai indikator ketakutan (fear index), ketika angkanya menurun artinya ketakutan pelaku pasar semakin berkurang. Sementara ketika posisinya menanjak, akan mencerminkan para investor semakin takut untuk berinvestasi dan cenderung menghindari aset-aset berisiko.
Melansir data Refinitiv, VIX sepanjang pekan lalu turun 3,7% ke 16,69, level tersebut merupakan yang terendah sejak pertengahan Februari lalu. Seperti diketahui virus corona dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020. Saat itu indeks VIX yang berada di bawah level 20, langsung meroket hingga ke atas 85.
Pada bulan Maret tahun lalu terjadi aksi jual masif di pasar obligasi global setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, di saat yang sama VIX meroket naik. Wall Street, bursa saham Eropa, hingga bursa Asia termasuk IHSG mengalami aksi jual.
Artinya, kenaikan VIX mencerminkan ketakutan pelaku pasar terhadap Covid-19. VIX kini sudah kembali ke bawah 20, atau level sebelum Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi, Sehingga menjadi indikasi pelaku pasar sudah tidak takut akan Covid-19.
Pemulihan ekonomi AS yang diramal lebih cepat dari prediksi, stimulus moneter dan fiskal pemerintah, serta vaksinasi yang dilakukan dengan cepat membuat investor semakin pede masuk ke aset-aset berisiko.
Penurunan VIX, tersebut tentunya akan menguntungkan bagi IHSG.
Apalagi Kementerian Keuangan optimis perekonomian Indonesia akan tumbuh signifikan di kuartal II-2021. Pertumbuhan bahkan mencapai 8% setelah tahun lalu terkontraksi -5,32%
Kepala Pusat Kebijakan Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Hidayat Amir mengatakan, pertumbuhan tinggi ini sejalan dengan akselerasi perbaikan perekonomian yang semakin terlihat pada kuartal II mendatang.
"Kuartal II kami yakin pemulihan bisa diakselerasi ke pertumbuhan 7% - 8%," ujarnya dalam webinar virtual Kemenkeu, Kamis (8/4/2021).
Dengan perbaikan ini, maka ia melihat bahwa target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah sekitar 4,3%-5,3% sangat realistis untuk bisa tercapai.
Sementara itu indeks dolar AS serta yield Treasury yang merosot pada pekan lalu gagal dimanfaatkan rupiah untuk menguat. Artinya rupiah sedang dalam tekanan yang cukup besar. Penyebabnya, capital outflow yang terjadi dari dalam negeri, bagi dari pasar saham maupun obligasi.
Pergerakan indeks dolar AS serta yield Treasury AS akan tetap menjadi perhatian yang bisa menggerakkan rupiah, serta SBN. Penurunan VIX juga bisa memberikan dampak positif bagi rupiah, sebab ketika investor asing berpeluang mengalirkan investasinya ke negara emerging market dengan imbal hasil yang tinggi seperti Indonesia.
Selain itu dari dalam negeri hari ini akan dirilis data penjualan ritel Indonesia bulan Februari yang bisa menunjukkan seberapa cepat roda bisnis mulai berputar kembali.
Hingga bulan Januari, penjualan ritel sudah negatif selama 14 bulan beruntun, secara year-on-year (YoY). Pada bulan Februari lalu penjualan ritel anjlok 16,4%.
Bank Indonesia (BI) memprediksi penjualan ritel Indonesia masih akan mengalami kontraksi di bulan Februari, bahkan sedikit lebih parah, 16,5%.
"Penjualan eceran sejumlah komoditas seperti Sandang, Barang Budaya dan Rekreasi, Suku Cadang dan Aksesori, serta Peralatan Informasi dan Komunikasi terindikasi membaik, meski masih kontraksi," tulis keterangan BI pada Maret lalu.
Kontraksi penjualan ritel Indonesia tentunya bisa memberikan sentimen negatif bagi pasar keuangan dalam negeri.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data indeks harga produsen Jepang bulan Maret (6:50 WIB)
- Rilis data penjualan ritel Indonesia bulan Februari (10.00 WIB)
- Rilis data penjualan ritel Prancis bulan Februari (16.00 WIB)
- Rilis data penjualan ritel zona euro bulan Februari (16.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA