Newsletter

Semua Mata Tertuju ke BI, Adakah Kejutan Suku Bunga Acuan?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
19 November 2020 06:34
BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Hari ini Bank Indonesia (BI) menggelar Rapat Dewan Gubenur (RDG) hari yang kedua dengan agenda utama penentuan suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 4%.

Namun demikian, tak semua ekonom mufakat mengenai itu. Dari 13 ekonom dan analis dalam polling tersebut, ada lima di antaranya yang memperkirakan suku bunga acuan akan diturunkan menjadi 3,75%. Bahkan Bahana Sekuritas menilai suku bunga akan dipangkas menjadi 3,5%.

Artinya, lebih dari sepertiga peserta polling membuka peluang penurunan suku bunga, sesuatu yang saat ini memang dibutuhkan perekonomian agar bisa pulih lebih cepat tahun depan.

Jika kita cermati, ada dua alasan kuat yang sebenarnya memberikan jalan lapang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Pertama, tekanan inflasi yang nyaris tak ada. Inflasi pada Oktober tercatat sebesar 1,44% (secara tahunan) dan 0,07% (secara bulanan), dengan inflasi tahun berjalan sebesar 0,95%.

Pada November, BI memperkirakan inflasi masih terjaga sebesar 1,53% secara tahunan dan 1,17% secara tahun berjalan, dan inflasi bulanan 0,21%. Tidak ada lonjakan harga yang berarti.

Ketika inflasi terjaga, maka tak ada kebutuhan untuk memasang suku bunga acuan tinggi yang dperlukan guna menyerap uang beredar ke sistem perbankan. Pasalnya, saat ini saja dana pihak ketiga (DPK) perbankan sudah melambung, sebesar 12,2%, per September.

Kedua, tekanan rupiah juga sebenarnya mereda dan berpeluang kian surut ketika Amerika Serkat (AS) memiliki presiden baru, yakni Joe Biden yang bakal menggelontorkan stimulus ke perekonomian dan sistem keuangan.

Kemenangan Biden bakal menguntungkan negara emerging market seperti Indonesia, sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan mengendor. Selain itu, stimulus fiskal juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik.

Kubu Demokrat sebelumnya mengajukan stimulus fiskal dengan nilai US$ 2,2 triliun, yang ditolak oleh Partai Republik. Ketika Biden menang, ada peluang stimulus yang lebih besar itu digelontorkan sehingga ada semakin banyak uang yang beredar di perekonomian. Pada gilirannya, dolar AS pun cenderung melemah.

Negara emerging market seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal yang masuk, yang bakal membantu membuat rupiah perkasa. Tren dana masuk ini sudah mulai terjadi sejak awal November. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 3,89% terhadap dolar AS. Bahkan selama tiga bulan ke belakang, penguatannya mencapai lebih dari 4%.

Data transaksi non-residen per 9-12 November menunjukkan investor asing membukukan beli bersih Rp 7,18 triliun. Detilnya, Rp 4,71 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 2,47 triliun di pasar saham.

Ini meningkat dari periode 2-5 November 2020, di mana asing sudah mencetak pembelian bersih sebesar Rp3,81 triliun. Rinciannya, Rp 3,87 triliun di pasar SBN dan jual bersih Rp 0,06 triliun di pasar saham.

Kebutuhan penurunan suku bunga acuan sudah mendesak untuk mendorong perekonomian, dan jalan untuk melakukannya pun kian lapang. Jika kebijakan itu diambil, pelaku pasar pun bakal kian yakin dengan prospek emiten ke depan dan bakal melanjutkan aksi akumulasi saham unggulan.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular