
Permintaan Lesu, Inflasi Juli Diramal Cuma 0,06%

PSBB sebagai kebijakan untuk menanggulangi dampak wabah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) harus dibayar mahal. Saat masyarakat tidak bisa ke mana-mana alias #dirumahaja, otomatis ekonomi mati suri.
Sejak awal Juni, PSBB mulai dikendurkan dan 'keran' aktivitas publik dibuka kembali meski masih ada pembatasan di sana-sini. Namun itu belum bisa mengobati luka dalam akibat PSBB.
Begitu dalamnya luka yang ditinggalkan PSBB akan terlihat dalam rilis data output perekonomian atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia periode kuartal II-2020. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan PDB Tanah Air terkontraksi alias tumbuh negatif -4,53% YoY. Ini akan menjadi catatan terburuk sejak 1999.
Lebih dari separuh PDB Indonesia disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga. Ketika konsumsi melemah, maka PDB secara keseluruhan akan terseret ke bawah.
Pelemahan konsumsi tercermin dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibebankan kepada seluruh transaksi. Penerimaan PPN memberi gambaran aktivitas jual-beli di perekonomian, jadi kalau pos ini lesu maka berarti transaksi penjual-pembeli pun demikian.
Sepanjang semester I-2020, penerimaan PPN dalam negeri tercatat Rp 113,45 triliun, turun hampir 8% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Bahkan kalau menyatukan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), koreksinya mencapai 10,68%.
"Seluruh komponen penerimaan pajak mengalami kontraksi seiring dengan aktivitas ekonomi yang masih melambat. Sementara PPN dalam negeri mengalami kontraksi seiring masih melambatnya transaksi jual-beli Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak," sebut laporan APBN Kita edisi Juli 2020.
Penurunan PPN adalah wujud nyata dari amblesnya permintaan domestik. Jadi tidak heran kalau inflasi pun melambat, karena tidak ada dorongan permintaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)