Polling CNBC Indonesia

Konsensus: BI Diramal Turunkan Bunga Acuan ke 4,25%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 May 2020 06:59
Ilustrasi Bank Indonesia
Kantor Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan bakal menurunkan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. Rupiah yang stabil bahkan cenderung menguat, inflasi yang seadanya (bahkan kemungkinan terjadi deflasi bulan ini), dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi membuat MH Thamrin akan punya alasan kuat untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate.

RDG BI edisi Mei 2020 akan berlangsung mulai hari ini sampai besok. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median 4,25% untuk suku bunga acuan. Artinya, BI 7 Day Reverse Repo Rate dikurangi 25 basis poin (bps) dari posisi saat ini yang sebesar 4,5%.

Institusi

BI 7 Day Reverse Repo Rate (%)

CIMB Niaga

4.25

Bank Danamon

4.5

Maybank Indonesia

4.25

BCA

4.5

Bank Permata

4.25

ING

4.25

Danareksa Research Institute

4.5

BNI Sekuritas

4.5

Citi

4.25

Bahana Sekuritas

4.25

Barclays

4.25

BTN

4.5

MEDIAN

4.25


Dari sisi yang memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 4,5%, Kepala Ekonom PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Winang Budoyo mengatakan BI baru memberlakukan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) pada 1 Mei lalu. Ada baiknya melihat dulu seberapa efektif kebijakan ini sebelum menurunkan suku bunga acuan.

Dalam RDG bulan lalu, Gubernur BI Perry Warijyo mengumumkan penurunan GWM sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah yang berlaku mulai 1 Mei 2020. Kebijakan ini diperkirakan dapat menambah likuiditas perbankan hingga Rp 102 triliun.



Kemungkinan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan juga terbuka. Dalam briefing Perkembangan Ekonomi Terkini 29 April lalu, Gubernur Perry menyebut bahwa adalah stimulus fiskal yang dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, bukan pelonggaran moneter.

Perry menyatakan bahwa BI telah melakukan pelonggaran berbasis kuantitas (quantitative easing/QE) senilai lebih dari Rp 500 triliun. Namun pelonggaran itu pada dasarnya dinikmati oleh perbankan, belum bisa dipastikan mendorong sektor riil. Agar sektor riil bergeliat sehingga menggairahkan sektor perbankan, dibutuhkan peran stimulus fiskal.

"BI tidak bisa langsung ke sektor riil, di sinilah perlu stimulus fiskal. Semakin cepat stimulus fiskal, maka dampak quantitative easing BI akan semakin meningkatkan kegiatan ekonomi," tegas Perry kala itu.

[Gambas:Video CNBC]



Akan tetapi, 'godaan' (bahkan tekanan) untuk menurunkan suku bunga acuan begitu besar. Pertama tentu atas nama mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pada kuartal I-2020, ekonomi Indonesia tumbuh 2,97% yang merupakan laju paling lemah sejak 2001. Kemungkinan besar atau hampir pasti pencapaian kuartal berikutnya lebih parah, bahkan kontraksi (pertumbuhan negatif) menjadi probabilitas yang tidak bisa dikesampingkan.


BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020 hanya sebesar 0,4%. Bahkan ada yang memperkirakan ekonomi Indonesia terkontraksi.

Moody's Analytics memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 2% pada kuartal I-2020 dan kemudian terkontraksi -3,9% pada kuartal berikutnya. Mirae Asset juga memperkirakan terjadi kontraksi pada kuartal II-2020, tepatnya di -1,5%.

Pelemahan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 kian terlihat dalam data perdagangan internasional periode April 2020. Impor barang konsumsi anjlok 16,57% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal biasanya impor barang konsumsi terkerek saat momen Ramadan-Idul Fitri, tetapi tidak tahun ini.

"Data ini semakin menegaskan lemahnya prospek pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020. Data konsumsi lain juga menunjukkan pelemahan, seperti inflasi inti dan penjualan ritel," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.




Mandat BI dalam UU No 3/2004 pasal 7 ayat (1) adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kalau mengacu pada hal ini saja, maka BI tidak punya kewajiban untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun di pasal (2) disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, BI harus melakukan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Nah, kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah penyelamatan kesehatan dan perekonomian akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) sebagaimana tertuang dalam konsiderans Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020.

Artinya, BI juga punya kewajiban moral dalam upaya mendorong perekonomian nasional yang terpukul akibat pandemi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Salah satu pemenuhan kewajiban itu adalah dengan menggunakan seluruh instrumen moneter yang tersedia, seperti menurunkan suku bunga acuan.


Kedua, sejauh ini nilai tukar rupiah masih stabil bahkan cenderung menguat. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 4,63% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan kalau dihitung sejak awal April, penguatan rupiah mencapai 9,02%.

Perry memperkirakan rupiah bergerak menuju ke Rp 15.000/US$ pada akhir tahun. Itu sudah terlampaui, pada akhir pekan lalu rupiah menutup perdagangan pasar spot di Rp 14.890/US$.




"Penguatan rupiah terjadi saat arus modal asing baik di pasar saham maupun obligasi mencatatkan jual bersih. Lonjakan cadangan devisa, meningkat US$ 6,9 miliar pada bulan lalu, menyiratkan bahwa rupiah bisa saja lebih kuat kalau BI menghendaki," lanjut Satria.

Oleh karena itu, setidaknya dalam waktu dekat, BI tidak perlu risau dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Ini membuka ruang untuk penurunan suku bunga acuan.

Ketiga, tekanan inflasi sejauh ini sangat minim. Bahkan BI memperkirakan akan terjadi deflasi -0,04% pada Mei.




Menurunkan suku bunga acuan, yang dampaknya bisa menambah pasokan uang di sistem perekonomian, sepertinya tidak akan berdampak besar terhadap inflasi. Selama permintaan masih rendah karena masyarakat #dirumahaja, BI tidak perlu khawatir penambahan jumlah uang beredar bisa memicu dampak inflatoir.

Berbagai kartu sudah ada di meja. Baik yang memperkirakan suku bunga dipertahankan atau diturunkan punya alasan yang sama-sama kuat.

Sekarang tinggal bagaimana Gubernur Perry dan kolega yang memutuskan. Mau ambil kartu yang mana, Pak Gubernur?


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular