
Newsletter
Asing 'Menggila', IHSG-Rupiah Siap Tembus Level Psikologis
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 June 2020 06:09

Kiblat bursa saham dunia, Wall Street kembali menguat Rabu kemarin, tentunya akan mengirim sinyal positif ke pasar Asia, termasuk Indonesia pagi ini. Sentimen new normal benar-benar membuat mood pelaku pasar membaik dan terus masuk ke aset-aset berisiko.
Rilis data ekonomi yang tidak seburuk prediksi di AS menimbulkan harapan perekonomian akan segera bangkit. Ketika ekonomi AS perlahan pulih, pertumbuhan ekonomi dunia perlahan juga akan terkerek naik. Maklum saja, AS merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
ADP pada Rabu kemarin melaporkan sektor swasta AS mengurangi 2,76 juta tenaga kerja sepanjang bulan Juni. Pengurangan karyawan tersebut jauh lebih baik dari prediksi para ekonom yang disurvei Dow Jones sebesar 8,75 juta.
"Pengurangan tenaga kerja di bulan Mei jelas merupakan hal yang buruk, tetapi tidak separah perkiraan," kata Mark Zandi, kepala ekonomi di Moody's Analytics yang bekerja sama dengan ADP dalam mengumpulkan data.
Sementara itu ISM juga melaporkan sektor non-manufaktur AS mulai bangkit. Hal tersebut terlihat dari purchasing managers' index (PMI) non-manufaktur yang naik menjadi 45,4 di bulan Mei dari bulan April 41,8. Angka di bulan April tersebut merupakan kontraksi pertama sejak Desember 2009, dan yang terdalam sejak Maret 2009.
Data PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, di bawah 50 berarti kontraksi.
Rilis data ADP dan ISM tersebut bisa menjadi sinyal masa-masa terburuk sudah lewat.
Selain AS, tanda-tanda kebangkitan ekonomi setelah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) berhasil diredam kembali ditunjukkan oleh China.
Minggu (31/5/2020) lalu, PMI manufaktur China bulan Mei dilaporkan sebesar 50,6, melambat dari bulan sebelumnya 50,8. Di bulan Maret, PMI manufaktur China berada di level 52, naik tajam ketimbang bulan Februari sebesar 35,7, yang merupakan kontraksi terdalam sepanjang sejarah.
Dalam tiga bulan terakhir, sektor manufaktur China kembali mengalami ekspansi, meski melambat dalam dua bulan terakhir. Selasa kemarin, Caixin melaporkan PMI sektor jasa China bulan Mei yang melesat naik ke 55 dari bulan sebelumnya 44,7. Ini merupakan menjadi kali pertama sektor jasa China kembali bereskpansi setelah mengalami kontraksi dalam tiga bulan beruntun.
Data PMI China tersebut memberikan gambaran pemulihan ekonomi V-shape, merosot tajam akibat pandemi Covid-19, dan melesat naik ketika penyebaranya virus corona berhasil diredam.
Sekali lagi, new normal memberikan harapan akan bangkitnya perekonomian, dan mampu lepas dari resesi panjang.
Selain new normal, stimulus moneter dari bank sentral di berbagai negara juga menjadi salah satu faktor yang membuat pasar keuangan kembali bergairah. Bank sentral saat ini "jor-joran" menggelontorkan likuiditas ke perekonomian guna meredam dampak Covid-19.
Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menjadi perhatian hari ini. Bank sentral yang dipimpin Chirstine Lagarde, mantan direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), diprediksi kembali menambah stimulusnya.
Pada bulan Maret lalu, ECB merilis Pandemic Emergency Purchase Programme (PEPP), yakni program pembelian aset (obligasi pemerintah) senilai 750 miliar euro untuk tahun ini.
Analis dari Berenberg Economics, Florian Hense, memprediksi ECB akan menambah nilai PEPP tersebut sebesar 500 miliar euro dalam pengumuman kebijakan moneter malam nanti.
"Kami melihat 60% ECB akan menaikkan nilai pembelian asetnya, kemungkinan sebesar 500 miliar euro" tulis Hense dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.
"Outlook pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang suram akan mempermudah justifikasi keputusan tersebut," tambahnya.
Harapan akan adanya tambahan stimulus membuat di Eropa membuat pelaku pasar semakin semangat masuk ke aset-aset berisiko, dan rupiah serta IHSG berpeluang melewati level psikologis hari ini.
(pap)
Rilis data ekonomi yang tidak seburuk prediksi di AS menimbulkan harapan perekonomian akan segera bangkit. Ketika ekonomi AS perlahan pulih, pertumbuhan ekonomi dunia perlahan juga akan terkerek naik. Maklum saja, AS merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
ADP pada Rabu kemarin melaporkan sektor swasta AS mengurangi 2,76 juta tenaga kerja sepanjang bulan Juni. Pengurangan karyawan tersebut jauh lebih baik dari prediksi para ekonom yang disurvei Dow Jones sebesar 8,75 juta.
"Pengurangan tenaga kerja di bulan Mei jelas merupakan hal yang buruk, tetapi tidak separah perkiraan," kata Mark Zandi, kepala ekonomi di Moody's Analytics yang bekerja sama dengan ADP dalam mengumpulkan data.
Sementara itu ISM juga melaporkan sektor non-manufaktur AS mulai bangkit. Hal tersebut terlihat dari purchasing managers' index (PMI) non-manufaktur yang naik menjadi 45,4 di bulan Mei dari bulan April 41,8. Angka di bulan April tersebut merupakan kontraksi pertama sejak Desember 2009, dan yang terdalam sejak Maret 2009.
Data PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, di bawah 50 berarti kontraksi.
Rilis data ADP dan ISM tersebut bisa menjadi sinyal masa-masa terburuk sudah lewat.
Selain AS, tanda-tanda kebangkitan ekonomi setelah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) berhasil diredam kembali ditunjukkan oleh China.
Minggu (31/5/2020) lalu, PMI manufaktur China bulan Mei dilaporkan sebesar 50,6, melambat dari bulan sebelumnya 50,8. Di bulan Maret, PMI manufaktur China berada di level 52, naik tajam ketimbang bulan Februari sebesar 35,7, yang merupakan kontraksi terdalam sepanjang sejarah.
Dalam tiga bulan terakhir, sektor manufaktur China kembali mengalami ekspansi, meski melambat dalam dua bulan terakhir. Selasa kemarin, Caixin melaporkan PMI sektor jasa China bulan Mei yang melesat naik ke 55 dari bulan sebelumnya 44,7. Ini merupakan menjadi kali pertama sektor jasa China kembali bereskpansi setelah mengalami kontraksi dalam tiga bulan beruntun.
Data PMI China tersebut memberikan gambaran pemulihan ekonomi V-shape, merosot tajam akibat pandemi Covid-19, dan melesat naik ketika penyebaranya virus corona berhasil diredam.
Sekali lagi, new normal memberikan harapan akan bangkitnya perekonomian, dan mampu lepas dari resesi panjang.
Selain new normal, stimulus moneter dari bank sentral di berbagai negara juga menjadi salah satu faktor yang membuat pasar keuangan kembali bergairah. Bank sentral saat ini "jor-joran" menggelontorkan likuiditas ke perekonomian guna meredam dampak Covid-19.
Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menjadi perhatian hari ini. Bank sentral yang dipimpin Chirstine Lagarde, mantan direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), diprediksi kembali menambah stimulusnya.
Pada bulan Maret lalu, ECB merilis Pandemic Emergency Purchase Programme (PEPP), yakni program pembelian aset (obligasi pemerintah) senilai 750 miliar euro untuk tahun ini.
Analis dari Berenberg Economics, Florian Hense, memprediksi ECB akan menambah nilai PEPP tersebut sebesar 500 miliar euro dalam pengumuman kebijakan moneter malam nanti.
"Kami melihat 60% ECB akan menaikkan nilai pembelian asetnya, kemungkinan sebesar 500 miliar euro" tulis Hense dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.
"Outlook pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang suram akan mempermudah justifikasi keputusan tersebut," tambahnya.
Harapan akan adanya tambahan stimulus membuat di Eropa membuat pelaku pasar semakin semangat masuk ke aset-aset berisiko, dan rupiah serta IHSG berpeluang melewati level psikologis hari ini.
(pap)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut
Pages
Most Popular