Newsletter

Data Ekonomi Belum Mendukung, IHSG Masih "Deg-deg Plas"

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 February 2021 06:43
Presiden Jokowi Tutup Perdagangan Bursa 2017
Foto: CNBC Indonesia/Tri Susilo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia bergerak penuh tekanan sepanjang pekan lalu, dengan koreksi hebat di bursa saham dan penguatan di obligasi. Pada hari ini, volatilitas masih tinggi menyusul minim-nya harapan ada sinyal pemulihan yang terlihat dari rilis dua data indikator perekonomian.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok, kurs rupiah stagnan, sementara harga obligasi pemerintah naik. Kombinasi tiga hal itu menunjukkan bahwa pelaku pasar lagi konservatif dengan melepas aset berisiko tinggi seperti saham dan memburu aset aman seperti Surat Berharga Negara (SBN).

Sepanjang pekan lalu, IHSG rontok 7,05% ke 5.862,352, memperpanjang koreksi beruntunnya menjadi 7 hari sejak Kamis (21/1/2021). Seluruh indeks saham utama Asia juga terkoreksi dalam pekan ini, tetapi koreksi IHSG menjadi yang terparah.

Nilai transaksi perdagangan mencapai Rp 86,4 triliun, sebanyak 89 miliar saham berpindah tangan 6,7 juta kali. Investor asing mencetak jual bersih (net sell) sebesar Rp 347.9 miliar. Net sell pada Jumat saja (26/1/2021) mencapai Rp 812,15 miliar.

Di sisi lain, harga obligasi pemerintah menguat, yang terlihat dari koreksi imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun, yang menjadi acuan harga di pasar. Surat utang berkode FR0082 tersebut mencetak penurunan yield sebesar 3,4 basis poin (bp) menjadi 6,288%.

Investor memburu aset investasi minim risiko tersebut setelah Indonesia mencetak kasus positif Covid-19 yang mencapai angka psikologis 1 juta sejak Kamis pekan lalu. Hal ini menunjukkan bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) belum efektif mengatasi pandemi.

Di tengah kondisi itu, rupiah cenderung bergerak menyamping menyusul masuknya arus modal asing ke pasar obligasi pemerintah. Pada 22 Januari 2021, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 980,57 triliun dan naik menjadi Rp 985,38 triliun per 28 Januari 2021.

Pasar saham Amerika Serikat (AS) pun menghadapi gejolak pada pekan lalu, yang berpeluang kembali berlangsung pada pekan ini. Indeks S&P 500 anjlok 3,3% dalam sepekan menjadi 3.714. Sepanjang Januari, indeks utama bursa AS tersebut terhitung melemah 1,1%.

Pemicunya adalah perlawanan investor ritel untuk memukul para pelaku short selling yang kerap kali merugikan mereka pada masa sebelumnya. Kali ini, mereka bersatu mengangkat harga saham yang menjadi tujuan short selling para "bandar besar" itu.

Short selling adalah transaksi di mana investor melakukan penjualan suatu saham tanpa memiliki sahamnya terlebih dahulu. Dia meminjam saham dari sekuritas untuk menjualnya, dengan harapan ketika sahamnya ambruk ke depan, dia dapat membelinya kembali di harga murah dan mengembalikan pinjamannya ke sekuritas dengan keuntungan.

Saham yang locus delicti adalah GameStop, emiten grosir game yang menghadapi tantangan di tengah pandemi dan tren belanja digital. Saham tersebut sempat tembus US$ 483 per unit pada 28 Januari, melesat hingga 13.000% dari posisi terendahnya tahun lalu.

Investor kini khawatir jika GameStop terus naik, para pemilik dana (hedge funds) yang jadi korban bisa dipaksa menjual portofolionya di saham lain untuk mendulang dana dan memicu koreksi besar. Secara bersamaan, GameStop dikhawatirkan menjadi sinyal bahwa pasar telah membentuk gelembung, di mana harga saham terlalu mahal melampaui valuasi.

Untuk mendapatkan alasan beli, investor kini bertumpu pada rilis kinerja emiten unggulan, seperti Amazon, Nintendo, dan Alphabet (induk usaha Google).

Pagi ini, kontrak berjangka (futures) indeks bursa AS cenderung tertekan. Kontrak futures indeks Dow Jones Industrial Average drop 107 poin, mengindikasikan bahwa indeks bursa tersebut bakal dibuka melemah 109 poin. Sementara itu, kontrak serupa indeks S&P 500 dan Nasdaq terkapar masing-masing sebesar -0,5% dan -0,8%.

Hari ini, pasar akan mencermati dua data penting yang akan dirilis. Pertama, inflasi Januari 2021 yang akan menjadi indikator pulihnya atau terjaganya daya beli masyarakat. Kedua, data Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) sektor manufaktur per Januari.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/ MtM) bakal di angka 0,34%. Sementara itu, inflasi tahunan (year-on-year/ YoY) ada di 1,65%. Kemudian, inflasi inti secara tahunan diperkirakan 1,53%.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan secara umum terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan III, inflasi Januari 2021 diperkirakan 0,37% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini membuat inflasi tahunan menjadi 1,67%.

"Penyumbang utama inflasi yaitu cabai rawit sebesar 0,1% (MtM), tempe dan tahu masing-masing sebesar 0,03%, cabai merah dan tarif angkutan antar-kota masing-masing sebesar 0,02%, daging ayam ras, ikan kembung, kacang panjang, bayam, kangkung, ikan tongkol, daging sapi, emas perhiasan, nasi dengan lauk dan tarif angkutan udara masing-masing sebesar 0,01%," papar keterangan tertulis BI.

Di luar itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0,05% dan bawang merah sebesar -0,01% Jika sesuai dengan ekspektasi pasar, maka laju inflasi Tanah Air melambat. Pada Desember 2020, inflasi MtM adalah 0,45%, YoY 1,68%, dan inflasi inti 1,6% YoY.

Perlambatan laju inflasi ini bukanlah kabar bagus, karena menandakan permintaan masyarakat masih lemah. Lebih-lebih kalau melihat inflasi inti, yang merupakan indikator kekuatan daya beli. Inflasi inti kini mencapai titik terendah sejak BPS melaporkan data ini pada 2004.

Pemicunya tak lain adalah pandemi yang memaksa berlakunya pembatasan kegiatan masyarakat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah di Jawa-Bali. Sedianya PPKM berakhir pada 25 Januari 2021, tetapi kemudian diperpanjang dua pekan lagi.

Selain itu, PMI) manufaktur Indonesia juga akan dirilis, berbarengan dengan rilis PMI berbagai negara pada 1 Februari 2021. PMI adalah salah satu indikator awal (leading indicator) yang sering digunakan untuk membaca arah perekonomian ke depan.

Rata-rata PMI manufaktur global pada 2020 adalah 49,17. Artinya, pengusaha masih 'tiarap', masih kontraksi. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka berarti dunia usaha berada di fase ekspansi sehingga ekonomi akan bergeliat.

Di Indonesia, angka PMI menurut proyeksi Trading Economics bakal berada di level 51, atau sedikit melemah dari capaian sebulan sebelumnya pada angka 51,3. Ekspansi yang sedang terjadi cenderung tertekan karena PPKM yang berlarut-larut dan tak efektif.

Pasar pun menanti suntikan sentimen positif dari luar negeri. Sayangnya, kabar negatif masih dominan seperti misalnya kabar bahwa anggota Senat AS mengirim surat ke Presiden AS Joe Biden untuk menurunkan nilai stimulus yang diajukannya (US$ 1,9 miliar), agar tak menekan anggaran negara.

Padahal, stimulus sempat digadang-gadang menjadi penyelamat jangka pendek perekonomian AS yang bisa berdampak positif juga ke perekonomian dunia, berkat efek bergulirnya (multiplier effect).

Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • PMI Manufaktur India per Januari versi Markit (05:00 WIB)
  • PMI Manufaktur Rusia per Januari versi Markit (06:00 WIB)
  • PMI Manufaktur Uni Eropa per Januari versi Markit (09:00 WIB)
  • Inflasi Indonesia per Januari (11:00 WIB)
  • PMI Manufaktur Indonesia per Januari versi Markit (12:30 WIB)
  • PMI Manufaktur Jepang per Januari versi Jibun Bank(12:30 WIB)
  • PMI Manufaktur Korea Selatan per Januari versi Markit (12:30 WIB)
  • PMI Manufaktur Amerika Serikat per Januari versi Markit dan ISM (14:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Data dan Indikator Ekonomi Makro

Satuan

Nilai

Pertumbuhan Ekonomi Q320

% yoy

-3.49

Inflasi 2020

% yoy

1.68

BI 7 Day Reverse Repo Rate Januari 2021

%

3.75

Surplus/Defisit Anggaran 2020

% PDB

-6.34

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan Q320

% PDB

0.36

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia Q30

US$ Miliar

2.05

Cadangan Devisa November 2020

US$ Miliar

135.9

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Risiko Tapering Hilang, Hantu Inflasi & Lockdown Membayang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular