Newsletter

China "Boom", Bisa Bawa IHSG Terbang Tinggi Lagi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 January 2021 06:11
roket Long March-5
Foto: Roket Long March-5 (Zhang Gaoxiang/Xinhua via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bervariasi pada pekan kedua 2021 saat berbagai sentimen positif datang dari dalam dan luar negeri. Sentimen-sentimen tersebut mulai dari vaksinasi massal yang resmi dilakukan di Indonesia, hingga rencana stimulus fiskal jumbo di AS masih akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan Indonesia pada hari ini, Senin (18/1/2020), serta China "boom" yang akan dibahas pada halaman 3.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu membukukan penguatan 2 pekan beruntun, sementara rupiah masuk ke zona merah.

Melansir data Refinitiv IHSG membukukan penguatan 1,85% ke 6.373,41, setelah sebelumnya sempat mendekati level 6.500.

Data perdagangan mencatat pelaku pasar melakukan aksi beli bersih Rp 4,89 triliun, jika ditambah dengan pasar nego dan tuan totalnya nyaris Rp 8 triliun. Nilai transaksi dalam 5 hari perdagangan tercatat sebesar Rp 125 triliun, bahkan pada hari Kamis (14/1/2021) nilai transaksi harian bahkan mencetak rekor terbesar Rp 28,23 triliun.

Sementara itu rupiah di pekan ini justru melemah 0,21% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.010/US$. Tetapi pelemahan tersebut tidak terlalu buruk, mengingat sebelumnya rupiah sempat menyentuh level Rp 14.200/US$.

Dari pasar obligasi, mayoritas mengalami pelemahan, yang tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN).

Hanya SBN tenor 15 dan 25 tahun yang mengalami penguatan, dengan yield masing-masing turun 3,1 basis poin (bps) dan 2,9 bps menjadi 6,181% dan 7,276%.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, saat harga turun maka yield akan naik, begitu juga sebaliknya.

Meski banyak sentimen positif, tetapi rupiah dan mayoritas obligasi Indonesia mengalami pelemahan. Sebabnya, dolar AS yang rebound dari level terendah nyaris 3 tahun terakhir, yang dipicu oleh kenaikan yield obligasi (Treasury) AS.

Yield Treasury tenor 10 tahun misalnya, dua pekan lalu melesat 19,5 bps, sementara pekan lalu sempat naik 8 bps ke 1,187%, yang merupakan level tertinggi sejak Maret tahun lalu, atau persis saat penyakit akibat virus corona dinyatakan sebagai pandemi.

Artinya, yield Treasury AS kini nyaris mencapai level sebelum pandemi. 

Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisihnya dengan yield SBN semakin menipis, yang memberikan tekanan bagi obligasi Indonesia.

Selain sentimen positif seperti yang disebutkan di atas, kabar baik juga datang dari neraca perdagangan Indonesia.

Sementara itu dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca dagang di Desember 2020 mengalami surplus sebesar US$ 2,1 miliar. Dengan demikian, neraca dagang Indonesia sudah mencetak surplus dalam 8 bulan beruntun.

BPS melaporkan nilai ekspor tercatat US$ 16,54 miliar, tumbuh 14,63% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

Sementara untuk impor, pada Desember 2020 sebesar US$ 14,44 miliar atau turun tipis 0,47%.

Dengan surplus neraca dagang yang diumumkan BPS, maka transaksi berjalan (current account) Indonesia kemungkinan besar akan surplus juga di kuartal IV-2020.

Sepanjang kuartal III-2020 surplus neraca dagang tercatat sebesar US$ 7,98 miliar, saat itu transaksi berjalan mampu surplus US$ 956,16 juta atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Surplus transaksi berjalan tersebut merupakan yang pertama kali sejak tahun 2011 lalu. Artinya sebelumnya selalu mencatat defisit.

Sementara dengan rilis BPS hari ini, surplus neraca dagang di kuartal IV-2020 mencapai US$ 8,38 miliar, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya. Sehingga transaksi berjalan berpeluang besar masih surplus di 3 bulan terakhir 2020.

Hal tersebut tentunya menjadi sentimen positif bagi rupiah, sebab transaksi berjalan mencerminkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang ketimbang aliran modal asing di sektor keuangan (hot money) yang sangat mudah datang dan pergi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Terkoreksi dari Rekor Tertinggi Sepanjang Masa

Bursa saham AS (Wall Street) terkoreksi dari rekor tertinggi sepanjang masa pada pekan lalu, padahal Presiden terpilih Joseph 'Joe' Biden sudah mengumumkan rencana stimulus fiskal dengan nilai jumbo.

Melansir data Refinitiv, indeks S&P 500 sepanjang pekan lalu merosot 1,48% ke 3.768,25, turun dari rekor tertinggi sepanjang masa 3.826,69, yang dicapai pada 8 Januari lalu. Indeks Dow Jones juga menjauhi rekor yang dicapai 2 minggu lalu, setelah melemah 0,91% ke 30.814,26 pada pekan kedua Januari 2021.

Hal yang sama juga terjadi pada indeks saham teknologi, Nasdaq, pada pekan lalu merosot 1,54% ke 12.998,502, sedikit menjauh dari rekornya 13.208,09.

Kabar yang dinanti-nanti oleh berbagai pihak di AS akhirnya muncul pada Kamis lalu. Presiden terpilih Joe Biden mengumumkan rencana stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan Pemerintah AS bulan Maret 2020 di bawah Donald Trump, yang harus lengser dari jabatannya setelah kalah dalam pemilihan presiden.

Meski demikian, pengumuman dari Biden tersebut belum sanggup mendorong kenaikan Wall Street lebih lanjut. Maklum saja, kiblat bursa saham dunia ini berada di rekor tertinggi sepanjang masa, di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang sedang mengganas lagi.

Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan Biden lebih kecil dari rencana stimulus US$ 2,2 triliun yang pernah diajukan Partai Demokrat pada tahun lalu.

Selain itu, sentimen negatif datang dari kisruh politik di AS. Presiden AS, Donald Trump, dimakzulkan oleh House of Representative (DPR) AS Rabu kemarin, seminggu sebelum lengser dari jabatannya. Trump disebut telah melakukan penghasutan ke massa pendukungnya yang berbuntut pada penyerangan gedung parlemen Capitol Hill. Hal tersebut terjadi 6 Januari lalu, setelah demo besar simpatisan Trump di Washington AS.

Ini merupakan kali kedua Trump dimakzulkan oleh DPR setelah tahun 2019 lalu, dan menjadi presiden AS pertama yang mengalami hal tersebut.

Meski demikian pemakzulan tersebut tidak akan terjadi sebab, Senat AS yang dikuasai Partai Republik kemungkinan tidak akan menyetujui hal tersebut. AS menganut sistem dua kamar, sehingga sidang pemakzulan tak hanya mendapat persetujuan DPR tapi juga Senat dan sebaliknya.

Namun tetap saja dinamika politik yang terjadi di AS membuat Wall Street kesulitan melanjutkan reli.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Seperti disebutkan pada halaman sebelumnya, vaksinasi yang sudah dimulai di Indonesia, serta stimulus fiskal dari Joe Biden menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan dalam negeri, dan kemungkinan masih berdampak di awal pekan ini.

Vaksinasi massal di Indonesia sudah resmi dimulai Rabu (13/1/2021). Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Warga Negara Indonesia pertama yang mendapat suntikan vaksin CoronaVac buatan perusahaan farmasi asal China, Sinovac.

Meski prosesnya akan memakan waktu yang cukup panjang untuk agar vaksinasi di seluruh Indonesia selesai, tetapi harapan akan hidup berangsur-angsur normal kembali, dan perekonomian bisa bangkit kembali.

Vaksinasi dikatakan menjadi salah satu kunci penguatan mata uang emerging market (EM) di tahun 2021.

Reuters melakukan survei terhadap 50 ahli strategi mata uang pada periode 4 - 7 Januari, hasilnya mata uang negara berkembang yang beberapa bulan terakhir menguat diramal akan melanjutkan penguatan di 2021.

Sebanyak 38 orang ahli strategi yang disurvei mengatakan yield yang tinggi, serta program vaksinasi yang sukses akan menjadi pemicu utama penguatan mata uang EM. Sementara 10 orang, melihat pemulihan ekonomi domestik sebagai pendorong utama.

Rupiah memiliki 3 hal yang disebutkan tersebut untuk menguat di tahun ini. Vaksinasi sudah resmi dimulai Rabu kemarin.

Kemudian yield atau imbal hasil obligasi Indonesia masih lebih tinggi ketimbang negara-negara EM lainnnya. Yield tenor 10 tahun misalnya masih di kisaran 6,2%, dengan inflasi sekitar 1,6% YoY, maka real yield yang dihasilkan sekitar 4,6%. Real yield Indonesia hanya kalah dari Afrika Selatan sekitar 5,5%.


Terakhir dari segi pemulihan ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) berikan pandangan positif untuk ekonomi Indonesia 2021. Perkiraan pertumbuhan Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia tahun 2021 berada di 4,8% lebih besar 40 basis poin (bps) ketimbang perkiraan IMF sebelumnya di 4,4%. Tahun 2022, ekonomi Indonesia bahkan diprediksi tumbuh 6%.

Artinya, rupiah punya modal bagus untuk menguat di 2021. Penguatan rupiah, atau tepatnya stabilitas nilai tukar rupiah akan membuat investor asing lebih nyaman berinvestasi di dalam negeri, sebab kerugian akibat kurs bisa diminimalisir. Sehingga stabilitas rupiah bisa menopang penguatan IHSG.

Sementara itu stimulus fiskal dari senilai US$ 1,9 triliun juga bisa berdampak positif, mengingat pada pekan lalu belum banyak direspon.

Dengan tambahan stimulus fiskal, maka jumlah uang yang beredar di AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah.

Pada bulan Maret 2020, dolar AS begitu perkasa, rupiah bahkan sempat ambrol ke level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Namun, AS saat itu menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun guna menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan menyelamatkan perekonomian AS.

Setelahnya nilai tukar dolar AS terus merosot. Efek yang sama kemungkinan akan muncul saat stimulus US$ 1,9 triliun yang dijanjikan Joe Biden cair.

Efek ke pasar saham bahkan lebih "dahsyat" lagi. Stimulus fiskal jilid I di AS senilai US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu menjadi salah satu kunci bangkitnya bursa saham AS dari keterpurukan, bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa berkali-kali. Bangkitnya bursa saham AS jua turut mengerek bursa saham lainnya, termasuk IHSG.

Dengan demikian, ke depannya outlook IHSG masih cerah.

Stimulus fiskal juga bisa menekan yield Treasury AS turun lagi, sehingga selisih yield akan kembali melebar, sehingga aliran modal bisa masuk lagi ke pasar obligasi.

Sementara itu, pada hari ini China akan menjadi perhatian utama, sebab akan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2020. Hasil survei Reuters menunjukkan produk Domestik Bruto (PDB) China kuartal IV-2020 tumbuh 6,1% YoY, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya 4,9%. 

Saat negara-negara lain masuk ke jurang resesi, China berhasil lolos, sebab produk domestik bruto (PDB) hanya sekali mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 6,8% di kuartal I-2020. Setelahnya, ekonomi China kembali bangkit dan membentuk kurva v-shape.

Tidak hanya itu, ekspor China juga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Di tahun 2020, ekspor China dilaporkan naik 3,6% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 2,6 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Sementara itu, impor hanya turun 1,1% di tahun 2020 lalu. Artinya aktivitas ekonomi China sudah berputar cukup kencang saat negara-negara lain tersendat akibat menghadapi virus corona. 

Roda perekonomian banyak negara masih tersendat-sendat di tahun 2020 lalu, tapi China masih sukses membukukan rekor ekspor. Apalagi ketika perekonomian global mulai pulih setelah adanya vaksinasi massal, besar kemungkinan ekspor China akan kembali meroket. Sehingga di tahun ini diprediksi akan terjadi China "boom" atau meroketnya pertumbuhan ekonomi China, dengan peningkatan ekspansi sektor manufaktur akibat peningkatan ekspor, serta dimulainya vaksinasi massal di berbagai negara.

China memang berperan penting dalam perekonomian dunia. Nilai PDB-nya terbesar kedua di dunia, kemudian China juga merupakan konsumen komoditas terbesar di dunia.  

Saat perekonomiannya menunjukkan pertumbuhan, tentunya akan berdampak pada negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Permintaan akan komoditas juga akan meningkat, termasuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara, yang merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia.

Kenaikan harga komoditas tersebut tentunya bisa mendongkrak kinerja saham emiten-emiten terkait.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Data dan Agenda Berikut

Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis data PDB China kuartal IV-2020 (9:00 WIB)
  • Rilis data investasi aset tetap China (9:00 WIB)
  • Rilis data produksi industri China (9:00 WIB)
  • Rilis data penjualan ritel China (9:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Data dan Indikator Ekonomi Makro

Satuan

Nilai

Pertumbuhan Ekonomi Q320

%yoy

-3.49

Inflasi 2020

%yoy

1.68

BI 7 Day Reverse Repo Rate November 2020

%

3.75

Surplus/Defisit Anggaran 2020

%PDB

-6.34

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan Q320

%PDB

0.36

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia Q30

US$ Miliar

2.05

Cadangan Devisa November 2020

US$ Miliar

135.9

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Seminggu Susut 1,54%! IHSG Nomor 2 Paling Jeblok se-Asia Pasifik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular