
Resesi di Depan Mata, Tapi BI Kayaknya Ogah Turunkan Bunga

"Meskipun inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi mengarah kepada resesi pada kuartal III-2020, volatilitas rupiah dan tekanan keluar arus modal asing diperkirakan akan menjadi pertimbangan bank sentral dalam kebijakan penentuan suku bunganya," sebut Anton Hendranata, Ekonom Senior BRI.
Ya, sejatinya memang ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Saat ini tekanan inflasi nyaris tidak ada. Hingga Agustus, laju inflasi hanya 1,32% year-on-year (YoY), jauh di bawah target sasaran BI yaitu 2-4%.
"Lebih lanjut, penurunan suku bunga acuan 25 bps bisa dilakukan karena selisih antara yield dengan inflasi relatif jauh. Hingga 10 September, jarak keduanya adalah 566 bps, lebih tinggi dibandingkan rata-rata 2019 yaitu 466 bps," kata Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset.
Saat inflasi rendah, maka keuntungan riil yang didapat investor kala berinvestasi di SBN masih lumayan tinggi. Jadi kalau yield bisa turun lagi sebenarnya tidak apa-apa, toh selisihnya dengan inflasi masih lumayan jauh.
Selain inflasi, seperti yang sudah disinggung Anton, Indonesia juga punya tantangan besar yaitu risiko resesi ekonomi yang semakin besar. Pada kuartal III-2020, kemungkinan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan kembali tumbuh negatif atau terkontraksi seperti kuartal sebelumnya. Kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut adalah definisi dari resesi.
Semakin ke sini, sepertinya data yang ada semakin memberi konfirmasi bahwa ekonomi Ibu Pertiwi akan mengalami kontraksi pada kuartal III-2020, yang kemudian menyebabkan resesi. Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka perdagangan internasional periode Agustus yang kurang menggembirakan.
Bulan lalu, nilai ekspor Indonesia adalah US$ 13,07 miliar atau turun 8,36% YoY. Ekspor mengalami kontraksi dalam dua bulan pertama kuartal II-2020. Dengan waktu tersisa hanya sebulan, sulit berharap ekspor bisa tumbuh positif pada periode Juli-September 2020.
Dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran, ekspor memang 'hanya' menempati peringkat ketiga setelah konsumsi rumah tangga dan Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi. Namun kontribusinya tidak bisa dipandang remeh, sekitar 14-17%. Kalau sumbangan ini turun atau bahkan hilang, maka dampaknya tentu lumayan signifikan.
Sementara nilai impor tercatat US$ 10,74 miliar, ambles 24,19% YoY. Hampir 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi industri dalam negeri. Jadi kalau impor turun, maka menjadi gambaran proses produksi industri domestik lesu.
Dari sisi lapangan usaha, industri adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Tanah Air dengan kontribusi sekitar 20%. Melihat lesunya impor bahan baku dan barang modal, sepertinya industri dalam negeri belum berniat melakukan ekspansi dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, sepertinya Indonesia akan kehilangan seperlima dari kekuatan ekonominya. Ini tentu jumlah yang cukup signifikan.
(aji/aji)