
Saham & Emas Ambrol, Siap-siap 'Cash is The King' Jilid II

Wall Street, kiblat bursa saham dunia, yang kembali ambrol Rabu waktu setempat, dan di bulan September umumnya tentunya mengirim sentimen negatif ke pasar Asia pagi ini. Kabar buruknya lagi, harga emas dunia juga ambrol nyaris 2%.
Ambrolnya 2 aset berbeda status tersebut (saham aset berisiko, emas aset safe haven), mengingatkan kembali dengan istilah "cash is the king" yang muncul di bulan Maret lalu. Saat itu bursa saham global mengalami aksi jual masif, sementara harga emas dunia juga merosot. Yang mengalami penguatan tajam cuma dolar AS, mata uang lainnya juga berguguran. Jadi bukan sembarang cash, melainkan dolar AS yang saat itu berjaya.
Saat itu, IHSG ambrol lebih dari 30%, rupiah melemah lebih dari 17% ke Rp 16.620/US$, menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998. Sementara harga emas dunia saat itu juga merosot lebih dari 13%.
Hal yang sama juga terjadi pada perdagangan Rabu kemarin, indeks dolar AS membukukan penguatan 0,43% ke 94,39 dan berada di level tertinggi sejak 27 Juli. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut juga sudah membukukan penguatan 3 hari beruntun, dengan total 1,58%.
Sentimen "cash is the king" berisiko memukul kembali pasar keuangan Indonesia, IHSG, rupiah, hingga SUN terancam ke zona merah lagi, bahkan ada kemungkinan cukup tajam.
Sentimen negatif lainnya datang dari perkembangan vaksin virus corona buatan AstraZeneca. Uji klinis tahap akhir vaksin yang disebut AZD1222 tersebut masih belum bisa dilanjutkan di AS. Penyidik federal dikatakan masih mencari "jawaban penting" untuk keselamatan pasien, kata Menteri Kesehatan dan Layanan Kesehatan AS, Alex Azar, kepada CNBC International, Rabu kemarin.
Uji klinis vaksin AZD1222 dihentikan sementara sejak 6 September lalu, setelah pasien di Inggris mengalami efek samping yang serius.
Kabar buruk lainnya datang dari Eropa, di tengah peningkatan kasus Covid-19, aktivitas bisnis (manufaktur dan jasa) kembali menyusut.
Kemarin, IHS Markit melaporkan purchasing managers' index (PMI) gabungan jasa dan manufaktur bulan September untuk zona euro sebesar 50,1, turun tajam dari bulan Agustus sebesar 51,9.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya artinya ekspansi.
Pelambatan tajam ekspansi di bulan September terjadi karena sektor jasa. PMI jasa zona euro dilaporkan sebesar 47,6, turun dari bulan Agustus 50,5. Sektor jasa kembali mengalami kontraksi setelah 2 bulan beruntun berekspansi. Sementara itu PMI sektor manufaktur dilaporkan sebesar 54,3, turun dari bulan sebelumnya 55,2.
Hal ini tentunya memicu kecemasan akan kembali merosotnya perekonomian Benua Biru jika karantina (lockdown) kembali diterapkan.
Inggris sudah melakukan pengetatan pembatasan sosial, beberapa negara di Eropa juga mengalami peningkatan kasus Covid-19, sehingga risiko pengetatan masih menghantui. Prancis dan Spanyol misalnya, jumlah kasus baru tercatat lebih dari 10.000 orang per hari, dan pemerintah di kedua negara sudah mulai melakukan pembatasan aktivitas warganya.
Di tengah tanda-tanda pelambatan pemulihan ekonomi, terselip kabar baik dari sektor manufaktur yang masih menunjukkan ekspansi di bulan ini. Jerman mencatat kenaikan ekspansi manufaktur menjadi 56,6, dari sebelumnya 52,2.
Melesatnya ekspansi sektor manufaktur Jerman tentunya menjadi kabar baik, mengingat Negeri Panser merupakan motor penggerak perekonomian zona euro dan Eropa pada umumnya. Tetapi sekali lagi, ada risiko ekspansi tersebut akan melambat bahkan kembali mengalami kontraksi seandainya negara-negara Eropa banyak menerapkan pengetatan pembatasan sosial.
(pap/pap)