
Berat! Wall Street Ambles, Minyak Ambrol, Dolar Perkasa...

Sentimen ketiga, investor perlu memantau perkembangan harga komoditas utamanya minyak mentah. Pada pukul 00:10 WIB, harga minyak jenis brent ambrol 6,99% sementara light sweet ambles 8%. Harga komoditas ini sudah di bawah US$ 40/barel.
Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh dua faktor. Satu, pasar masih merespons kebijakan Saudi Aramco (perusahaan migas milik negara asal Arab Saudi) yang memangkas harga jual. Harga minyak Arab Saudi yang murah-meriah membuat brent (yang merupakan acuan Eropa) dan light sweet (acuan di AS) menjadi kurang menarik.
Dua, investor mencemaskan perkembangan pandemi virus corona yang semakin menggila. Per 8 September, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di seluruh negara mencapai 27.236.916 orang. Bertambah 203.897 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (26 Agustus-8 September), rata-rata pasien baru bertambah 263.665,86 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 256.792,14 orang.
Penyebaran virus corona yang semakin mencemaskan membuat investor agak pesimistis terhadap prospek pemulihan ekonomi dunia. "Koreksi harga ini disebabkan oleh proyeksi permintaan yang masih tetap rendah, setidaknya sampai akhir tahun ini," kata Paola Rodriguez-Masiu, Analis Rystad Energy, seperti dikutip dari Reuters.
Anjloknya harga minyak bisa membuat situasi pasar menjadi gaduh. Dari pasar komoditas, kepanikan bisa menjalar ke pasar keuangan.
Saat situasi tidak kondusif, investor akan cenderung menghindar dari aset-aset berisiko di negara berkembang. Akibatnya, IHSG dan rupiah bisa jadi korban.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel periode Juli 2020. Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjualan ritel pada bulan itu terkontraksi 12,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Penjualan ritel yang lesu semakin memberi konfirmasi bahwa konsumsi rumah tangga domestik sedang bermasalah. Sebelumnya, sudah ada dua data yang menggambarkan hal itu yakni Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang masih terus di bawah 100 dan deflasi yang terjadi pada Juli-Agustus. Bahkan BI memperkirakan deflasi akan berlanjut pada September.
Konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran dengan sumbangan lebih dari 50%. Jadi kalau konsumsi rumah tangga sangat lemah, susah berharap ekonomi bisa tumbuh, yang ada malah kontraksi (tumbuh negatif) seperti pada kuartal II-2020.
Oleh karena itu, kemungkinan PDB Indonesia masih akan negatif pada kuartal III-2020. Dengan begitu, Indonesia akan membukukan kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun, yang merupakan definisi dari resesi.
Semakin hari sepertinya peluang terjadinya resesi di Ibu Pertiwi kian mendekati kepastian. Kalau resesi adalah sebuah keniscayaan, menjadi tugas dari para pembuat kebijakan agar resesi itu tidak dalam dan lama. Sebab kalau resesi terlampau dalam dan lama, itu namanya depresi.
Amit-amit jabang bayi..
