Investor Yakin Rupiah akan Terus Menguat, Tapi...

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 January 2021 17:30
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Start rupiah di tahun 2021 cukup menjanjikan, meski tidak impresif. Pada pembukaan perdagangan 2021, Senin pekan lalu, rupiah langsung melesat 1,1%, tetapi setelahnya malah mengendur. Sehingga sepanjang pekan lalu, rupiah berhasil membukukan penguatan 0,43%, sementara di pekan ini melemah 0,21% ke Rp 14.010/US$.

Alhasil, meski mengendur, rupiah masih membukukan kinerja positif dalam 2 pekan pertama tahun ini.

Pelaku pasar saat ini masih memberikan outlook bullish (tren naik) untuk rupiah, tetapi nilainya terus terpangkas. Tidak hanya rupiah, semua mata uang Asia juga masih bullish melawan dolar AS di mata pelaku pasar, tetapi sekali lagi nilainya juga menurun.

Hal tersebut terlihat dari survei terbaru Reuters yang menunjukkan para pelaku pasar masih mengambil posisi beli (long) mata uang Asia. Survei yang dilakukan secara 2 mingguan tersebut melihat posisi yang diambil pelaku pasar terhadap 9 mata uang utama Asia melawan dolar AS.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Hasil survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (14/1/2021), menunjukkan pelaku pasar mengambil posisi long terhadap semua mata uang Asia tersebut, meski nilainya menurun dibandingkan survei sebelumnya.

Nilai posisi untuk rupiah saat ini -0,57%, turun dari hasil survei sebelumnya 0,61%.

Dari 9 mata uang tersebut, yuan China menjadi mata uang favorit pelaku pasar di awal tahun ini, mengalahkan won Korea Selatan yang sebelumnya paling diburu di akhir 2020 lalu.

Indeks dolar AS yang bangkit dari level terendah nyaris 3 tahun terakhir sejak pekan lalu menjadi penyebab menurunnya posisi long tersebut.

Pelaku pasar masih menimbang-nimbang kemana dolar AS akan melangkah di tahun ini. Sebab, ada "bisik-bisik" di pasar jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan memangkas nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di akhir tahun ini, yang berpeluang membuat dolar AS perkasa. Di sisi lain, semakin banyak analis mata uang yang memprediksi dolar AS masih akan melemah hingga 2 tahun ke depan.

Kebangkitan dolar AS tersebut terjadi justru saat semakin banyak "dibuang" atau posisi short (jual) dolar AS yang diambil investor sedang mengalami peningkatan. Reuters melaporkan, berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 5 Januari, posisi net short dolar AS mencapai US$ 30,57 miliar, naik dari pekan sebelumnya US$ 30,40 miliar.

Posisi net short dolar AS sendiri terjadi sejak pertengahan Maret 2020 lalu, yang pada akhirnya membawa indeks dolar AS jeblok. Data dari Refinitiv menunjukkan, sejak pertengahan Maret indeks dolar AS mencapai level puncak di 102,992, sementara posisi akhir tahun 2020 di 89,937, artinya mengalami kemerosotan lebih dari 12%.

Kemerosotan tersebut masih berlanjut hingga Rabu lalu sebelum akhirnya bangkit.

Kini, dengan bangkitnya indeks dolar AS dalam 5 hari terakhir, rilis data net short selanjutnya akan menentukan sentimen terhadap dolar AS. Jika net short kembali meningkat, akan menjadi indikasi dolar AS akan kembali merosot, sentimen pasar masih bearish.

Apalagi, Kamis kemarin Presiden AS terpilih Joseph 'Joe' Biden mengumumkan akan menggelontorkan paket stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.

Dengan tambahan stimulus fiskal, maka jumlah uang yang beredar di AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah.

Pada bulan Maret 2020, dolar AS begitu perkasa, rupiah bahkan sempat ambrol ke level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Namun, AS saat itu menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun guna menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan menyelamatkan perekonomian AS.

Setelahnya nilai tukar dolar AS terus merosot. Efek yang sama kemungkinan akan muncul saat stimulus US$ 1,9 triliun yang dijanjikan Joe Biden cair.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 2021 Jadi Tahunnya Mata Uang Emerging Market

Reuters melakukan survei yang berbeda terhadap 50 ahli strategi mata uang pada periode 4 - 7 Januari, hasilnya mata uang negara berkembang (emerging market/EM) yang beberapa bulan terakhir menguat diramal akan melanjutkan penguatan di 2021.

Andreas Steno Larsen, kepala strategi mata uang global di Nordea mengatakan, Joe Biden yang akan dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari nanti memberikan keuntungan bagi mata uang negara berkembang.

"Biden yang akan menduduki kursi Presiden AS memberikan harapan perang dagang (AS-China) akan berakhir, ditambah dengan vaksinasi maka akan menciptakan kondisi yang nyaman bagi negara berkembang" katanya sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (8/1/2021).

Sebanyak 38 orang ahli strategi yang disurvei mengatakan yield yang tinggi, serta program vaksinasi yang sukses akan menjadi pemicu utama penguatan mata uang EM. Sementara 10 orang, melihat pemulihan ekonomi domestik sebagai pendorong utama.

Rupiah memiliki 3 hal yang disebutkan tersebut untuk menguat di tahun ini. Vaksinasi sudah resmi dimulai Rabu kemarin.

Kemudian yield atau imbal hasil obligasi Indonesia masih lebih tinggi ketimbang negara-negara EM lainnnya. Yield tenor 10 tahun misalnya masih di kisaran 6%, dengan inflasi sekitar 1,6% year-on-year (YoY), maka real yield yang dihasilkan sekitar 4,4%.

Real yield tersebut masih lebih tinggi ketimbang Brasil sebesar 2,7% (yield obligasi tenor 10 tahun 7%, inflasi 4,3%). Kemudian China dengan real yield 3,7%, atau tetangga dekat Malaysia sebesar 4,2%.

Real yield India bahkan negatif 1%, sebab yield obligasi tenor 10 tahun sebesar 5,9% sementara inflasi justru mencapai 6,9% YoY.
Real yield Indonesia hanya kalah dari Afrika Selatan sebesar 5,5%.

Terakhir dari segi pemulihan ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) berikan pandangan positif untuk ekonomi Indonesia 2021. Perkiraan pertumbuhan Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia tahun 2021 berada di 4,8% lebih besar 40 basis poin (bps) ketimbang perkiraan IMF sebelumnya di 4,4%. Tahun 2022, ekonomi Indonesia bahkan diprediksi tumbuh 6%.

Dengan demikian, peluang penguatan rupiah di tahun 2021 terbuka cukup lebar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular