Jakarta, CNBC Indonesia - Tak ada kejutan dari kebijakan moneter yang diambil oleh geng MH Thamrin kemarin, semua sesuai perkiraan. Usai keputusan Bank Indonesia (BI) diumumkan pasar keuangan domestik ditutup tak kompak.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,4% pada perdagangan kemarin. Aksi jual investor asing masih mewarnai perdagangan keempat pekan ini. Dalam sepekan terakhir, asing sudah melego saham-saham RI dan mencatatkan net sell sebesar Rp 5,1 triliun di seluruh pasar.
Saat asing kabur dan menjual kepemilikannya di aset-aset saham domestik, investor domestik masuk dan membantu meredam bursa saham dari kebakaran hebat. Fenomena ini menjadi hal yang positif sekaligus negatif.
Investor asing memang masih ingin berjaga jarak dari aset-aset finansial dalam negeri. Gelombang pertama wabah Covid-19 yang tak kunjung usai bahkan cenderung bertambah serta keraguan seputar outlook makroekonomi Indonesia menjadi pemicu utamanya.
Di pasar obligasi, surat berharga negara (SBN) juga mengalami nasib serupa dengan saham. Investor melakukan aksi jual pada perdagangan kemarin. Koreksi pada harga SBN berbagai tenor ini tercermin dari kenaikan imbal hasilnya (yield).
Hampir semua SBN berbagai tenor mengalami kenaikan yield kecuali untuk yang bertenor pendek 1 tahun. Sementara untuk acuan negara yakni SBN tenor 10 tahun juga mengalami kenaikan yield sebesar 0,7 basis poin.
Dengan tingkat inflasi yang rendah di bawah sasaran target 2% - 4% disertai deflasi dua bulan beruntun serta kebutuhan untuk mendorong ekonomi, sebenarnya BI selaku bank sentral masih memiliki ruang untuk pemangkasan suku bunga.
Namun BI melihat bahwa saat ini likuiditas yang diinjeksikan sebenarnya sudah cukup, sehingga fokus BI kembali ke mandat utamanya yaitu menjaga stabilitas rupiah. Akibat pandemi Covid-19 nilai tukar rupiah cenderung bergerak dengan volatilitas tinggi.
Memasuki bulan Juni rupiah mulai menghentikan relinya dan terdepresiasi di hadapan dolar greenback. Secara month to date (mtd) nilai tukar rupiah telah melemah 1,79% di arena pasar spot.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, BI memilih untuk menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di angka 4% dengan suku bunga koridor lending facility rate di 4,75% dan deposit facility rate 3,25%.
Sepanjang tahun ini BI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 100 bps. Sementara bank sentral AS telah memangkas 150 bps. Selisih pemangkasan ini diharapkan mampu menjaga yield investasi di aset-aset keuangan RI masih menarik di mata investor.
Jika melihat selisih imbal hasil (spread) antara surat utang pemerintah RI dan AS masih cukup tinggi. Apalagi kalau melihat real rates-nya dengan inflasi yang rendah RI masih berada di zona positif sementara di AS suku bunga riilnya sudah berada di teritori negatif.
Dengan begitu, BI berharap akan ada aliran masuk (inflow) yang bisa membuat rupiah tidak terus-terusan terdepresiasi. Stabilitas rupiah juga memiliki peranan penting dalam hal menjaga sentimen investor asing yang ingin masuk ke aset keuangan baik saham maupun instrumen pendapatan tetap RI.
Kebijakan the Fed dan BI yang sesuai konsensus membuat rupiah menguat tipis 0,03% ke Rp 14.820/US$ kemarin di pasar spot. Dalam tiga hari terakhir rupiah sudah mencatatkan apresiasi alias hat trick.
Beralih ke kiblat pasar modal global Wall Street, dini hari tadi beberapa sentimen negatif yang beredar di pasar membuat tiga indeks saham utama bursa New York jatuh ke zona koreksi.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terpangkas 130 poin atau 0,47%. Indeks S&P 500 melorot 28.5 poin atau 0,84% dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi paling dalam dengan penurunan 140 poin atau 1,27%.
Aksi jual saham-saham teknologi AS membuat indeks tertekan. Saham Facebook dan Amazon ambles masing-masing 3,3% dan 2,3%. Saham Netflix ditutup 2,8% lebih rendah. Saham induk Google yakni Alphabet drop 1,7%. Sementara saham Apple dan Microsoft turun 1%.
"Pasar telah naik terlalu banyak, terlalu cepat dan membuat valuasinya menjadi sangat kentara dibanding sebelumnya" kata Tom Martin, senior portfolio manager di GLOBALT. "Sehingga sekarang Anda melihat terjadi sedikit koreksi di pasar" ungkapnya, sebagaimana diwartakan CNBC International.
Selain valuasi saham-saham terutama untuk sektor teknologi yang dinilai terlalu tinggi, pasar juga merespons informasi seputar vaksin yang simpang siur. Sebelumnya presiden Donald Trup menyebutkan bahwa vaksin dapat didistribusikan di AS mulai Oktober.
Namun pernyataan berbeda datang dari seorang direktur Center for Disease Control & Prevention (CDC) yang mengatakan kepada parlemen bahwa vaksinasi hanya akan dilakukan kepada segelintir orang tahun ini dan tak akan didistribusikan meluas untuk enam sampai sembilan bulan.
Pembahasan paket stimulus Covid-19 lanjutan di AS yang macet juga menambah sentimen negatif di pasar. Di saat yang sama Wall Street juga memandang skeptis kebijakan bank sentralnya, the Fed yang akan menahan suku bunga rendah untuk waktu yang agak lama guna mendongkrak inflasi.
"Masih ada cukup banyak ketidakpastian di luar sana," kata Gregory Faranello, kepala perdagangan suku bunga AS di AmeriVet Securities.
"Ketika Anda melihat proyeksi The Fed ... tidak ada overshoot inflasi. Sekarang, proyeksi jangka panjang tidak dimasukkan, jadi saya membayangkan akan ada perkiraan Fed mencapai - dan melampaui - sasaran inflasi 2%. Namun, itu tidak terlihat." tambahnya
Di tengah merebaknya sentimen negatif dan juga adanya risiko ketidakpastian, terselip satu kabar yang bisa terbilang cukup positif. Rilis data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan bahwa klaim tunjangan pengangguran untuk pekan lalu yang berakhir di 12 September turun menjadi 860.000 saja lebih rendah survei Do Jones yang memperkirakan klaim tunjangan berada di angka 875.000.
Hari ini akan menjadi hari perdagangan terakhir minggu ini. Untuk itu investor perlu mencermati beberapa sentimen penggerak pasar baik dari dalam maupun luar negeri.
Sentimen pertama tentu datang dari kinerja bursa saham AS. Koreksi pada tiga indeks utama bursa New York bukan lah kabar baik untuk bursa saham Asia yang akan buka pagi ini.
Investor juga perlu mencermati data ekonomi yang akan dirilis pagi ini. Jepang akan merilis data inflasinya untuk periode Agustus pada 06.30 WIB. Akibat pandemi Covid-19, inflasi Jepang menjadi tertekan.
Selama ini Negeri Sakura memang terkenal dengan masalah kronisnya yaitu inflasi rendah atau bahkan deflasi. Inflasi Jepang bulan Juli tercatat berada di angka 0,3% atau mengalami kenaikan dari bulan sebelumnya yang hanya 0,1%.
Inflasi Jepang bulan Agustus diramal berada di angka 0,1%. Jika realisasinya lebih baik dari perkiraan atau periode sebelumnya maka ini akan jadi tanda bahwa ekonomi rebound lebih cepat dari perkiraan seiring dengan membaiknya permintaan.
Ini akan jadi sentimen positif untuk pasar. Namun jika sebaliknya yang akan terjadi, maka ada potensi pasar bisa merespons negatif rilis data inflasi Jepang tersebut.
Dari dalam negeri, IHSG sudah terkoreksi selama tiga hari beruntun. Indeks utama saham Tanah Air telah terkoreksi cukup dalam dengan penurunan nyaris 2,4%. Dengan koreksi tiga hari beruntun ini ada kemungkinan IHSG rebound.
Masih seputar aset-aset ekuitas domestik, sentimen lain datang dari riset sektoral yang dipublikasikan oleh Fitch Ratings tentang sektor ritel di tengah penerapan PSBB DKI Jakarta.
Lembaga pemeringkat utang global itu menyoroti bahwa perpanjangan PSBB DKI Jakarta itu akan lebih menguntungkan peritel dengan format minimarket yang mudah diakses oleh konsumen ketimbang supermarket maupun hipermarket yang biasanya hanya berada di lokasi-lokasi tertentu saja.
Hal ini akan menjadi sentimen negatif bagi emiten ritel yang memiliki portofolio atau eksposur terhadap model bisnis yang sifatnya supermarket maupun hipermarket.
Beralih ke pasar valuta asing, kebijakan bank sentral AS yang akan menahan suku bunga rendah setidaknya sampai 2023 tetapi memperkirakan kontraksi ekonomi serta angka pengangguran tahun ini lebih baik dari dugaan sempat membuat indeks dolar menguat. Namun dolar AS berbalik arah melemah.
Apabila hari indeks dolar terkoreksi, maka ada harapan rupiah untuk bangkit. Namun yang juga harus menjadi catatan adalah rupiah telah mencatatkan penguatan tiga hari perdagangan beruntun (hat trick), sehingga kemungkinan rupiah untuk lanjut menguat tergolong tipis.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data inflasi Jepang periode Agustus 2020 (06:30 WIB).
- Rilis data transaksi berjalan Zona Eropa periode Juli 2020 (15:00 WIB).
- Rilis data transaksi berjalan AS kuartal II-2020 (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indiator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2020) | US$ 137,04 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA