Newsletter

Hii..'Hantu' Yield Treasury Gentayangan Lagi, IHSG Hati-Hati!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 March 2021 06:09
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Steven Senne)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Steven Senne)

Investor maupun para ekonom memperkirakan The Fed akan merubah kebijakannya di bulan ini guna meredam gejolak di pasar obligasi. Ketua The Fed, Jerome Powell, pada rapat kebijakan moneter 16 - 17 Maret waktu setempat diperkirakan akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

The Fed sudah 2 kali menjalankan Operation Twist, pada 2011 dan 1961. CNBC International melaporkan pelaku pasar yang mengetahui perihal operasi tersebut mengatakan jika The Fed sudah menghubungi dealer-dealer utama untuk menjalankan operasi tersebut.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Cabana menyebut Operation Twist "membunuh tiga burung dengan satu batu". Yang pertama menaikkan yield jangka pendek, kemudian stabilitas yield jangka panjang, serta tidak akan menaikkan balance sheet.

Kenaikan yield Treasury juga memicu kenaikan yield obligasi negara-negara lainnya, termasuk di Eropa. Yield obligasi tenor 10 tahun Jerman misalnya, meski masih negatif tetapi sudah berada di level tertinggi dalam satu tahun terakhir.

Oleh karena itu, Gubernur bank sentral Jerman (Bundesbank) mengatakan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) bisa jadi akan mengubah kebijakannya guna meredam kenaikan yield obligasi.

Sama dengan The Fed, ECB saat ini menerapkan QE yang disebut Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP). Dengan program tersebut, yield obligasi akan ditahan di level rendah. Tetapi belakangan ini yield tersebut ikut menanjak mengikuti Treasury.

Para anggota dewan ECB pada akhir Februari lalu sudah membahas kenaikan yield yang disebut "tidak diinginkan dan harus dilawan". Sebab jika yield obligasi terus naik, maka biaya pinjaman juga akan menanjak dan berisiko menghambat laju pemulihan ekonomi.

"Kita punya cara untuk melawan ini (kenaikan yield)," kata Jens Weidmann, Gubernur Bundesbank yang juga anggota dewan ECB, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (4/3/2021).

"PEPP memiliki fleksibilitas dan kita bisa menggunakannya untuk bereaksi terhadap situasi semacam ini," tambahnya.

Sejak dirilis pada Maret 2020, PEPP sudah diperpanjang secara durasi maupun kuantitas. PEPP saat ini akan berlangsung hingga Maret 2022, dengan total nilainya mencapai 1,85 triliun euro (US$ 2,23 triliun).

Weidmann mengatakan salah satu langkah yang bisa diambil ECB adalah menambah nilai QE guna meredam kenaikan yield, tetapi langkah pertama yang dilakukan adalah menganalisa akar penyebab kenaikan tersebut, dan bagimana dampaknya terhadap stabilitas harga yang merupakan target ECB.

ECB akan mengumumkan kebijakan moneter pada 11 Maret mendatang atau sepekan sebelum The Fed.

Kebijakan bank sentral guna meredam kenaikan yield obligasi tersebut tentunya menjadi perhatian utama pelaku pasar dalam beberapa pekan ke depan. Saat The Fed diisukan akan melancarkan Operation Twist, yield Treasury langsung menurun 3 hari beruntun sebelum naik lagi kemarin.

Artinya, pasar akan menyambut baik langkah bank sentral dalam menurunkan yield obligasi.

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular