Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif sepanjang pekan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau menguat, sementara nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah mengalami pelemahan.
Dalam sepekan terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik sebesar 69,7 poin atau 1,42% ke level 4.973,79 pada penutupan Jumat kemarin (3/7/2020) dari 4.904,09 di penutupan akhir pekan lalu (26/6/2020).
Apresiasi IHSG sepekan terdorong oleh kabar menggembirakan dari perusahaan farmasi raksasa AS Pfizer (PFE) dan perusahaan bioteknologi Jerman BioNTech (BNTX) yang mengumumkan data positif dari uji coba tahap awal manusia terhadap vaksin virus corona.
Menurut laporan CNBC International, sebuah studi tentang kandidat vaksin virus corona yang sedang dikembangkan oleh Pfizer dan BioNTech menunjukkan obat itu menciptakan antibodi penawar.
Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), nilai transaksi pada perdagangan selama sepekan ini mencapai Rp 32,2 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) Rp 1,59 triliun di pasar reguler dan negosiasi.
Sementara, volume transaksi tercatat 36,65 miliar unit saham dengan frekuensi sebanyak 2,89 juta kali transaksi.
Euforia seputar vaksin corona membuat investor dan pelaku pasar masuk ke aset berisiko. Ketika ekuitas menjadi pilihan, maka aset pendapatan tetap (fixed income) ini cenderung ditinggalkan.
Di pasar obligasi pemerintah Indonesia Indonesia yang bertenor 10 tahun selama sepekan kemarin terkoreksi 0,54% dengan kenaikan yield 3,9 basis poin (bps) menjadi 7,233% di tengah aksi jual asing akibat pandemi virus corona. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Koreksi obligasi seiring dengan aksi jual asing di pasar di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6,13 triliun pada periode 29 Juni - 2 Juli 2020.
Sepanjang 2020, investor asing masih 'kabur' dari pasar keuangan Indonesia. Arus modal keluar mencapai lebih dari Rp 144 triliun.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, sejak akhir 2019 hingga Kamis kemarin investor asing melakukan jual bersih (net sell) sebesar Rp 144,22 triliun. Ini terdiri dari pasar saham dan obligasi negara atau Surat Berharga Negara (SBN).
"Berdasarkan data transaksi 29 Juni-2 Juli 2020, nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp7,81 triliun, dengan jual neto di pasar SBN sebesar Rp 6,13 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 1,68 triliun. Berdasarkan data setelmen selama 2020 (ytd), nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp 144,22 triliun," sebut keterangan tertulis BI, Jumat (3/7/2020).
Keluarnya arus modal asing di pasar saham dan SBN membuat rupiah tertekan. Mata uang Garuda mencatatkan performa yang buruk baik terhadap dolar AS maupun mata uang Asia lainnya.
Nilai tukar rupiah melawan dolar Amerika Serikat (greenback) pada perdagangan sepekan kemarin (week-on-week/WoW) terdepresi atau melemah 2,12%. Kini US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.450/US$ pada penutupan Jumat (3/7/2020) dari Rp 14.1500/US$ pada penutupan akhir pekan lalu (26/6/2020).
Sepekan ini tak sehari pun rupiah mengalami penguatan terhadap greenback. Depresi ini dipicu oleh risiko kenaikan inflasi, lonjakan kasus terinfeksi virus corona (Covid-19) di dalam negeri dan juga tanda-tanda kebangkitan ekonomi AS membuat rupiah menderita pukulan hebat.
Lonjakan kasus terinfeksi virus corona menjadi salah satu sentimen negatif bagi kinerja rupiah sepekan ini. Berdasarkan data pada 5 Juli 2020 kemarin, jumlah kasus konfirmasi positif virus corona di Tanah Air mencapai 60.749. Sementara yang sembuh menjadi 29.105, sedangkan korban jiwa mencapai 3.171.
Sementara itu, terus merosotnya rupiah di pekan kemarin terjadi akibat kecemasan pelaku pasar akan kemungkinan naiknya inflasi di Indonesia. Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin lalu setuju "sharing the pain" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19). BI setuju untuk membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon.
Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.
"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab riil return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Beralih ke bursa saham Amerika Serikat (AS) yakni Wall Street, pada penutupan perdagangan Kamis kemarin (Jumat pagi waktu Indonesia) terapresiasi menyusul laporan data pekerjaan AS yang lebih baik dari pekiraan.
Pada hari Jumat kemarin untuk liburan Fourth of July, hari kemerdekaan Amerika.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 92,39 poin atau 0,4% menjadi 25.827,36, Nasdaq naik 53,00 poin atau 0,5% menjadi 10.207,63 dan S&P 500 menguat 14,15 poin atau 0,5% menjadi 3.130,01.
Sepekan kemarin Dow Jones melonjak 3,2%, S&P 500 melonjak 4% dan Nasdaq yang merupakan basis saham teknologi melonjak 4,6%.
Reli bursa Wall Street di tengah laporan data dari Departemen Tenaga Kerja AS yang menunjukkan rekor lonjakan dalam pekerjaan di bulan Juni. Laporan itu mengatakan pekerjaan penggajian non-pertanian melejit sebesar 4,8 juta pekerjaan pada bulan Juni setelah melonjak 2,7 juta pekerjaan pada bulan Mei.
Sementara para ekonom telah memperkirakan lapangan kerja akan meningkat hanya sekitar 3,0 juta pekerjaan.
Departemen Tenaga Kerja juga mengatakan tingkat pengangguran turun menjadi 11,1% pada bulan Juni dari 13,3% pada bulan Mei. Di saat tingkat pengangguran diperkirakan akan turun ke 12,3%.
"Peningkatan 4,8 juta dalam penggajian non-pertanian pada bulan Juni memberikan konfirmasi lebih lanjut bahwa rebound ekonomi awal telah jauh lebih cepat daripada yang kami dan sebagian besar lainnya perkirakan," kata Michael Pearce, Ekonom Senior AS di Capital Economics, melansir RTTNews.
Selain itu, data ekonomi yang menggembirakan lainnya juga menopang kinerja ekuitas, indeks manufaktur Institute for Supply Management (ISM) bulan Juni naik menjadi 52,6 dari 43,1 pada Mei. Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi.
Sementara itu, pesanan baru untuk barang-barang manufaktur AS menunjukkan rebound besar di bulan Mei, menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Departemen Perdagangan AS pada hari Kamis kemarin. Pesanan pabrik melonjak 8,0% pada Mei setelah anjlok 13,5% pada April.
Data-data ekonomi yang menunjukkan pertumbuhan, mensinyalir bahwa perekonomian Negeri Paman Sam tersebut mulai pulih dari hantaman keras pandemi Covid-19.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati dan mengkaji sejumlah sentimen yang akan mewarnai perdagangan hari ini. Pertama tentu saja perkembangan dari pandemi virus corona itu sendiri yang menjadi fokus utama investor.
Mengacu data dari Worldometers, jumlah orang terinfeksi virus corona di seluruh dunia mencapai lebih dari 11,5 juta orang, sementara jumlah korban jiwa lebih dari 500 ribu orang.
Di Indonesia saat ini, jumlah kasus konfirmasi positif virus corona mencapai 60.749, sementara yang sembuh menjadi 29.105, sedangkan korban jiwa mencapai 3.171. Situasi ini bisa mempengaruhi psikologis investor.
Sentimen kedua, pelaku pasar juga tertuju pada rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia (per Juni) yang bakal diumumkan pagi nanti. Tradingeconomics memperkirakan angka indeks tersebut bakal di level 84, atau membaik dari posisi Mei sebesar 77,8.
Jika proyeksi tersebut terkonfirmasi, maka penguatan inflasi pada Juni lalu pun semakin jelas mengirimkan sinyal bahwa selera konsumsi masyarakat kembali meningkat. Inflasi Juni tercatat sebesar 0,18% (secara bulanan) atau jauh di atas konsensus pasar di posisi 0,04%.
Sumber pembentuk inflasi berasal dari kenaikan harga pangan, transportasi, kesehatan dan rekreasi yang mengindikasikan bahwa Pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang menggairahkan kembali aktivitas konsumsi dan ekonomi.
Dengan geliat konsumsi, maka ada peluang perekonomian kembali terkatrol apalagi di tengah perkembangan temuan vaksin anti-corona (strain terbaru) dari beberapa negara maju. Saham sektor konsumer, perjalanan, dan ritel berpeluang terkena aksi beli setelah sektor tersebut tertekan beberapa bulan terakhir akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Namun, saham ritel masih harus menanti tren pemulihan yang bakal tercermin dari rilis penjualan ritel Mei. Tradingeconomics memperkirakan angkanya masih -23%, melanjutkan tren koreksi April yang melemah 16,9%.
Ketiga, pelaku pasar juga bakal mencermati rilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) sektor jasa di Amerika Serikat (AS) per Juni versi Markit dan ISM yang akan dirilis Selasa pagi (WIB). Konsensus ekonom oleh Tradingeconomics berujung pada proyeksi PMI di angka 46,7.
Artinya, sektor jasa Negeri Sam diprediksi belum berekspansi dan masih terkontraksi (karena di bawah ambang batas 50). Hanya saja, posisi tersebut masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan angka PMI sektor jasa bulan Mei yang hanya sebesar 37,5.
Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 memang memicu resesi beberapa negara. Berbeda dari resesi sebelumnya yang memukul sektor keuangan dan manufaktur, resesi kali ini juga menghajar sektor jasa karena kebijakan karantina wilayah (lockdown).
Di tengah ekspektasi munculnya vaksin dalam waktu dekat, maka pembaikan indeks PMI sektor jasa itu (jika memang terkonfirmasi) bakal dianggap sebagai kabar positif bagi pelaku pasar.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Laporan Survei Konsumen Juni 2020 (10.00 WIB)
- Penjualan Ritel Zona Euro (15.30 WIB)
- ISM Non Manufaktur AS (21.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Juni 2020 YoY) | 1,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020) | 4,25% |
Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020) | -5,07% PDB |
Surplus/defisit transaksi berjalan (Kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Cadangan devisa (Mei 2020) | US$ 130,54 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA