Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kembali bergerak berlawanan arah pada perdagangan Selasa kemarin. Seolah sedang "musuhan" keduanya menunjukkan pergerakan berlawanan arah tersebut sejak pekan lalu, dimana IHSG mencetak penguatan 5 hari beruntun, sebaliknya rupiah melemah dalam periode yang sama.
Rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menjadi salah satu penggerak pasar keuangan dalam negeri kemarin. Sementara pada hari ini, Rabu (19/8/2020), pengumuman kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI) akan menjadi perhatian investor. Sentimen penggerak pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
IHSG tercatat menguat 0,9% ke level 5.295,17 yang merupakan level tertinggi lima bulan, tepatnya sejak 9 Maret lalu.
Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi jual bersih sebanyak Rp 57 miliar di pasar reguler hari ini dengan nilai transaksi hari ini menyentuh Rp 10,2 triliun.
Sebaliknya rupiah melemah 0,75% ke Rp 14.830/US$. Mata Uang Garuda terpuruk ke level terlemah dalam 3 bulan terakhir, tepatnya sejak 18 Mei lalu.
Sementara dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) mengalami pengutan. Yield SBN tenor 10 tahun turun 0,8 basis poin (bps) menjadi 6,758%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Neraca Pembayaran atau Balance of Payment (BOP) Indonesia pada kuartal II-2020 mencatat surplus setelah defisit di kuartal sebelumnya. Penurunan defisit transaksi berjalan (CAD) dan surplus transaksi modal dan finansial (TMF) menjadi pemicunya.
Bank Indonesia (BI) mencatat neraca pembayaran Indonesia pada periode April-Juni 2020 surplus US$ 9,2 miliar. Surplus ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal kedua tahun 2011 atau sembilan tahun silam.
Defisit transaksi berjalan sebesar US$ 2,9 miliar atau setara 1,2% dari produk domestik bruto (PDB), membaik dari kuartal sebelumnya 1,4% dari PDB. Defisit di kuartal II-2020 menjadi yang paling sejak kuartal I-2017.
Membaiknya defisit transaksi berjalan menjadi kabar bagus bagi rupiah. Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, BI akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money, sehingga diharapkan dapat mengimbangi CAD, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.
Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat. Oleh karena itu, CAD menjadi hantu bagi perekonomian Indonesia.
Komponen NPI lainnya, transaksi modal dan finansial berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money, dan pergerakannya sangat fluktuatif.
Surplus TMF pada April-Juni tercatat sebesar US$ 10,5 miliar (4,3% dari PDB), berbalik arah dari defisit US$ 3,0 miliar (1,1% dari PDB) pada kuartal I-2020.
Tetapi arus modal dapat datang dan pergi dalam waktu singkat, sehingga berdampak pada stabilitas rupiah.
Lihat saja bagaimana rupiah ambrol pada bulan Maret, saat itu rupiah menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi, total kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) menjadi Rp 926,91 triliun per 31 Maret.
Sehingga posisi transaksi berjalan menjadi krusial bagi ketangguhan rupiah. Saat rupiah stabil, investor tentunya lebih nyaman berinvestasi di dalam negeri.
Sayangnya, data NPI tersebut belum mampu mendongkrak kinerja rupiah Selasa kemarin.
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin menyampaikan ekspor Indonesia mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif -9,9% year on-year (YoY) atau tercatat sebesar US$ 13,73 miliar sementara Impor mencapai USD 10,47 miliar atau turun 32,55% YoY sehingga Neraca Dagang RI bulan Juli 2020 surplus US$ 3,26 miliar.
Bursa saham AS (Wall Street) bergerak bervariasi pada perdagangan Selasa waktu setempat, indeks S&P 500 menjadi bintang dengan melewati level sebelum terjadi pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Indeks S&P 500 menguat 0,23% k3 3.389,78 yang kini menjadi rekor penutupan tertinggi sepanjang sejarah. Indeks Nasdaq menguat 0,73% ke 11.210,84, sementara indeks Dow Jones melemah 0,24$% ke 27.778,07.
"Ada banyak kabar bagus yang memvalidasi penguatan ini," kata Andrew Slimmon, managing director di Morgan Stanley Investment Management sebagaimana dilansir CNBC International. Slimmon menyatakan hal tersebut melihat beberapa data ekonomi AS yang bagus serta earning korporasi yang lebih baik dari prediksi.
Beberapa emiten yang memberikan kabar bagus tersebut di antaranya Home Depot dan Walmart.
"Tapi menurut saya pasar saat ini sangat rentan terhadap beberapa kabar burik," tambahnya.
Namun reli kali ini masih dibayangi sentimen negatif dari ranah politik. Anggota Senat dari partai Republik berencana mengajukan program bantuan yang memasukkan bantuan senilai US$ 10 miliar untuk Kantor Pos AS, sebagaimana diberitakan oleh NBC News pada Senin malam.
"Pasar kekurangan katalis untuk membantu bursa mengatasi level resisten secara teknikal," tutur Mark Hackett, Kepala Riset Investasi Nationwide, dalam laporan risetnya sebagaimana dikutip CNBC International.
Indeks S&P 500 telah meroket lebih dari 50% dari posisi terendahnya pada Maret di tengah stimulus fiskal yang massif untuk mengatasi Covid-19 dan kinerja emiten yang lebih baik dari perkiraan. Indeks Nasdaq menyentuh rekor tertinggi baru dan melesat 24% sepanjang 2020.
Namun kini pasar menghadapi situasi politik yang buntu terkait prospek stimulus terbaru. Partai Demokrat dan Republik sama-sama ngotot mempertahankan posisinya.
Indeks S&P 500 yang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa tentunya mengirim hawa positif ke pasar Asia pagi ini. Pergerakan Wall Street selaku kiblat bursa saham dunia selalu menginspirasi indeks saham lainnya. Sehingga peluang IHSG melanjutkan reli terbuka cukup lebar.
Sementara itu, indeks dolar AS kembali nyungsep pada perdagangan Selasa waktu setempat. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melemah 0,59% ke 92,301, yang merupakan level terendah sejak Mei 2018.
Pembahasan stimulus fiskal yang kembali macet di Kongres (Parlemen) AS, menjadi penyebab kembali melemahnya indeks dolar AS.
Tanpa stimulus tambahan, pemulihan ekonomi AS tentunya akan berjalan lebih lambat.
"Dolar AS membutuhkan kabar positif dari pembahasan stimulus. Pasti akan ada kesepakatan, karena para politikus tidak mungkin kembali ke konstituen mereka dengan tangan hampa. Ketika itu terjadi, maka dolar AS akan punya momentum untuk menguat terhadap mata uang lain," jelas Masafumi.
Kondisi tersebut diperparah dengan menurunnya kondisi sektor manufaktur di New York bulan ini. Hal tersebut tercermin dari empire state manufacturing index yang dirilis sebesar 3,7 awal pekan kemarin, menurun drastis dari bulan sebelumnya 17,2.
Indeks ini menggunakan angka 0 sebagai awal, di atasnya berarti pebisnis melihat kondisi usaha manufaktur yang membaik, sebaliknya di bawah 0 artinya kondisi sedang memburuk.
Indeks dolar AS yang sedang terpuruk seharusnya bisa membuat rupiah bangkit, apalagi setelah melemah dalam 6 hari beruntun.
Sehingga peluang IHSG dan rupiah akur alias sama-sama menguat terbuka cukup lebar.
Meski demikian, ada sentimen negatif dari eksternal yakni adanya risiko serangan virus corona gelombang kedua di Korea Selatan. Sentimen negatif lainnya datang dari memburuknya hubungan AS-China. Dua hal tersebut berisiko membebani kinerja aset-aset dalam negeri
BI akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada hari ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 4%. Jika sinyal BI tidak akan lagi menurunkan suku bunga semakin kuat, maka rupiah yang berada dalam tren pelemahan sejak 9 Juni lalu berpotensi menguat kembali.
Pada Kamis pertengahan Juli, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4%.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Youtube Resmi Bank Indonesia, Kamis (16/7/2020).
"Keputusan ini juga mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas nilai tukar," kata Perry.
Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.
CAD yang membaik, plus inflasi (1,54% YoY di bulan Juli) yang rendah tentunya membuat ruang BI untuk memangkas suku bunga lagi semakin besar.
Tetapi ruang tersebut sepertinya belum akan dimanfaatkan oleh BI. Selain melihat indikator perekonomian yang mulai membaik, jika suku bunga kembali dipangkas, imbal hasil (yield) obligasi tentunya akan semakin menurun. Indonesia bisa kehilangan daya tarik investasinya, aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, pasokan valas berkurang pada akhirnya nilai tukar rupiah akan kembali terpukul.
Tekanan bagi rupiah juga sudah terlihat satu bulan terakhir. Sejak BI memangkas suku bunga acuan pada pertengahan Juli lalu hingga hari ini rupiah sudah melemah 1,85%.
Tetapi, Gubernur Perry dalam konferensi pers sesuai menurunkan suku bunga Juli lalu, memberikan pernyataan yang berbeda ketika ditanya mengenai peluang suku bunga kembali di pangkas.
Dalam RDG sebelumnya Perry mengatakan masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga, tetapi pada bulan lalu ia menyebut tergantung dari data-data ekonomi.
"Bagaimana kebijakan suku bunga ke depan, akan kita lihat bagaimana pola pemulihan ekonomi dan dampaknya ke inflasi. Masa-masa pandemi Covid-19 kita harus sering cermati data terbaru untuk merespon suku bunga" kata Perry.
Selain itu, Perry menekankan dalam kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas, yaitu bagaimana dari aspek likuiditas dan pendaan, seperti quantitative easing yang sudah dilakukan BI.
Adanya sinyal kuat BI tidak akan memangkas suku bunga lagi, rupiah berpotensi menguat, begitu juga dengan SBN, IHSG juga berpeluang memperpanjang penguatan. Tetapi BI baru akan mengumumkan kebijakan mulai pukul 14:00 WIB, sehingga respon pasar belum akan maksimal.
Berikut sejumlah rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data Inflasi Inggris Juli (13.00 WIB)
- Pengumuman Kebijakan Moneter BI (14.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Juli 2020 YoY) | 1,54% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal I-2020) | -US$ 8,54 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2020) | US$ 135,1 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA