Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (18/8/2020), melanjutkan kinerja buruk pekan lalu.
Dalam 5 hari perdagangan pekan lalu, rupiah selalu melemah. Selama periode buruk tersebut, rupiah melemah nyaris 1%.
Perdagangan pekan ini akan sangat pendek, kemarin pasar keuangan libur Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sementara Kamis kembali libur Tahun Baru Hijriah, dan Jumat cuti bersama.
Pada perdagangan hari ini, rupiah rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,14% ke Rp 14.700/US$. Tetapi tidak lama, rupiah masuk ke zona merah. Depresiasi semakin membengkak hingga 0,75% ke Rp 14.830/US$.
Meski sempat memangkas pekemahan, tetapi di akhir perdagangan pasar spot, rupiah kembali ke Rp 14.830/US$, melansir data Refinitiv.
Rupiah pun terpuruk ke level terlemah dalam 3 bulan terakhir, tepatnya sejak 18 Mei lalu.
Tidak hanya itu, rupiah juga menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia hari ini. Bahkan pelemahan rupiah terbilang sangat tajam jika dibandingkan dengan mata uang Asia yang melemah.
Hingga pukul 15:30 WIB, won Korea Selatan, baht Thailand, dan dolar Taiwan menjadi mata uang yang melemah, tetapi masih di di bawah 0,1%. Sementara mata uang lainnya justru mampu menguat.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.
Pelemahan rupiah memang sempat terpangkas setelah rilis data CAD hari ini. Tetapi, tak berlangsung lama Mata Uang Garuda kembali melemah
Publikasi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) Kuartal II-2020 oleh Bank Indonesia (BI) hari ini menunjukkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sebesar US$ 2,9 miliar atau setara 1,2% dari produk domestic bruto (PDB), membaik dari kuartal sebelumnya 1,4% dari PDB.
Defisit di kuartal II-2020 menjadi yang terkecil sejak kuartal I-2017.
Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, BI akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money, sehingga diharapkan dapat mengimbangi CAD, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.
Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat. Oleh karena itu, CAD menjadi hantu bagi perekonomian Indonesia.
Komponen NPI lainnya, transaksi modal dan finansial berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money, dan pergerakannya sangat fluktuatif. Arus modal dapat datang dan pergi dalam waktu singkat, sehingga berdampak pada stabilitas rupiah.
Lihat saja bagaimana rupiah ambrol pada bulan Maret, saat itu rupiah menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi, total kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) menjadi Rp 926,91 triliun per 31 Maret.
Sehingga posisi transaksi berjalan menjadi krusial bagi ketangguhan rupiah. Tetapi sayangnya, meski CAD membaik rupiah masih tetap melempem.
Pelaku pasar sepertinya menanti pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Rabu besok, dan melihat outlook suku bunga. Sepanjang tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 100 basis poin (bps) menjadi 4%. Sehingga jika dipangkas lagi, maka daya tarik investasi di dalam negeri menjadi menurun, arus modal kemungkinan akan seret, dan rupiah terpukul.
TIM RISET CNBC INDONESIA