Newsletter

Hii..'Hantu' Yield Treasury Gentayangan Lagi, IHSG Hati-Hati!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 March 2021 06:09
Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia akhirnya kompak menguat pada perdagangan Rabu kemarin berkat sentimen positif datang dari dalam dan luar negeri. Namun, pada perdagangan hari ini, Kamis (4/3/2021) ceritanya sedikit berbeda, sebab sentimen negatif datang dari luar negeri.

Yield obligasi AS (Treasury) kembali menanjak yang berisiko membuat aset-aset berisiko rontok. Kenaikan yield obligasi di berbagai negara, serta perlawanan dari bank sentral akan dibahas pada halaman 3 dan 4. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,27% ke 6376,757, meski sebelumnya sempat terperosok ke zona merah.

Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi beli bersih senilai US$ 356 miliar di pasar reguler, dengan nilai transkasi mencapai 12,8 triliun.

IHSG mendapat sentimen positif setelah sehari sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan relaksasi pembebasan pajak penghasilan (PPh) atas dividen yang diterima wajib pajak.

Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Tujuan implementasi aturan ini adalah untuk mendorong investasi di pasar keuangan maupun sektor riil.

Sementara itu, nilai tukar rupiah akhirnya membukukan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah melemah dalam 3 hari beruntun dan menyentuh level terlemah dalam 4 bulan terakhir. Rupiah kemarin mengakhiri perdagangan di level Rp 14.240/US$, menguat 0,42% di pasar spot.

Dolar AS tertekan akibat ekspektasi cairnya stimulus fiskal dalam waktu dekat.

Rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal US$ 1,9 triliun sudah disetujui oleh House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) AS dan saat ini berada di Senat. Partai Demokrat di Senat berusaha meloloskan RUU tersebut pada pekan depan dan diserahkan ke Presiden Joseph 'Joe' Biden agar ditandatangani sebelum tanggal 14 Maret, saat stimulus fiskal yang ada saat ini berakhir.

Ekspektasi cairnya stimulus fiskal tersebut membuat indeks dolar AS melemah pada perdagangan Selasa, dan mengakhiri penguatan 3 hari beruntun.

Saat stimulus fiskal cair, jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.

Dari pasar obligasi, harga Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas menguat. Hal tersebut tercermin dari penurunan yield-nya. Melansir data Refinitiv, hanya yield SBN tenor 15 dan 30 tahun yang mengalami kenaikan, yang lainnya turun.

Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun artinya harga obligasi sedang naik, sebaliknya ketika yield turun, harganya mengalami kenaikan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Yield Treasury Naik Lagi, Wall Street Terpukul

Bursa saham AS (Wall Street) berbalik melemah pada perdagangan Rabu kemarin setelah melesat hari sebelumnya. Yield Treasury yang kembali naik, serta data tenaga kerja yang mengecewakan membuat Wall Street terpukul.

Melansir data Refinitiv, indeks Dow Jones melemah 0,39% ke 31.270,09, S&P 500 merosot 1,3% ke 3,819,72, dan Nasdaq jeblok 2,7% ke 12.997,75.

"Secara umum, beli di kala koreksi masih ada dan dijalankan... Meski ada goncangan beberapa hari ini tetapi indeks S&P 500 telah meroket 1,55% sepanjang pekan ini didominasi saham yang diuntungkan dari pembukaan ekonomi," tutur Jim Paulsen, Kepala Perencana Investasi Leuthold Group, sebagaimana dikutip CNBC International, Rabu (3/3/2021)

Yield Treasury AS tenor 10 tahun kembali naik, setelah turun 3 hari beruntun. Bahkan kemarin sempat nyaris menyentuh level 1,5% lagi.

Banyak analis melihat kenaikan yield Treasury masih akan tertahan di kisaran 1,5%, sebab jika terus menanjak, maka akan memicu kecemasan terjadi taper tantrum yang dapat memicu gejolak di pasar keuangan global.

"Yield sangat menentukan. Di kisaran 1,5%, yield obligasi bisa kompetitif dibandingkan dividend yield di pasar saham. Ingat, tidak ada risiko di obligasi, uang Anda kembali 100%," kata Peter Tuz, Presiden Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Sementara itu laporan dari Automatic Data Processing Inc. (ADP) kemarin menunjukkan sektor swasta AS hanya merekrut 117.000 tenaga kerja. Ekonom dalam polling Dow Jones sebelumnya memprediksi angka 225.000 pada Februari, atau naik dari posisi Januari (174.000).

Data dari ADP biasanya dijadikan acuan rilis data tenaga kerja AS pada Jumat nanti, sehingga bisa jadi pasar tenaga kerja AS laju pemulihannya mulai melambat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Wall Street yang kembali merosot tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar Asia hari ini, termasuk ke IHSG. Apalagi kemerosotan Wall Street terjadi akibat naiknya yield Treasury.

Yield Treasury menjadi hantu yang menggentayangi pasar finansial global sejak pekan lalu. Yield Treasury AS tenor 10 tahun kemarin naik 5,54 basis poin ke 1,4704%, sebelumnya bahkan sempat menyentuh level 1,498%.

Posisi yield ini masih berada di level tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.

Pada pekan lalu, yield Treasury tenor 10 tahun ini bahkan mencapai 1,6%. Pelaku pasar melihat prospek membaiknya perekonomian AS serta risiko kenaikan inflasi, sehingga memicu aksi lepas Treasury AS yang membuat yield-nya naik. Maklum saja, ketika inflasi menanjak maka return riil dari Treasury bisa negatif semakin dalam. Inflasi yang dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) saat ini berada di level 1,5%.

Terus menanjaknya yield Treasury yang dilatarbelakangi prospek pemulihan ekonomi dan kenaikan inflasi, membuat pasar keuangan global kembali dihantui oleh tapering (pengurangan program pembelian aset atau quantitative easing The Fed) yang dapat memicu taper tantrum.

"Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul," kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021)

Sejalan dengan kenaikan yield Treasury, indeks volatilitas (VIX) juga melesat lebih dari 10% pada perdagangan Rabu kemarin ke 26,67. Indeks ini juga disebut sebagai indeks ketakutan, semakin tinggi nilainya, artinya pasar semakin takut masuk ke aset-aset berisiko.

Dalam beberapa hari sebelumnya, saat yield Treasury turun VIX juga menurun. Artinya yield Treasury saat ini menjadi sumber ketakutan utama pelaku pasar.

Jika ketakutan tersebut menjalar ke Asia, maka IHSG berisiko tertekan, begitu juga rupiah. SBN juga akan tertekan akibat kenaikan yield Treasury.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Bank Sentral Beraksi Demi Redam Treasury

Investor maupun para ekonom memperkirakan The Fed akan merubah kebijakannya di bulan ini guna meredam gejolak di pasar obligasi. Ketua The Fed, Jerome Powell, pada rapat kebijakan moneter 16 - 17 Maret waktu setempat diperkirakan akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

The Fed sudah 2 kali menjalankan Operation Twist, pada 2011 dan 1961. CNBC International melaporkan pelaku pasar yang mengetahui perihal operasi tersebut mengatakan jika The Fed sudah menghubungi dealer-dealer utama untuk menjalankan operasi tersebut.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Cabana menyebut Operation Twist "membunuh tiga burung dengan satu batu". Yang pertama menaikkan yield jangka pendek, kemudian stabilitas yield jangka panjang, serta tidak akan menaikkan balance sheet.

Kenaikan yield Treasury juga memicu kenaikan yield obligasi negara-negara lainnya, termasuk di Eropa. Yield obligasi tenor 10 tahun Jerman misalnya, meski masih negatif tetapi sudah berada di level tertinggi dalam satu tahun terakhir.

Oleh karena itu, Gubernur bank sentral Jerman (Bundesbank) mengatakan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) bisa jadi akan mengubah kebijakannya guna meredam kenaikan yield obligasi.

Sama dengan The Fed, ECB saat ini menerapkan QE yang disebut Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP). Dengan program tersebut, yield obligasi akan ditahan di level rendah. Tetapi belakangan ini yield tersebut ikut menanjak mengikuti Treasury.

Para anggota dewan ECB pada akhir Februari lalu sudah membahas kenaikan yield yang disebut "tidak diinginkan dan harus dilawan". Sebab jika yield obligasi terus naik, maka biaya pinjaman juga akan menanjak dan berisiko menghambat laju pemulihan ekonomi.

"Kita punya cara untuk melawan ini (kenaikan yield)," kata Jens Weidmann, Gubernur Bundesbank yang juga anggota dewan ECB, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (4/3/2021).

"PEPP memiliki fleksibilitas dan kita bisa menggunakannya untuk bereaksi terhadap situasi semacam ini," tambahnya.

Sejak dirilis pada Maret 2020, PEPP sudah diperpanjang secara durasi maupun kuantitas. PEPP saat ini akan berlangsung hingga Maret 2022, dengan total nilainya mencapai 1,85 triliun euro (US$ 2,23 triliun).

Weidmann mengatakan salah satu langkah yang bisa diambil ECB adalah menambah nilai QE guna meredam kenaikan yield, tetapi langkah pertama yang dilakukan adalah menganalisa akar penyebab kenaikan tersebut, dan bagimana dampaknya terhadap stabilitas harga yang merupakan target ECB.

ECB akan mengumumkan kebijakan moneter pada 11 Maret mendatang atau sepekan sebelum The Fed.

Kebijakan bank sentral guna meredam kenaikan yield obligasi tersebut tentunya menjadi perhatian utama pelaku pasar dalam beberapa pekan ke depan. Saat The Fed diisukan akan melancarkan Operation Twist, yield Treasury langsung menurun 3 hari beruntun sebelum naik lagi kemarin.

Artinya, pasar akan menyambut baik langkah bank sentral dalam menurunkan yield obligasi.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini.

  • Data Neraca Dagang dan Penjualan Ritel Australia (7:30 WIB)
  • Data Sentimen Konsumen Jepang (12:00 WIB)
  • Data Penjualan Ritel dan Tingkat Pengangguran Zona Euro (17:00 WIB)
  • Data Klaim Tunjangan Pengangguran AS (20:30 WIB)
  • Data Pesanan Pabrik AS (22:00 WIB)


(pap/pap) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular