
Akhirnya! Bulan Ini, RI Diramal Lepas dari Jerat Deflasi

Meski demikian, bukan berarti daya beli masyarakat sudah pulih. Ini terlihat dari inflasi inti yang sepertinya masih melambat. Inflasi inti pada September adalah 1,86% YoY dan Oktober diperkirakan 1,82% YoY.
Pergerakan inflasi inti sering digunakan sebagai indikator daya beli. Sebab, inflasi inti berisi kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun alias persisten. Kalau harga barang dan jasa yang seperti ini sampai turun, artinya permintaan memang masih lemah.
"Daya beli masyarakat rendah, sangat-sangat lemah. Ini ditunjukkan oleh inflasi inti yang terus menurun," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam rilis data inflasi September.
Oleh karena itu, setidaknya sampai Oktober, konsumsi rumah tangga belum bisa diandalkan sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi. Padahal konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.
Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2020 terkontraksi (tumbuh negatif) 3,3% YoY. Jika konsumsi rumah tangga belum membaik, maka sangat mungkin kontraksi masih akan terjad pada kuartal IV-2020.
Sejumlah institusi memperkirakan PDB Indonesia membukukan kontraksi sepanjang 2020. Proyeksi Bank Dunia ada di -1,6%, bahkan bisa ke -2% dalam skenario terburuk. Sementara 'ramalan' Dana Moneter Internasional (IMF) adalah -1,5% dan Bank Pembangunan Asia (ADB) -1%.
Di satu sisi, data inflasi Oktober kemungkinan akan memberi kelegaan, setidaknya Indonesia sudah bisa lepas dari jerat deflasi. Namun di sisi lain pekerjaan belum selesai, karena sejatinya permintaan masih sangat lemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)