
Hong Kong Sudah Resesi, Jerman dan AS Bakal Menyusul

Sentimen ketiga, investor patut memantau rilis data output ekonomi alias Produk Domestik Bruto di beberapa negara. Hawa resesi sangat terasa di sini...
Hong Kong sudah memulai terlebih dulu. Kemarin, diumumkan bahwa Pada kuartal II-2010, ekonomi Hong Kong mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 9% secara year-on-year (YoY).
Pada kuartal sebelumnya ekonomi Hong Kong sudah terkontraksi -9,1% YoY. Kontraksi dalam dua kuartal beruntun dalam tahun yang sama adalah definisi dari resesi. Ya, Hong Kong resmi masuk jurang resesi.
Hari ini juga akan diumumkan pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jerman. Konsensus Trading Economics memperkirakan ekonomi Negeri Panser akan terkontraksi -11,3% YoY. Jauh lebih parah ketimbang kuartal sebelumnya yakni -2,3% YoY. Jerman pun kemungkinan besar bakal jatuh ke lubang resesi.
Kemudian pada malam hari waktu Indonesia akan dirilis data pembacaan awal PDB AS kuartal II-2020. Setelah terkontraksi 4,8% secara kuartalan yang disetahunkan (annuaized) pada kuartal I-2020, GDPNow terbitan The Fed cabang Atlanta memperkirakan pencapaian kuartal II-2020 -32,1%. Yup, lagi-lagi resesi...
Hawa resesi yang semakin kuat bisa membuat investor enggan mengambil risiko. Kalau ini yang terjadi, maka harga aset aman (safe haven) seperti emas akan naik lagi. Sebaliknya, aset-aset berisiko di negara berkembang bakal dijauhi. Tentu bukan kabar baik bagi IHSG, rupiah, dan SBN.
Keempat, kali ini bisa menjadi sentimen positif, adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Selepas pengumuman hasil rapat The Fed, mata uang Negeri Adikuasa malah semakin tidak berdaya.
Pada pukul 02:26 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,44%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah anjlok 4,36%.
Federal Funds Rate dipastikan tetap bertahan rendah demi mendukung pemulihan ekonomi. Namun suku bunga rendah membuat yield obligasi pemerintah AS terus menipis. Pada pukul 02:50 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun lagi ke 0,5691%.
Ini membuat berinvestasi di surat utang pemerintahan Presiden Donald Trump menjadi tidak menarik. Apalagi kalau memperhitungkan keuntungan riil setelah dikurangi inflasi.
Dengan inflasi AS yang sampai Juni ada di 0,6%, maka keuntungan riil berinvestasi di US Treasury Bond tenor 10 tahun adalah -0,03%. Bukannya untung, malah buntung.
Ketika berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS tidak menarik, pelaku pasar akan melirik aset yang masih bisa mencetak cuan. SBN bisa menjadi pilihan. Jika permintaan SBN tetap tinggi, maka ada harapan rupiah bisa melanjutkan tren penguatan.
