
Resesi di Depan Mata, Tapi BI Kayaknya Ogah Turunkan Bunga

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan. Tekanan yang dialami rupiah sejak awal kuartal III-2020 membuat MH Thamrin agak sulit menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate, meski perekonomian Indonesia tengah di bibir jurang resesi.
BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16-17 September 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan tetap bertahan di 4% dalam RDG bulan ini. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tidak ada yang menyatakan lain, tidak ada dissenting opinion.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
ING | 4 |
Citi | 4 |
DBS | 4 |
BNI Sekuritas | 4 |
BCA | 4 |
Maybank Indonesia | 4 |
Standard Chartered | 4 |
Bank Permata | 4 |
Trading Economics | 4 |
Mirae Asset | 4 |
Danareksa Research Institute | 4 |
BRI | 4 |
Barclays | 4 |
Sesuai mandat UU No 3/2004, tujuan bank sentral hanya satu yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Mandat itu yang coba dilaksanakan oleh BI.
Sejak awal kuartal III-2020 hingga 15 September, rupiah memang melemah sangat dalam yaitu 4,62%. Rupiah jadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.
Penurunan suku bunga acuan akan ikut menurunkan imbal hasil investasi di aset-aset berbasis rupiah, utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Sejak awal tahun, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sudah terpangkas 40,7 basis poin (bps).
Per 11 September, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) tercatat Rp 940,21 triliun. Ini adalah yang terendah sejak 28 Agustus.
Kalau yield turun terus, maka investor asing akan terus keluar karena berinvestasi di SBN dipandang kurang 'seksi'. Dampaknya, rupiah akan kekurangan 'darah' sehingga bisa terus melemah.
"Meskipun inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi mengarah kepada resesi pada kuartal III-2020, volatilitas rupiah dan tekanan keluar arus modal asing diperkirakan akan menjadi pertimbangan bank sentral dalam kebijakan penentuan suku bunganya," sebut Anton Hendranata, Ekonom Senior BRI.
Ya, sejatinya memang ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Saat ini tekanan inflasi nyaris tidak ada. Hingga Agustus, laju inflasi hanya 1,32% year-on-year (YoY), jauh di bawah target sasaran BI yaitu 2-4%.
"Lebih lanjut, penurunan suku bunga acuan 25 bps bisa dilakukan karena selisih antara yield dengan inflasi relatif jauh. Hingga 10 September, jarak keduanya adalah 566 bps, lebih tinggi dibandingkan rata-rata 2019 yaitu 466 bps," kata Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset.
Saat inflasi rendah, maka keuntungan riil yang didapat investor kala berinvestasi di SBN masih lumayan tinggi. Jadi kalau yield bisa turun lagi sebenarnya tidak apa-apa, toh selisihnya dengan inflasi masih lumayan jauh.
Selain inflasi, seperti yang sudah disinggung Anton, Indonesia juga punya tantangan besar yaitu risiko resesi ekonomi yang semakin besar. Pada kuartal III-2020, kemungkinan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan kembali tumbuh negatif atau terkontraksi seperti kuartal sebelumnya. Kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut adalah definisi dari resesi.
Semakin ke sini, sepertinya data yang ada semakin memberi konfirmasi bahwa ekonomi Ibu Pertiwi akan mengalami kontraksi pada kuartal III-2020, yang kemudian menyebabkan resesi. Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka perdagangan internasional periode Agustus yang kurang menggembirakan.
Bulan lalu, nilai ekspor Indonesia adalah US$ 13,07 miliar atau turun 8,36% YoY. Ekspor mengalami kontraksi dalam dua bulan pertama kuartal II-2020. Dengan waktu tersisa hanya sebulan, sulit berharap ekspor bisa tumbuh positif pada periode Juli-September 2020.
Dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran, ekspor memang 'hanya' menempati peringkat ketiga setelah konsumsi rumah tangga dan Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi. Namun kontribusinya tidak bisa dipandang remeh, sekitar 14-17%. Kalau sumbangan ini turun atau bahkan hilang, maka dampaknya tentu lumayan signifikan.
Sementara nilai impor tercatat US$ 10,74 miliar, ambles 24,19% YoY. Hampir 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi industri dalam negeri. Jadi kalau impor turun, maka menjadi gambaran proses produksi industri domestik lesu.
Dari sisi lapangan usaha, industri adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Tanah Air dengan kontribusi sekitar 20%. Melihat lesunya impor bahan baku dan barang modal, sepertinya industri dalam negeri belum berniat melakukan ekspansi dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, sepertinya Indonesia akan kehilangan seperlima dari kekuatan ekonominya. Ini tentu jumlah yang cukup signifikan.
Penurunan suku bunga acuan diharapkan dapat menjadi 'perangsang' ekonomi yang lemas akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Saat suku bunga acuan turun, diharapkan suku bunga kredit perbankan bisa mengikuti. Suku bunga kredit yang rendah dapat memancing minat dunia usaha dan rumah tangga untuk melakukan ekspansi, sehingga roda ekonomi berputar lebih kencang.
Namun sepertinya BI belum akan memilih menurunkan suku bunga acuan. Gubernur Perry Warjiyo menegaskan, cara yang paling efektif untuk mendukung pemulihan ekonomi adalah pemberian stimulus melalui jalur kuantitas (quantitative easing/QE).
Dengan QE, BI menyuntikkan likuiditas ke pasar melalui penurunan Giro Wajib Minimun (GWM) maupun ekspansi moneter. Hingga 14 Agustus, BI telah memberikan QE sebesar Rp 651,54 triliun.
"Dalam kondisi seperti ini, pemulihan ekonomi lebih efektif lewat jalur kuantitas, dari aspek likuiditas dan pendanaan. Jalur QE ini yang masih tertahan di perbankan," kata Perry dalam konferensi pers usai RDG Agustus.
Posisi (stance) BI ini membuat pasar tidak yakin suku bunga acuan bisa turun dalam waktu dekat. Apalagi ada kebutuhan agar rupiah kembali menguat, agar bisa mendorong impor bahan baku/penolong dan barang modal demi menggenjot performa industri dalam negeri.
"Tekanan kepada BI untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter sebenarnya agak mereka karena ada kepentingan untuk memperkuat rupiah demi membangkitkan aktivitas industri manufaktur. Kami berpandangan bahwa bank sentral akan mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 4% sampai akhir tahun," tambah Kevin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pak Perry, Pasar Ramal BI Turunkan Bunga Acuan ke 4% Nih...
