Newsletter

Biden Effect, Pasar Keuangan Indonesia Mau ke Mana?

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
09 November 2020 06:20
Presiden terpilih Joe Biden
Foto: Presiden terpilih Joe Biden berbicara di Wilmington, Del. , Sabtu (7/11/2020). (AP Photo / Andrew Harnik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak menguat pada perdagangan pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah mencatatkan kinerja yang impresif.

Sepanjang pekan ini, IHSG menguat tajam 4,04% secara point-to-point. IHSG berada di posisi kelima jika dibandingkan dengan indeks utama Asia lainnya.

Bursa Asia pada pekan lalu mengalami penguatan yang fantastis, dimana posisi pertama diduduki oleh indeks Hang Seng dari Hong Kong yang menguat 6,66% sepanjang pekan lalu. Sedangkan terendah dipegang oleh indeks Shanghai di China.

Sedangkan, nilai tukar rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) cukup menggembirakan pada pekan lalu, dimana rupiah menguat 2,94% ke level Rp 14.190. Kali ini, rupiah jadi mata uang terbaik di Asia.

Kemudian harga obligasi pemerintah menguat, yang tercermin dari penurunan imbal hasil (yield). Akhir pekan ini, yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun menyentuh 6,385%, terendah sejak Februari 2017.

Sentimen yang membuat pasar keuangan Indonesia sama-sama mencatatkan kinerja yang menggembirakan adalah tentunya dari kabar seputar perhelatan akbar empat tahun sekali di AS yaitu pemilihan umum (presiden).

Pada 3 November lalu, masyarakat AS berpartisipasi dalam pesta demokrasi untuk menentukan siapa layak duduk di kursi presiden AS ke-46 di Gedung Putih. Dan, pada Minggu kemarin (8/11/2020), calon presiden dari Partai Demokrat sekaligus rival petahana Donald Trump, yakni Joseph 'Joe' Biden akhirnya keluar sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS).

Tiga indeks utama di bursa saham New York (Wall Street) pada pekan lalu mencatatkan kenaikan yang fantastis, di mana kenaikannya hampir menyentuh 10%.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat tajam 6,87% secara point-to-point, S&P 500 melesat 7,32%. Sedangkan kenaikan Nasdaq Composite terbilang fantastis dari dua indeks lainnya, yakni meroket 9,39%.

Kenaikan tiga indeks dari bursa Wall Street tersebut tidak lain karena sentimen pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) yang telah dimenangkan oleh calon dari Partai Demokrat, yakni Joseph 'Joe' Biden.

Pada Minggu, 8 November 2020 pukul 09:38 WIB, Biden memperoleh 290 suara elektoral (electoral college votes) berbanding 214 untuk Trump. Butuh 270 suara elektoral untuk menjadi pemenang pemilihan presiden sehingga Biden sudah sah menggenggam status sebagai presiden AS terpilih.

Kemenangan Biden sejatinya sudah diperkirakan jauh-jauh hari. Berbagai jajak pendapat mengunggulkan eks wakil presiden pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama ini ketimbang Trump.

Tidak hanya itu, investor di pasar keuangan pun sudah memasukkan kemenangan Biden dalam kalkulasi. Istilahnya priced-in, sudah ketaker.

Satu hal yang membuat pelaku pasar lebih nyaman dengan Biden adalah ekspektasi bahwa kebijakan pemerintah ke depan tidak akan 'aneh-aneh'.

Kemungkinan besar tidak ada lagi perang dagang yang memanas antara AS dengan berbagai negara, terutama China.

Tidak ada lagi presiden yang terang-terangan 'menyerang' gubernur bank sentral. Tidak ada lagi cuitan-cuitan di Twitter yang menggemparkan tidak hanya dunia maya tetapi juga dunia nyata.

"Biden adalah kabar baik buat pasar. Kami sudah lelah dengan dampak yang muncul dari cuitan-cuitan Trump," tegas Christopher Stanton, Chief Investment Officer Sunrise Capital Partners, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Sentimen pertama tentu kabar seputar pemilihan presiden (pilpres) AS. Akhirnya sudah ada kepastian, Joseph 'Joe' Biden keluar sebagai pemenang dalam pilpres mengandaskan sang petahana Donald Trump.

Per 8 November 2020 pukul 14:10 WIB, Biden mengantongi 290 suara elektoral (electoral college vote) berbanding 214 untuk Trump. Butuh 270 suara elektoral untuk menang, sehingga Biden sudah bisa menyandang predikat sebagai presiden AS terpilih.

Pekan lalu, pasar sudah merasakan euforia karena Biden unggul sejak awal-awal perhitungan suara. Ya, investor sudah berekspektasi jauh-jauh hari bahwa Biden akan menggantikan Trump sebagai penunggu Gedung Putih yang baru.

Harus diakui, pasar memang lebih nyaman dengan Biden. Selama masa pemerintahan Trump, ketidakpastian sangat tinggi. Pasalnya, Trump kerap muncul dengan sesuatu yang di luar dugaan, terutama melalui media sosial. Gerak pasar (dan ekonomi dunia) ditentukan oleh jempol sang presiden ke-45 Negeri Adidaya.

"Biden adalah kabar baik buat pasar. Kami sudah lelah dengan dampak yang muncul dari cuitan-cuitan Trump," tegas Christopher Stanton, Chief Investment Officer Sunrise Capital Partners, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Nah, sekarang Biden sudah jadi presiden terpilih, tinggal menunggu pengesahan. Apakah euforia kemenangan Biden akan kembali terjadi? Apakah aset-aset berisiko di negara berkembang lagi-lagi menerima 'durian runtuh'?

Well, bisa iya atau tidak. Terpilihnya Biden di satu sisi memberi kepastian dan pelaku pasar dapat menyusun gambaran bagaimana arah kebijakan pemerintah AS nantinya.

Satu yang hampir pasti, tidak ada kejutan yang berlebihan seperti era Trump, sepertinya semua akan lebih terprediksi. Ini tentu menjadi sentimen positif yang mendongrak risk appetite investor.

Selain itu, sebenarnya 'drama' pilpres AS belum berakhir. Trump memutuskan untuk menggugat hasil pilpres ke jalur hukum.

"Joe Biden tidak seharusnya mengklaim jabatan presiden. Saya juga bisa melakukan klaim serupa. Proses legal akan dimulai," cuit Trump di Twitter.

Jika kemudian proses hukum ini berlarut-larut yang menyebabkan presiden (siapapun orangnya nanti) tidak kunjung dilantik, maka akan menyebabkan ketidakpastian. Berbagai program dan proyek pemerintah akan mandek, tidak bisa tereksekusi.

Salah satunya adalah yang paling dinanti yaitu stimulus fiskal untuk membantu rakyat AS melalui dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Apalagi gesekan di tingkat elit sangat berisiko untuk merembet ke akar rumput. Aksi demonstrasi akan terus mewarnai selagi belum ada konklusi.

Sangat mungkin demonstrasi itu akan berujung ke tindak kekerasan dan pengerusakan, sesuatu yang membuat investor merasa tidak nyaman.

Sentimen kedua, kali ini dari dalam negeri, ada rilis data indikator yang patut diperhatikan yaitu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan merupakan leading indicator, indikator mula untuk meneropong ke mana ekonomi akan bergerak, kontraksi atau ekspansi.

Per September 2020, IKK Indonesia masih mengalami kontraksi, dimana angkanya masih di bawah 100, yakni berada di angka 83,4.

Tidak bisa dipungkiri, IKK sempat terpengaruh akibat pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta pada pertengahan September hingga medio Oktober lalu.

Kini PSBB sudah dilonggarkan lagi, kembali ke masa transisi. Ini akan membawa harapan keduanya bisa pulih pada sisa kuartal IV-2020.

Asalkan PSBB tidak lagi ketat, maka roda perekonomian akan berputar meski lajunya masih perlahan. Artinya, ada harapan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2020 bisa lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yang -3,49%.

Semoga asa pemulihan ekonomi domestik bisa menjadi sentimen positif di pasar. Kalau ini yang terjadi, maka bukan tidak mungkin IHSG, rupiah, sampai harga obligasi pemerintah bisa menguat lagi.

Sentimen ketiga, yang juga jangan dilupakan yakni terkait rilis data neraca perdagangan dan data ekspor-impor Jerman untuk periode September 2020.

Konsensus yang dihimpun Reuters mencatat ekspor Jerman menurun 2%. Sedangkan untuk impor Jerman juga turun 2,1% pada September 2020. Adapun konsensus data neraca perdagangan Jerman diperkirakan naik menjadi € 19,9 miliar.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1.       Rilis data cadangan devisa (cadev) Jepang periode Oktober 2020 (06:50 WIB)
  2.       Rilis data indeks keyakinan konsumen (IKK) Indonesia periode Oktober 2020 (10:00 WIB)
  3.       Rilis data neraca perdagangan Jerman periode September 2020 (14:00 WIB)
  4.       Rilis data ekspor-impor Jerman periode September 2020 (14:00 WIB)
  5.       Rilis data transaksi berjalan Jerman periode September 2020 (14:00 WIB)
  6.       Rilis data inflasi konsumen harapan Amerika Serikat periode Oktober 2020 (23:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (kuartal III-2020 YoY)

-3,49%

Inflasi (Oktober 2020 YoY)

1,44%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2020)

4%

Defisit Anggaran (APBN 2020)

-6,34% PDB

Transaksi berjalan (kuartal II-2020)

-1,18% PDB

Neraca pembayaran (kuartal II-2020)

US$ 9,24 miliar

Cadangan devisa (Oktober 2020)

US$ 133,7 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd) Next Article Hari Penentuan Tiba: AS Akan Buat Dunia Menangis atau Ketawa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular