Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri kembali memerah pada perdagangan Rabu (23/9/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menguat nyaris 1% di awal perdagangan, tetapi pada akhirnya harus rela kembali ke zona merah, melemah 0,33% ke 4.917,95.
Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi jual bersih sebanyak Rp 187 miliar di pasar reguler dengan nilai transaksi mencapai Rp 7 triliun.
Sentimen negatif masih datang dari risiko resesi di Indonesia yang diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, sementara dari eksternal dipengaruhi oleh pernyataan bos bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed dan koleganya.
Sentimen tersebut masih akan mempengaruhi pasar keuangan dalam negeri pada hari ini, Kamis (24/9/2020), yang akan di bahas di halaman 3. Selain itu ada juga isu lainnya seperti ambrolnya bursa saham AS serta harga emas dunia, yang mengingatkan kembali dengan istilah 'cash is the king' yang muncul di bulan Maret lalu.
Rupiah membukukan pelemahan 0,2% ke Rp 14.780/US$. Sementara dari pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenot 10 tahun naik 1,5 basis poin menjadi 6,905%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harganya. Saat harga naik, yield akan turun, sementara saat harga turun yield akan naik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada hari Selasa memberikan proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020. Tetapi proyeksi tersebut lebih buruk dari sebelumnya.
"Kemenkeu yang tadinya melihat ekonomi kuartal III minus 1,1% hingga positif 0,2%, dan yang terbaru per September 2020 ini minus 2,9% sampai minus 1,0%. Negatif teritori pada kuartal III ini akan berlangsung di kuartal IV. Namun kita usahakan dekati nol," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita September, Selasa (22/9/2020).
Sri Mulyani mengatakan Kemenkeu memprediksi perekonomian di kuartal III-2020 minus 2,9% sampai minus 1,0%. Melihat prediksi tersebut, resesi pasti terjadi di Indonesia, dan menjadi yang pertama sejak tahun 1999.
Sementara itu bos The Fed, Jerome Powell yang berbicara Selasa pagi waktu setempat sebenarnya tidak memberikan dampak kepada dolar AS. Sebab, apa yang diungkapkan di hadapan House of Representatives Financial Services Committee tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Powell mengatakan, The Fed akan membatu perekonomian "selama dibutuhkan". Ia juga melihat perekonomian AS memang mulai membaik, tetapi jalan ke depannya masih penuh ketidakpastian.
Tidak ada hal baru yang diungkapkan, pernyataan Powell tersebut sama dengan kesempatan sebelumnya ketika mengumumkan kebijakan moneter pekan lalu.
Yang membuat dolar AS perkasa dan memukul rupiah serta SUN justru pernyataan Charles Evans, Presiden The Fed Chicago.
Berbicara lewat daring di acara Official Monetary dan Financial Institution Forum, Evans mengatakan ekonomi AS berisiko dalam jangka panjang, mengalami pemulihan yang lambat, dan tidak bisa langsung keluar dari resesi tanpa bantuan stimulus fiskal. Evans juga melihat open-ended program pembelian aset The Fed (quantitative easing/QE) mampu menyediakan bagian penting untuk pemulihan ekonomi.
"Pernyataan Evans sangat hawkish. Ia menyebutkan QE dan menaikkan suku bunga sebelum target inflasi tercapai. Hal tersebut mengejutkan pasar," kata Edward Moya, analis pasar senior di Oanda New York, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (22/9/2020).
"Segera setelah kita berhasil mengatasi virus corona, anda akan melihat ekspektasi kenaikan suku bunga meningkat, dan seharusnya membuat dolar terus menguat," tambahnya.
Evans bukan merupakan anggota komite pembuat kebijakan moneter (Federal Open Market Committee/FOMC) di tahun ini, sehingga ia tak memiliki suara dalam memutuskan suku bunga. Tetapi pada tahun depan ia akan menjadi anggota FOMC, sehingga pasar melihat ada kemungkinan suku bunga akan naik sebelum 2023, dolar AS pun kembali perkasa.
Bursa saham AS (Wall Street) mengawali perdagangan Rabu waktu setempat di zona hijau, tetapi di akhir perdagangan justru kembali ambrol. Aksi jual di sektor teknologi kembali menjadi pemicu merosotnya bursa dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia ini.
Indeks Dow Jones berakhir melemah 1,9%, S&P 500 merosot 2,3% dan Nasdaq ambrol 3%. Sepanjang bulan ini, Dow Jones merosot lebih dari 7%, S&P 500 nyaris 6%, dan Nasdaq hampir 10%.
Dari lantai bursa, saham Amazon dan Microsoft ambrol lebih dari 4%, Facebook -2,4%, Alphabeth -3,5%, dan Apple -3,1%.
Selain aksi jual di sektor teknologi, kenaikan jumlah kasus Covid-19,serta stimulus fiskal di AS yang masih belum ada kejelasan semakin memperluas aksi jual.
Perdana Menteri (PM) Boris Johnson hari Selasa lalu mengatakan Inggris kini berada di "titik balik yang berbahaya" sehingga ia perlu mengambil tindakan.
Pengetatan pembatasan sosial dilakukan dengan membatasi jam operasional restoran dan pub, maksimal boleh buka hingga pukul 10 malam. Pembatasan tersebut kemungkinan akan berlaku selama 6 bulan ke depan.
Selain itu, warga yang bisa hadir di acara pernikahan kembali dikurangi menjadi 15 orang saja. Warga yang bisa bekerja di rumah harus melakukan itu. Tempat olahraga batal dibuka kembali pada 1 Oktober mendatang.
Presiden AS, Donald Trump, mengatakan tidak akan melakukan karantina (lockdown) lagi meski penambahan kasus di AS juga masih tinggi.
"Inggris baru saja mematikan ekonominya sekali lagi. Mereka baru saja mengumumkan akan melakukan itu, dan kita tak akan mengambil kebijakan serupa," tutur Trump.
Sementara itu, pembahasan stimulus fiskal di AS masih belum ada titip terang di parlemen (Kongres) AS. Bos The Fed, Jerome Powell bahkan mengatakan stimulus fiskal diperlukan untuk segera membangkitkan perekonomian AS.
"Kita sudah bangkit cukup cepat, dan itu bagus. Tetapi jalan masih panjang. Jadi, saya ingin mengatakan kita perlu bersama-sama, kita semua. Pemulihan ekonomi akan berjalan lebih cepat jika mendapat dukungan dari Kongres dan The Fed," kata Powell di hadapan House of Representatives Select Subcommittee, Rabu pagi waktu setempat.
Wall Street, kiblat bursa saham dunia, yang kembali ambrol Rabu waktu setempat, dan di bulan September umumnya tentunya mengirim sentimen negatif ke pasar Asia pagi ini. Kabar buruknya lagi, harga emas dunia juga ambrol nyaris 2%.
Ambrolnya 2 aset berbeda status tersebut (saham aset berisiko, emas aset safe haven), mengingatkan kembali dengan istilah "cash is the king" yang muncul di bulan Maret lalu. Saat itu bursa saham global mengalami aksi jual masif, sementara harga emas dunia juga merosot. Yang mengalami penguatan tajam cuma dolar AS, mata uang lainnya juga berguguran. Jadi bukan sembarang cash, melainkan dolar AS yang saat itu berjaya.
Saat itu, IHSG ambrol lebih dari 30%, rupiah melemah lebih dari 17% ke Rp 16.620/US$, menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998. Sementara harga emas dunia saat itu juga merosot lebih dari 13%.
Hal yang sama juga terjadi pada perdagangan Rabu kemarin, indeks dolar AS membukukan penguatan 0,43% ke 94,39 dan berada di level tertinggi sejak 27 Juli. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut juga sudah membukukan penguatan 3 hari beruntun, dengan total 1,58%.
Sentimen "cash is the king" berisiko memukul kembali pasar keuangan Indonesia, IHSG, rupiah, hingga SUN terancam ke zona merah lagi, bahkan ada kemungkinan cukup tajam.
Sentimen negatif lainnya datang dari perkembangan vaksin virus corona buatan AstraZeneca. Uji klinis tahap akhir vaksin yang disebut AZD1222 tersebut masih belum bisa dilanjutkan di AS. Penyidik federal dikatakan masih mencari "jawaban penting" untuk keselamatan pasien, kata Menteri Kesehatan dan Layanan Kesehatan AS, Alex Azar, kepada CNBC International, Rabu kemarin.
Uji klinis vaksin AZD1222 dihentikan sementara sejak 6 September lalu, setelah pasien di Inggris mengalami efek samping yang serius.
Kabar buruk lainnya datang dari Eropa, di tengah peningkatan kasus Covid-19, aktivitas bisnis (manufaktur dan jasa) kembali menyusut.
Kemarin, IHS Markit melaporkan purchasing managers' index (PMI) gabungan jasa dan manufaktur bulan September untuk zona euro sebesar 50,1, turun tajam dari bulan Agustus sebesar 51,9.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya artinya ekspansi.
Pelambatan tajam ekspansi di bulan September terjadi karena sektor jasa. PMI jasa zona euro dilaporkan sebesar 47,6, turun dari bulan Agustus 50,5. Sektor jasa kembali mengalami kontraksi setelah 2 bulan beruntun berekspansi. Sementara itu PMI sektor manufaktur dilaporkan sebesar 54,3, turun dari bulan sebelumnya 55,2.
Hal ini tentunya memicu kecemasan akan kembali merosotnya perekonomian Benua Biru jika karantina (lockdown) kembali diterapkan.
Inggris sudah melakukan pengetatan pembatasan sosial, beberapa negara di Eropa juga mengalami peningkatan kasus Covid-19, sehingga risiko pengetatan masih menghantui. Prancis dan Spanyol misalnya, jumlah kasus baru tercatat lebih dari 10.000 orang per hari, dan pemerintah di kedua negara sudah mulai melakukan pembatasan aktivitas warganya.
Di tengah tanda-tanda pelambatan pemulihan ekonomi, terselip kabar baik dari sektor manufaktur yang masih menunjukkan ekspansi di bulan ini. Jerman mencatat kenaikan ekspansi manufaktur menjadi 56,6, dari sebelumnya 52,2.
Melesatnya ekspansi sektor manufaktur Jerman tentunya menjadi kabar baik, mengingat Negeri Panser merupakan motor penggerak perekonomian zona euro dan Eropa pada umumnya. Tetapi sekali lagi, ada risiko ekspansi tersebut akan melambat bahkan kembali mengalami kontraksi seandainya negara-negara Eropa banyak menerapkan pengetatan pembatasan sosial.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral Jepang (6:50 WIB)
- Rilis data produksi industri Singapura (12:00 WIB)
- Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Swiss (14:30 WIB)
- Rilis data iklim bisnis Jerman (15:00 WIB)
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS (19:30 WIB)
- Testimoni Ketua The Fed, Jerome Powell (21:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2020) | US$ 137,04 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA